Mentalitas Oligarki-Timokrasi dan Otsus Jilid II (Bagian II/Habis)

0
1332

Oleh: Bernardus Bofitwos Baru, OSA)*
Penulis direktur SKPKC-OSA, tinggal di Sorong.

Patut dipertanyakan, mengapa pemerintah Pusat dan Daerah serta sejumlah komponen masyarakat Papua sebagai antek-anteknya, begitu getol memperpanjang UU Otsus Papua? Mengapa mereka ini mengatakan bahwa Otsus membawa dampak positif bagi orang Papua? Aspek mana saja yang dinilai positif? Apakah pembangunan infrastruktur atau fisik sudah memberikan indikasi yang valit bahwa Otsus Papua jilid I berhasil? Sejauhmana pembangunan infrastruktur ini mengangkat harkat dan martabat orang asli Papua sebagai manusia? Apakah harkat dan martabat manusia Papua hanya diukur dengan keberhasilan pembangunan infrastruktur (fisik)? Apakah proyek pembangunan infrastruktur yang dicanangkan oleh Pemerintah Pusat dan Daerah didasari oleh mentalitas oligarki dan timokrasi?

Dari pertanyaan-pertanyaan tersebut di atas, dianalisa bahwa pernyataan Otsus membawa dampak positif bagi orang asli Papua, karena dinilai dari aspek finansial (uang), dimana Pemerintah mengalokasikan dana Osus yang besar demi pembangunan infrastruktur (pembangunan fisik), operasional birokrasi dan dana keamanan. Sedangkan pihak mayoritas orang Papua melihat Otsus jilid I gagal total. Indikatornya adalah kewenangan kebijakan Pemerintah Daerah yang tidak didelegasikan sepenuhnya oleh Pemerintah Pusat, masih terkatung-katung penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat, terjadinya marginalisasi orang Papua yang semakin hari semakin melebar, pelurusan sejarah integrasi yang belum terakomodir secara dialogis, penambahan pasukan TNI-Polri di seluruh pelosok Papua, dan pencaplokan jutaan hektar hutan atau tanah adat oleh pihak pemodal yang berkolaborasi dengan Pemerintah (kaum birokrat), TNI-Polri, pelaku hukum, ekonomi dan politisi, terutama politisi asli Papua.

Berlandaskan analisa atas data empiris dan non empiris pembangunan di Provinsi Papua dan Papua Barat, memberikan indikasi kuat, bahwa secara de facto kebijakan politik pembangunan yang dicanangkan oleh Pemerintah Indonesia kepada rakyat Papua melalui Otsus jilid I, tidak berdampak secara signifikan, karena tidak berdampak pada pembangunan martabat manusia Papua. Data empiris mencakup data-data fisik berupa pembangunan fisik atau infrastruktur seperti jalan raya, rumah, jembatan, pasar, pelabuhan, lapangan terbang, dan juga semakin bertambahnya para pencari kerja dari luar Papua yang masuk ke Papua, penambahan jumlah pasukan TNI-Polri dengan membuka pos-pos baru, beroperasinya berbagai perusahaan multinasional dan internasional, serta data-data non fisik berupa minimnya produk hukum dan kewenangan politik yang diberikan oleh Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah. Sedangkan data non empiris mencakup pengalaman suka dan duka yang dialami langsung oleh orang asli Papua sendiri terhadap dampak Otsus.

Berdasarkan data-data empiris tersebut di atas, melahirkan pertanyaan krusial bagi orang asli Papua, sejauhmana pembangunan infrastruktur (fisik) dan non infrastruktur (non fisik) membawa dampak positif dan negatif bagi orang asli Papua? Yang dimaksudkan dengan dampak positif dan negatif di sini mencakup lima aspek utama, yaitu aspek ekonomi, aspek sosial-budaya dan ekologi, aspek politik, aspek religi, serta aspek HAM meliputi hak hidup, hak berpendapat-berekspresi, hak berserikat, dan hak memenuhi kebutuhan dasar sebagai manusia.

ads

Tulisan ini hanya menyoroti aspek ekonomi, sosial-budaya dan ekologi, serta aspek HAM.

