BeritaKoalisi Penegak Hukum dan HAM Papua Bereaksi Terkait Pembubaran Demo di Timika

Koalisi Penegak Hukum dan HAM Papua Bereaksi Terkait Pembubaran Demo di Timika

JAYAPURA, SUARAPAPUA.com— Koalisi Penegak Hukum dan HAM Papua bereaksi terhadap aparat keamanan di Timika yang membubarkan warga yang berencana melakukan demo menolak Otsus Jilid II, Rabu (23/9/2020).

Dalam siaran pers Koalisi Penegak Hukum dan HAM Papua Nomor: 020-SK-KPHHP/IX/2020 yang diterima Seputarpapua.com, Rabu siang, disebutkan bahwa Kepolisian Resor Mimika bersama TNI dilarang membungkam ruang demokrasi Front Rakyat Papua.

Mereka meminta kepolisian setempat segera membebaskan tujuh orang massa aksi Front Rakyat Papua dan mengadili oknum polisi yang diduga melakukan kekerasan terhadap warga.

Dijelaskan, aparat TNI-Polri di Timika telah membubarkan massa aksi Front Rakyat Papua secara paksa menggunakan kekerasan dan menangkap tujuh orang antara lain, Petrus Aim, Fredy Yeimo, Ardi Murib, Dorlince Iyowau, Melvin Yogi, Penias Nawipa dan Deborius Selegani.

Dikatakan, salah satu warga bernama Fredy Yeimo mengalami luka saat polisi membubarkan massa.

Koalisi Penegak Hukum dan HAM menilai pembubaran paksa menggunakan kekerasan terhadap massa aksi Front Rakyat Papua bertentangan dengan hukum. Sebab, dalam rangka menggelar aksi damai dengan tema “Merespon kebijakan implementasi Otsus yang belum berpihak dan berdampak bagi rakyat Papua” pada tanggal 23 September 2020, di hari Senin, 21 September 2020, Front Rakyat Papua telah melayangkan surat pemberitahuan ke Polres Mimika. Di mana, salinan surat pemberitahuan pun telah dikirim ke Koalisi Penegak Hukum dan HAM Papua.

Baca Juga:  Suku Abun Gelar RDP Siap Bertarung Dalam Pilkada 2024

Oleh karena itu, melalui fakta Front Rakyat Papua telah melayangkan surat pemberitahuan ke Polres Mimika pada tanggal 21 September 2020 dan membuktikan bahwa dalam rangka menggelar aksi damai ini Front Rakyat Papua telah memenuhi ketentuan Pasal 10 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3), Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1998, tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum.

Mengingat Polres Mimika yang menerima surat pemberitahuan tidak menerbitkan Surat Tanda Terima Pemberitahuan secara langsung, membuktikan bahwa Polres Mimika tidak menjalankan kewajibannya sebagaimana diatur pada pasal 13 ayat (1) huruf a, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1998, tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum.

Selain itu, menurut salah satu rekan Koalisi Penegak Hukum dan HAM Papua Jhon Mambor, SH yang mendatangi Mapolres Mimika untuk mendampingi tujuh orang massa aksi dari Front Rakyat Papua, mengatakan, pihak Kepolisian menyampaikan bahwa tujuh orang massa aksi dari Front Rakyat Papua hanya diamankan untuk diinterogasi.

Jhon Mambor mengatakan bahwa pihak Kepolisian tidak menunjukkan Surat Tugas dan Surat Penangkapan serta Surat Penahanan kepada dirinya.

Baca Juga:  Pencaker Palang Kantor Gubernur Papua Barat Daya

Fakta kekosongan surat-surat dalam penangkapan tujuh orang massa aksi dari Front Rakyat Papua membuktikan Polres Mimika telah mengabaikan perintah Pasal 18, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981, tentang Hukum Acara Pidana.

Atas dasar itu, ditegaskan kepada Polres Mimika untuk segera membebaskan tujuh orang massa aksi dari Front Rakyat Papua yang ditangkap dan ditahan tanpa mengikuti prosedur sebagaimana diatur pada Pasal 18 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981.

Koalisi Penegak Hukum dan HAM Papua menegaskan kepada Polres Mimika untuk mengedepankan prinsip penangkapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17, yang mana dapat dilakukan untuk paling lama satu hari sebagaimana diatur pada Pasal 19 ayat (1).

Koalisi Penegak Hukum dan HAM Papua juga menyimpulkan bahwa Polres Mimika bersama TNI telah membungkam ruang demokrasi Front Rakyat Papua menggunakan pendekatan kekerasan yang mengakibatkan massa aksi terluka.

Koalisi Penegak Hukum dan HAM Papua menegaskan kepada Kapolri dan Kapolda Papua untuk memberikan sanksi kepada aparat di Timika yang tidak menjalankan kewajibannya sebagaimana diperintahkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1998 pada Pasal 13 ayat (1) huruf a, UU Nomor 9 Tahun 1998.

Kapolda Papua juga diminta segera menangkap dan mengadili oknum aparat keamanan yang melakukan tindak pidana penganiayaan (Sebagaimana Pasal 351 KUHP) terhadap massa aksi Front Rakyat Papua sehingga mengakibatkan Fredy Yeimo mengalami luka.

Baca Juga:  Seorang Fotografer Asal Rusia Ditangkap Apkam di Paniai

Kapolda Papua pun diminta untuk segera memerintahkan Kapolres Mimika membebaskan tujuh orang massa aksi dari Front Rakyat Papua yang ditangkap dan ditahan tanpa mengikuti prosedur.

Emanuel Gobay, selaku Kordinator Litigasi Koalisi Penegak Hukum dan HAM Papua kepada Seputarpapua.com mengakui bahwa benar terdapat seorang massa aksi bernama Fredi Yeimo mendapat perlakukan kekerasan saat pembubaran aksi di Timika.

“(aksi,red) sudah dilakukan hari ini, namun dihadang aparat dengan pendekatan kekerasan, sehingga ada satu orang yang luka-luka,” katanya.

Sebelumnya, Wakapolres Mimika, Kompol I Nyoman Punia saat membenarkan warga telah mengajukan surat ke Polres Mimika, namun Kepolisian tidak mengizinkan adanya aksi demo lantaran akan mengundang banyak orang berkumpul, apalagi di tengah situasi pandemi Covid-19 yang tentu saja tidak diperbolehkan.

“Tadi kita melaksanakan imbauan untuk menggunakan masker kepada masyarakat, namun ada sekelompok masyarakat yang merasa terganggu, mereka akan mengadakan demo,” terang Kompol Punia.

Tidak terima dengan himbauan polisi, sekelomp warga tersebut melempari anggota dengan batu.

“Dengan imbauan kita, mereka tidak memperhatikan, malah mereka melempari anggota,” sambungnya. (*)

Terkini

Populer Minggu Ini:

Aktivitas Belajar Mengajar Mandek, Butuh Perhatian Pemda Sorong dan PT Petrogas

0
“Jika kelas jauh ini tidak aktif maka anak-anak harus menyeberang lautan ke distrik Salawati Tengah dengan perahu. Yang jelas tetap kami laporkan masalah ini sehingga anak-anak di kampung Sakarum tidak menjadi korban,” pungkasnya.

Fortnightly updates in English about Papua and West Papua from the editors and friends of the banned 'Suara Papua' newspaper.