BeritaSejak 2014, Lebih Dari 21 Perusahaan Perkebunan Sawit Beroperasi di Tanah Papua

Sejak 2014, Lebih Dari 21 Perusahaan Perkebunan Sawit Beroperasi di Tanah Papua

JAYAPURA, SUARAPAPUA.com— Sejak tahun 2014, ada sebanyak dua puluh satu (21) perusahaan perkebunan telah beroperasi di tanah Papua. Sementara 20 perusahaan lainnya diduga hampir siap beroperasi, dimana telah siap melepaskan kawasan hutannya untuk konvensi perkebunan.

Hal tersebut tertuang dalam buku berjudul ‘Atlas Sawit Papua Dibawa Kendali Pengusaha Modal’ yang diterbitkan Yayasan Pusaka.

“Selama puluhan tahun terakhir, industri sawit di Indonesia berkembang sangat cepat dengan pusat utama di Kalimantan dan Sumatera. Kebanyakan kawasan hutan di Indonesia Barat tersebut telah berubah menjadi perkebunan kelapa sawit dan para investor melaporkan semakin sulitnya memperoleh tanah untuk perkebunan kelapa sawit, sehingga mereka cenderung mencari tanah ke Indonesia Timur,” jelasnya dalam buku yang diterbitkan Yayasan Pusaka belum lama ini.

Ketika menelisik ke belakang, misalnya pada 2005, hanya 7 perusahaan yang beroperasih di tanah Papua dan saat ini, sejak 2014 telah mencapai 21 perusahaan. Kebanyakan perusahaan tersebut beroperasi dalam lima tahun terakhir.

Sementara, 20 perusahaan lainnya berada dalam tahap lanjutan untuk proses perizinan dan diduga hampir siap membuka lahan. Bahkan Puluhan perusahaan lainnya itu telah mengantongi izin lokasi dari kepala daerah (Bupati) dan sedang mengurus syarat-syarat perizinan lainnya.

Perkembangan industri sawit yang mulai mengarah ke wilayah timur Indonesia yang sangat cepat ini membawa dampak buruk bagi masyarakat adat Papua. Dalam hampir setiap kasus, ada masyarakat adat yang dirugikan karena hutan sumber yang selama ini dikelolah secara tradisional untuk kehidupan mereka telah berubah dan beralih karena perkebunan sawit.

Buku Atlas Sawit Papua adalah potret industri hingga akhir 2014, yang guna meningkatkan pemahaman tentang siapa aktor pemainnya dan di mana daerah-daerah yang menjadi minat investor.

“Dalam buku itu merupakan hasil penelitian, baik di internet, komunikasi langsung dengan LSM Lokal di Papua, organisasi gereja, lembaga adat dan aktivis lainnya. Kemudian, mengupayakan menghubungi sumber-sumber pemerintah dan korporasi.

Baca Juga:  Bangun RS Tak Harus Korbankan Warga Sekitar Sakit Akibat Banjir dan Kehilangan Tempat Tinggal

“Meskipun informasinya kurang lengkap seperti yang dikehendaki, setidaknya tujuannya bisa terlihat dengan menyajikan gambaran tentang setiap perusahaan kelapa sawit yang memiliki izin untuk beroperasi di Papua, dilengkapi dengan peta lokasi, informasi tentang pemilik perusahaan, dan jenis perizinan yang dimiliki.”

“Kesulitan terbesar seringkali dalam upaya mendapatkan informasi dari pemerintah daerah. Banyak yang menolak untuk memberikan informasi, tidak mau menerima telepon dan menjadi lebih sulit lagi jika para narasumber tidak mau ditemui langsung,” ungkapnya.

Sementara dalam mengurus perisinan, biasanya perusahaan mengajukan permohonan izin, tetapi juga harus mendekati bupati astau setidaknya mendekati pemimpin terpilih di masing masing kabupaten. Jika secara prinsip bupati menyetujuinya, mereka akan mencari lahan yang cocok dan mengeluarkan izin lokasi.

Tidak sampai disitu, ada izin lain yang biasanya dikeluarkan pihak provinsi, misalnya rekomendasi, maka perusahaan akan mengurus rekomendasi tersebut ke tingkat provinsi. Namun jika lokasi tersebut diklasifikasikan sebagai hutan negara, maka akan membutuhkan izin dari menteri kehutanan untuk melepaskan lahan itu dari kawasan hutan negara.

“Menariknya, ditemukan kecenderungan meningkatnya pemberian izin lokasi berlangsung sejalan dengan masa berakhirnya pemimpin daerah dan menjelang pemilihan kepala daerah, sehingga menimbulkan opini bahwa sumber daya alam dijadikan komoditi untuk membiayai kepentingan aktor-aktor politik.”

Hampir sedikit sekali pertimbangan situasi sosial setempat dalam pelepasan kawasan hutan. Bagi masyarakat adat di sekitar hutan yang berdiam di tanah yang diincar perusahaan, sangat penting bahwa mereka mendapatkan informasi lengkap dan memadai tentang perusahaan dan rencana perusahaan pada tahap sedini mungkin.

Sebab mereka adalah pemilik hutan berdasarkan hukum adat dan hidup mereka bergantung pada hutan, dan mereka memiliki hak untuk membuat keputusan yang bebas atas penggunaan tanah-tanah mereka. Sayangnya, masyarakat adat mendengar khabar tersebut ketika perusahaan mulai mendekati mereka dengan proposal untuk perolehan dan pengadaan tanah.