  1. Aspek ekonomi

Dari pengalaman empiris atas pembangunan fisik yang selama ini dijalankan di Papua, menjadi pijakan bagi pihak pemerintah pusat dan daerah termasuk yang pro-Otsus jilid II, sehingga dinilai bahwa Otsus telah membawa dampak positif bagi orang asli Papua. Memang tidak dapat dipungkiri bahwa telah terjadi perubahan fisik, berupa pembangunan jalan raya yang menghubungkan daerah perkotaan dengan pedesaan, pembangunan bandara udara dan laut, pembangunan perkantoran dan perumahan, dan lainnya.

Hal ini memang membanggakan pihak Pemerintah Pusat dan Daerah, termasuk orang non Papua (kaum imigran), namun tidak bagi orang asli Papua. Bagi orang asli Papua, pembangunan fisik ini tidak terlalu membanggakan. Mengapa? Karena ada satu pertanyaan mendasar yang selalu mengusik di hati masyarakat Papua adalah seberapa untungnya orang asli Papua dapat menikmati dampak positif secara ekonomis dari pembangunan jalan raya?

Baca Juga:  Kura-Kura Digital

Jadi berdasarkan pengalaman non empiris yang dialami oleh saya sendiri, dapat dikatakan bahwa dampak positif pembangunan jalan raya secara ekonomi bagi orang asli Papua dikatakan persentasinya kecil, dibandingkan orang pendatang atau non Papua. Hal ini terbukti dengan adanya mobil penumpang jalur pedesaan yang mayoritas pemiliknya orang non asli Papua. Para sopirnya pun mayoritas orang non Papua.

Selain para sopir mobil penumpang dari kota ke wilayah pedesaan ataupun antar kabupaten maupun dalam kota yang mayoritasnya pendatang, juga penggunaan jasa jalan raya tersebut. Mayoritas pengguna jasa jalan raya di Papua adalah para pedagang non asli Papua atau pendatang. Hampir setiap hari ditemukan mobil dan motor yang lalu-lalang mengangkut bahan Sembako, dari distrik yang satu ke distrik lainnya, dari kampung yang satu ke kampung yang lain. Belum lagi kios-kios yang didirikan oleh para pedagang non Papua (kaum imigran) di berbagai kabupaten dan distrik pemekaran. Dengan cara ini orang asli Papua tidak dididik/diberdayakan mandiri secara ekonomi, tetapi malahan menciptakan mentalitas ketergantungan dan diperbudak.

Kemandirian secara ekonomi dikebiri oleh sistem ekonomi yang sengaja diciptakan dan dikuasai oleh pihak pedagang non Papua. Pola ini sangat ironi, karena tanah yang luas dan alam yang kaya tidak dikelola oleh orang asli Papua sendiri. Karena akibat mentalitas ketergantungan yang sengaja diciptakan oleh kaum oligarki dan timokrat yang berjaya di seluruh Tanah Papua hingga saat ini.

Dengan demikian, orang asli Papua dengan sengaja dimanfaatkan dan dijadikan objek ekonomi bagi para pendatang (kaum imigran). Para pedagang non Papua dengan pintar dan licik memanfaatkan keterbatasan, kepolosan, keluguan, dan minimnya pengetahuan serta keterampilan yang dimiliki oleh orang asli Papua untuk meraih keuntungan yang sebesar-besarnya.

Melalui cara politik ekonomi ini, terjadi berbagai kasus, seperti kasus busung lapar yang terjadi di Asmat pada tahun 2018. Karena disebabkan oleh perubahan pola hidup baru, dimana anak-anak dan ibu-ibu mengkonsumsi makanan instan expire (habis masa berlakunya) dan tidak hygiene (tidak sehat), yang diperdagangkan oleh para pedagang non Papua. Ironiya lagi, para pedagang ini menjual sayur kangkung dan supermi ke kampung-kampung yang justru “gudang” sayur-mayur.

Inilah kebijakan pembangunan ekonomi yang digodok dan dijalankan oleh kaum oligarki dan timokrat yang bermental epithumia (ketamakan dan kerakusan uang dan kekayaan material), yang merasuk dan menguasai tubuh Pemerintahan Pusat dan Daerah selama Otsus berlangsung.

