Hamparan hutan Papua. (IST -SP)
adv
loading...

JAYAPURA, SUARAPAPUA.com — Sepuluh Civil Society Organization (CSO) atau organisasi masyarakat sipil yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil tolak food estate di Papua. 

Pernyataan itu disampaikan pihaknya pada 28 September 2020 melihat rencana Presiden Joko Widodo yang hendak membangun food estate di lahan seluas 2.052.551 ha. Luasan ini merupakan akumulasi dari 1.304.574 Ha Hutan Lindung, Hutan Produksi, Hutan Produksi Tetap, dan Hutan Konversi serta 734.377 Ha Areal Penggunaan Lain (APL).

Sabatha Rumadas, juru bicara koalisi Masyarakat Sipil Tolak Food Estate di Papua mengatakan, proyek food estate untuk alasan ketahananan pangan di masa pandemi Covid-19 adalah suatu perencanaan yang diduga akan menimbulkan masalah baru. Hal itu merujuk pada 5 (lima), “manfaat food estate’.

“Dari pengalaman empiris, Orang Asli Papua sudah terdampak dari rangkaian pembangunan berbasis industry dengan beragam judul. Berbagai publikasi terkait kehidupan OAP yang mengalami keterpurukan, negara belum hadir memberi rasa keadilan sesuai amanat konstitusi. Pertanyaannya, dimana tanggung jawab negara terhadap kehidupan OAP yang terdampak pembangunan oleh industry ekstraktif,” jelas Rumadas.

Selain itu, berbagai rekomendasi investasi oleh pemerintah di tanah Papua telah melahirkan sejumlah masalah yang belum terpulihkan. Kondisi tersebut telah berakibat pada krisis multidimensi, di mana dari sisi budaya, OAP kehilangan kearifan local sebagai identitas, transformasi sosial, dan ekonomi dalam koridor nilai kearifan local, tempat berburu, obat- obatan tradisional untuk mengatasi masalah kesehatan termasuk kebutuhan hidup jangka Panjang untuk generasi berikutnya.

ads
Baca Juga:  KPU Papua Terpaksa Ambil Alih Pleno Tingkat Kota Jayapura

“Pada era pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (2010), pemerintah mengembangkan proyek Food Estate di Merauke, Provinsi Papua, dengan nama MIFEE (Merauke Integrated Food Energy Estate) yang sangat akomodatif pada kepentingan koorporasi dan komoditi komersial.”

“Pemerintah memberikan izin-izin usaha budidaya pertanian tanaman pangan, perkebunan tebu dan kelapa sawit, serta hutan tanaman industri kepada 45 perusahaan dengan mengkonversi kawasan hutan dan lahan seluas lebih dari 1,3 juta hektar. Proyek MIFEE belum berjalan sebagaimana mestinya, karena masalah sosial, ekonomi dan lingkungan, dan masih mendapatkan perlawanan masyarakat adat, maupun publik luas,” tambanya.

Respon pemerintah atas analisis FAO, maka akan mengalami krisis pangan sehingga perlunya perencanaan food estate bukanlah jawaban atas krisis. Perlu pula pemerintah sadari bahwa ketahanan pangan ditengah pandemi adalah dengan memberi akses / ruang bagi OAP untuk mengelola sumber daya alamnya.

“Sehingga jika pemerintah mau serius memperhatikan OAP bukan dengan proyek strategis nasional / food estate melainkan menghormati mereka, dan memberi akses kelola terhadap SDM. Pemerintah harus pahami, sejak pemberlakuan UU No.21/2001 tentang Otsus, OAP sebagai pemilik hutan, tidak pernah mendapat akses kelola hutannya hingga akhir UU dimaksud.”

Baca Juga:  Kepala Suku Abun Menyampaikan Maaf Atas Pernyataannya yang Menyinggung Intelektual Abun

Aiesh Rumbekwan, Direktur Eksekutif WALHI Papua yang juga anggota koalisi menyatakan, rencana Presiden Jokowi membangun food estate di Papua adalah ide lama yang sudah terbukti pernah gagal di banyak tempat di Indonesia dan bahkan di Papua sendiri.

“Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE) yang digagas Presiden Susilo Bambang Yudhoyono Tahun 2010 dan dilanjutkan Presiden Jokowi Tahun 2015, yang awalnya direncanakan untuk didominasi tanaman pangan seperti beras, jagung, kedelai dan tanaman pangan lainnya, saat ini faktanya lebih banyak didominasi industi perkebunan sawit dan Hutan Tanaman Industtri (HTI),” kata Rumbekwan.

Maka koalisi masyarakat sipil mengingatkan bahwa rencana konversi kawasan hutan seluas 1.304.574 ha dan 734.377 ha APL menjadi lahan industri pangan bukan saja akan merusak alam karena deforestasi, tetapi juga akan mengorbankan keberlanjutan hidup masyarakat adat Papua.

“Bagi masyarakat adat, hidup mereka bukan saja tergantung pada alam, tetapi hidup mereka menyatu bersama alam. Kepunahan alam berarti mengancam keberlanjutan masyarakat adat. Karena ada banyak cerita dari Merauke yang sudah didokumentasikan peneliti dan wartawan bagaimana deforestasi telah mengubah alam masyarakat adat Malind dan kepemilikan tanah mereka beralih ke pihak lain atau dirampas (land grabbing) dengan surat-surat resmi yang diterbitkan oleh pemerintah,” tambah Aiesh

Baca Juga:  ULMWP: Aneksasi Papua Ke Dalam Indonesia Adalah Ilegal!

Koalisi Masyarakat Sipil menegaskan Tolak Food Estate dan menolak diulangnya kembali food estate di Papua, meminta Presiden Jokowi menghentikan rencana pembangunan food estate di Papua.

Sebaliknya membangun kepercayaan dan pemulihan sebagai tanggung jawab negara, serta mendesak Gubernur Papua Lukas Enembe untuk memperhatikan rakyatnya yang belum terpulihkan akibat kebijakan pemerintah pusat yang tidak memberi akses kelola hutan selama periode Otsus dengan menolak rencana pemerintah pusat, dan tidak mengajukan permohonan pelepasan kawasan hutan untuk tujuan food estate ini.

10 Organisasi Masyarakat Sipil yang bergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil tolak food estate di Papua adalah;

  1. Keadilan Perdamaian Keutuhan Ciptaan (KPKC) Sinode GKI di Tanah Papua
  2. Perkumpulan Advokat HAM (PAHAM) Papua
  3. Pengkajian Penelitian Masyarakat Adat (PPMA) Papua
  4. Sekretariat Keadilan Perdamaian (SKP) Keuskupan Agung
  5. Jaringan Kerja Rakyat (JERAT) Papua
  6. Yayasan Pusaka Bentala
  7. WALHI Papua
  8. Sekretariat Keadilan Perdamaian Keutuhan Ciptaan (SKPKC) Fransiskan Papua
  9. Konsultasi Independent Pemberdayaan Rakyat (KIPRa) Papua
  10. Papuan Voices Nasional

 

Pewarta: Ardi Bayage

Editor: Elisa Sekenyap

Artikel sebelumnyaVeronica Koman dan TAPOL Luncurkan Laporan Gerakan West Papua Melawan 2019
Artikel berikutnyaMasyarakat Adat Abun Akan Gelar Musdat LEMASA