Diskusi virtual. (Screenshot - SP)
adv
loading...

JAYAPURA, SUARAPAPUA.com— Dari hasil riset yang dilakukan tim peneliti ekspansi sawit di Papua ­­­bersama Greenpeace Indonesia di tiga lokasi di Papua dan Papua Barat, diketahui perusahaan Sawit banyak menoleh ke wilayah di Indonesia Timur, setalah Kalimantan dan Sumatera.

Hal ini disampaikan Eko Cahyono, tim peneliti Papua dalam diskusi pablik yang diselenggarakan jubi di virtueal, Selasa (21/9/2020), dengan tema “Modus Tipu-Tipu Perusahaan di Tanah Masyarakat Adat Papua dan praktik Kebudayaan yang terancam Punah”.

Diskusi tersebut hadirkan pembicara, Eko Cahyono tim Peneliti Papua, Nicodemus Wamafma, Greenpeace Indonesia, Fientje Yarangga, Koordinator Tiki Jaringan HAM Perempuan Papua dan Yusuf Sawaki, Direktur Celd Unipa Manokwari.

Eko pada sesi pertama mengatakan, penelitian yang dilakukan tim peneliti yang terdiri dari akademisi dan Greenpeace di tiga lokasi di Papua dan Papua Barat terkait ekspansi kelapa sawit dan perkebunan sawit di Papua berlangsung secara struktural.

Baca Juga:  Asosiasi Wartawan Papua Taruh Fondasi di Pra Raker Pertama

“Jadi Konteks dan urgensi dari penelitian itu ada lima poin, pertama dari riset-riset sebelumnya yang rujukan tadi bahwa ada ekspansi geografis kapital korporasi ke Indonesia Timur, Indonesia dalam pusaran perang industri sawit dunia, potensi korupsi struktural, rintisan perspektif transdispliner analisa krisis sosial-ekologis dan penguatan kampanye dan advokasi kebijakan berbasis riset,” katanya.

ads

Katanya, sejak Sumatera dan Kalimantan ditinggalkan, mulai dengan kesepakatan hancurkan surga Papua, dan mengancam penghancuran hutan alam tropis terakhir di Papua.

“Dampak langsung deforestasi dan pelanggaran HAM, 25 kelompok produsen minyak sawit, terjadi penghancuran lebih dari 130.000 Ha hutan dan gambut sejak 2015, setara dua kali negara Singapura, 40% nya seluas 56.00 Ha terjadi di Papua,” katanya.

Akibat oligarki perkebunan sawit, ragam modusnya adalah potensi kehilangan penerimaan pajak negara, aktivitas uang gelap, penyembunyian, hindari tanggungjawab hukum, pajak dan lain-lain.

Baca Juga:  Presiden Jokowi Segera Perintahkan Panglima TNI Proses Prajurit Penyiksa Warga Sipil Papua

“Dengan penemuan ini, ekspansi sawit Seperti ini tentu akan hilang semua hak-hak masyarakat adat. Hilangnya tradisi itu berkaitan dengan sistem hidup, politik dan kebudayaan akan semua hilang. Sehingga ekspansi sawit tidak hanya berdampak pada alam, ekonomi tapi juga sampai ke level komunitas.”

“Dengan Kajian ini Grenpeace memberikan rekomendasi perlu ada koreksi serius tentang paradikma kebijakan pembangunan Papua dan Papua Barat, karena suda salah arah menurut kami.”

Nicodemus Wamafma, Greenpeace Indonesia menyampai tentang investasi berbasis lahan, ancaman serius kehidupan manusia dan hutan Papua.

“Grenpeace sendiri melihat persoalan tentang investasi perkebunan sawit di Papua, jadi ada sesuatu yang serius di tanah Papua hari ini, dari investasi-investasi yang masuk untuk melihat kepentingan ekonomi. Dan mengabaikan hak-hak hidup orang Papua,” katanya.

Baca Juga:  Freeport Indonesia Dukung Asosiasi Wartawan Papua Gelar Pelatihan Pengelolaan Media

Menurutnya, dari tahun 1967-2020 banyak irisan kepentingan. Pada tahun 1967 adalah perusahaan raksasa bernama PT. Fereeport masuk, kemudian belakanangan banyak perusahaan lain hingga sekarang.

“Irisan kepentingan di tanah Papua ini, ada berbagai macam aktor kepentingan, yang pertama ada masyarakat adat Papua, negara, pemerintah lokal, investor migran, dan ada OMS. Kalau bicara masyarakat adat, tanah ini milik mereka, tapi kehadiran negara, investor membuat hancur.”

Fientje Yarangga koordinator Tiki  Jaringan HAM Perempuan Papua juga mengungkapkan tentang, perlindungan hak-hak perempuan dari ancaman pembangunan dan investasi  di Papua.

“Pandangan perempuan terhadap sumber daya alam di Papua tidak terlepas dari kehidupan manusia. Dari dulu sampai sekarang tidak ada satu kasus yang diselesaikan, sehingga ketika negara tidak melakukan tindakan maka masyarakat harus melakukan tindakan,” katanya.

 

Pewarta: Ardi Bayage

Editor: Elisa Sekenyap

Artikel sebelumnyaGereja dan Mahasiswa Tolak Rencana Pembangunan Korem di Jayawijaya
Artikel berikutnyaDPRD Minta Kasus Intan Jaya Segera Diinvestigasi