Di sinilah letak perbedaan visi dan misi pembangunan yang dibawa oleh para misionaris luar negeri dengan visi dan misi pembangunan yang dibawa oleh Pemerintah Indonesia dan para misionaris dalam negeri. Seperti yang dikatakan oleh bapak Pendeta Hans Wanma bahwa Belanda dulu datang bangun Papua dengan belajar budaya orang Papua terlebih dahulu dari 257 suku. Kemudian mereka bekerja dengan mengutus tim ahli untuk memberdayakan orang Papua, kemudian menggunakan orang Papua sendiri yang bekerja membangun negerinya. Sedangkan bangsa Indonesia datang ke Papua dengan membawa transmigran, tukang bakso, tukang gunting, tukang pencuri, tukang korupsi, tukang pijat (prostitusi), tukang pembohong (penipu), ojek, sopir taksi, buka kebun kelapa sawit, sawah, tebu, pohon akasia, pencopet, begal, dan lain-lain.

Para misionaris luar negeri dan pemerintahan Belanda mempunyai visi dan misi pembangunan yang jelas, yaitu membangun manusianya, bukan pembangunan fisik semata demi mengeruk keuntungan ekonomi bagi pribadi mereka. Visi dan misi pembangunan para misionaris luar negeri dan pemerintahan Belanda adalah menjadikan orang asli Papua sebagai subjek pembangunan, dan memberdayakan orang asli Papua, bukannya memperalat, memperbudak dan memanfaatkan orang asli Papua demi meraih keuntungan bagi diri mereka sendiri.

Hal yang sangat memprihatinkan orang asli Papua adalah keterlibatan kaum aparat TNI-Polri yang notabene bertugas di dunia keamanan, malahan aktif di dunia bisnis-perdagangan, bahkan para petinggi TNI-Polri mempunyai saham di berbagai perusahaan kelapa sawit, pertambangan batu bara, dan lain-lain, yang sedang beroperasi di seluruh Tanah Papua. Karena keterlibatan para aparat keamanan di dunia bisnis/perdagangan, maka ruang gerak ekonomi orang asli Papua dimata-matai, dicurigai, dibatasi, bahkan dihentikan, dengan alasan demi keamanan, karena bisnis orang asli Papua dianggap berbahaya bagi negara. Sebab menurut kaca mata mereka, jika banyak orang asli Papua yang berhasil secara ekonomi akan ada dukungan finansial kepada kelompok pejuang kemerdekaan Papua. Karena itu, ruang gerak ekonomi orang asli Papua harus dikontrol dan diawasi bahkan dibatasi melalui berbagai kebijakan yang langsung maupun tidak langsung. 

  1. Aspek sosial-budaya dan ekologi
Baca Juga:  Musnahnya Pemilik Negeri Dari Kedatangan Bangsa Asing

Hal yang sangat berkaitan erat dengan aspek kehidupan sosial dan budaya orang asli Papua, yaitu hutan atau tanah adat atau hak ulayat. Secara filosofis dan teologis, orang asli Papua memandang tanah-hutan sebagai ibu, sekaligus sebagai sesuatu yang sakral, yang kudus. Karena hutan adat atau hak ulayat bukanlah sekedar objek ekonomi semata, melainkan sebagai sesuatu yang bermakna lebih.

Tanah-hutan selain sebagai tempat jaminan hidup secara ekonomis, tetapi juga sebagai tempat yang melahirkan identitas budaya dan jati diri orang Papua. Misalnya konsep tentang totem dan marga atau klan (faam) yang sangat berkaitan erat dengan alam. Tanah-hutan juga dipercayai sebagai tempat manifestasi Yang Ilahi kepada manusia. Hutan-tanah adat juga sebagai tempat (locus) pijakan marga atau klan (faam) secara komunal-sosiologis. Selain bermakna ekonomis, sosial, dan spiritual-rohani, hutan-tanah adat juga bermakna penyembuhan (healing), karena di dalam hutan terdapat berbagai jenis obat-obatan yang berfungsi untuk menyembuhkan berbagai jenis penyakit (hutan sebagai apotik hidup).

Jadi, bagai orang asli Papua, hutan-tanah adat bukan hanya dipandang sebagai yang bermanfaat ekonomis, tetapi juga bermakna spiritual-rohani, pengobatan, dan sosial-budaya. Maka, bagi orang asli Papua, manusia, hutan-tanah adat dan segala yang ada di dalamnya adalah satu kesatuan utuh, yang tak terpisahkan satu sama lain, saling ketergantungan. Karena itu, ketika terjadi kerusakan hutan-tanah adat, pasti akan berdampak secara langsung, maupun tidak langsung kepada kehidupan manusia. Dapat dipastikan bahwa berbagai krisis dapat menimpa eksistensi orang asli Papua.