Baca Juga:  Hasil Temu Perempuan Pembela HAM dan Pejuang Lingkungan Bersama WALHI Nasional

Dimana perusahaan telah mengantongi izin dan hak pengelolaan tanah hutan tanpa musyawarah dan persetujuan masyarakat. Selain itu, perusahaan sering menggunakan cara ‘tipu-tipu’ (manipulasi) atau intimidasi, melibatkan oknum aparat pemerintah dan aparat keamanan maupun lembaga perantara yang berasal dari warga setempat.

Selain itu, perusahaan sering menggunakan nama lokal dan nama tertentu untuk memberi kesan ‘pencitraan’ pro rakyat dan pro lingkungan, meskipun faktanya berbeda. Misalnya, Hijau Lestari, Matoa Lestari, Agro Lestari, Sawit Lestari, Agung Sejahtera, Nabire Baru, Sarmi Sejahtera, dan sebagainya. Perusahaan-perusahaan ini diketahui masih mempunyai hubungan dan dikendalikan para ‘taipan’ penguasa modal besar.

“Meraka menggunakan dan berada di bawah payung group-group perusahaan besar dan bekerjasama dengan perusahaan transnasional. Mereka juga mengendalikan bisnis sektor usaha lainnya, seperti pembalakan kayu, hutan tanaman industri, pertambangan, penangkapan hasil laut di tanah Papua maupun di daerah lainnya di Indonesia. Misalnya, grup perusahaan bisnis kelapa sawit di tanah Papua yang dimiliki pengusaha kaya Indonesia versi Majalah Forbes 2014.

“Antara lain, Musim Mas Group milik Bachtiar Karim (2 miliar USD), Raja Garuda Mas Group milik Sukanto Tanoto (2,11 miliar USD), Sinar Mas Group milik Eka Tjipta Widjaja (5,8 miliar USD)”.

“Salim Group milik Anthony Salim (5,9 miliar USD), Rajawali Group milik Peter Sondakh (2,3 miliar USD). Mereka mempunyai perusahaan perkebunan kelapa sawit di Papua yang lebih dari satu anak perusahaan. Musim Mas Group bahkan mempunyai 6 (enam) anak perusahaan bernama lokal dengan luas lahan yang dikuasai sebesar 163.000 hektar”.

Baca Juga:  Ribuan Data Pencaker Diserahkan, Pemprov PBD Pastikan Kuota OAP 80 Persen

Perusahaan ini juga mempunyai usaha lainnya, seperti Rajawali Group yang sedang mengusahakan perkebunan tebu di daerah Merauke.

Sedangkan, perusahaan besar kelapa sawit yang memiliki usaha besar lain di tanah Papua adalah Austindo Nusantara Jaya Group, milik pengusaha kaya George S. Tahija, yang sedang mengembangkan industri pengolahan sagu di daerah Metamani, Sorong Selatan, dan pengusaha listrik di Tembagapura, Mimika.

Perusahaan Kayu Lapis Indonesia Group, yang memiliki bisnis pembalakan kayu dengan areal konsesi terluas di tanah Papua. Medco Group yang aktif juga dalam bisnis hutan tanaman industri, bubur kertas dan pertambangan di beberapa daerah di Papua.

Perusahaan modal asing (PMA) Korindo Group, asal Korea Selatan, yang sedang mengusahakan eks lahan pembalakan kayu untuk perkebunan kelapa sawit. Selain Korindo Group, ada cukup banyak PMA melakukan bisnis kelapa sawit di tanah Papua, yakni, Tadmax Group asal Malaysia dan Pacific Interlink asal Yemen yang beroperasi di Boven Digoel. The Lion Group asal Malaysia, Noble Group berkantor di Hongkong dan Carson Cumberbatch asal Sri Lanka yang mengelola perkebunan kelapa sawit di Nabire.

Perusahaan kelapa sawit milik negara ada satu, yakni PTPN II Arso. Sebelumnya terdapat PTPN II Prafi, belakangan PTPN II Prafi dikelola oleh perusahaan asal Cina, Yong Jing Investment.

Franky penyunting buku Atlas Sawit Papua dan Wirya Supriyadi dari WALHI Papua mengakui bahwa perusahaan yang beroperasi di tanah Papua sebenarnya lebih dari 21 itu.

“Kalau data dari Pusaka mungkin bisa juga 21, tapi sebenarnya ada banyak perusahaan. Kalau di hitung baik yang aktif maupun yang sudah tidak aktif bisa lebih dari 21 perusahaan yang beroperasi di tanah Papua,” jelasnya.

 

Pewarta: Ardi Bayage

Editor: Elisa Sekenyap

Terkini

Populer Minggu Ini:

DKPP Periksa Dua Komisioner KPU Yahukimo Atas Dugaan Pelanggaran KEPP

0
“Aksi ini untuk mendukung sidang DKPP atas pengaduan Gerats Nepsan selaku peserta seleksi anggota KPU Yahukimo yang haknya dirugikan oleh Timsel pada tahun 2023. Dari semua tahapan pemilihan komisioner KPU hingga kinerjanya kami menilai tidak netral, sehingga kami yang peduli dengan demokrasi melakukan aksi di sini. Kami berharap ada putusan yang adil agar Pilkada besok diselenggarakan oleh komisioner yang netral,” kata Senat Worone Busub, koordinator lapangan.

Fortnightly updates in English about Papua and West Papua from the editors and friends of the banned 'Suara Papua' newspaper.