Misalnya krisis identitas budaya, krisis jati diri, krisis kepercayaan kepada Yang Ilahi, krisis kesehatan, krisis relasi sosial, dan lainnya. Situasi krisis ini sedang dihadapi orang Papua saat ini, akibat berbagai proyek eksplorasi yang telah dan sedang terjadi.

Sejak Papua dianeksasi ke dalam NKRI, hampir sebagaian besar tanah adat atau hutan adat atau hak ulayat masyarakat adat di seluruh Tanah Papua telah dicaplok dan dieksploitasi secara besar-besaran oleh berbagai perusahaan multi nasional dan internasional. Jutaan hektar tanah adat orang asli Papua telah dirampas, diduduki, dan dieksploitasi secara sewenang-wenang oleh pihak pengusaha yang berkolaborasi dengan Pemerintah Pusat dan Daerah serta di-back up oleh TNI-Polri.

Misalnya berbagai perusahaan HPH, MIFE (Merauke Integrated Food and Energy) dan MIRE (Merauke Integrated Rice Estate) tahun 2006 di Merauke, berbagai perusahaan kelapa sawit, pertambangan, kawasan ekonomi khusus (KEK) di Sorong, PT. Freeport McMoRan, dan lain-lain. Tanah hak ulayat atau tanah adat orang Merauke telah dibagi-bagi oleh 33 perusahaan dalam negeri, yang bergerak di bidang perkebunan sawit, tebu, jagung, padi, dan pengolahan kayu. Misalnya PT. Kerta Kencana mengeksploitasi lahan 160.000 hektar, PT. Balikpapan Forest Indo mengeksploitasi lahan 45.000 hektar; untuk usaha sawit PT. Energi hijau Kencana mengeksploitasi lahan sebesar 90.000 hektar, di bidang pertebuan oleh PT. Hardaya Sugar Papua 45.000 hektar, dan PT. Agri Surya Agung 40.000 hektar, di bidang perjagungan oleh PT. Medco Papua Alam 74.000 hektar dan masih banyak PT lainnya (Sumber: Prof. Amin Rais, www.Youtube.com).

Semua perusahaan ini beroperasi dan bereksploitasi karena seizin Pemerintah Pusat dan Daerah. Perampasan tanah adat ini semata-mata demi memenuhi kebutuhan ketamakan perusahaan-perusahaan tersebut. Inilah mentalitas oligarki dan timokrasi yang didayai oleh nafsu epithumia, nafsu mengumpulkan uang dan kekayaan material yang sebanyak-banyaknya demi kepuasannya, tanpa perasaan perikemanusiaan dan keadilan.

Baca Juga:  Kura-Kura Digital

Oleh karena itu, orang asli Papua sangat mengharapkan dengan lahirnya UU Otsus Papua nomor 21 tahun 2001, menjadi instrumen politik dan hukum yang dapat memproteksi hak-hak dasar dan hutan adat mereka dari eksplorasi kekayaan alam yang sewenang-wenang oleh berbagai perusahaan raksasa. Namun kenyataannya lain, kekuatan UU Otsus Papua tidak bisa membendung nafsu ketamakan perusahaan-perusahaan raksasa tersebut untuk mengeksploitasinya. Dari eksploitasi ini telah terjadi laju deforestasi di seluruh Tanha Papua secara cepat.

Contoh, Papua Forest Watch mendokumentasikan bahwa setiap tahunnya terjadi deforestasi di seluruh Papua sekitar 189.300 hektar hutan adat. Per Januari hingga Maret 2020 saja tercatat terjadi laju deforestasi hutan adat di Papua sebesar 1.488 hektar. Sedangkan AMAN (Aliansi Masyarakat Adat Nusantara) mencatat bahwa jumlah pengakuan hukum oleh Pemerintah atas hak ulayat (wilayah adat) dan tanah adat sama sekali tidak ada (nihil).

  1. Aspek HAM (Hak Asasi Manusia)

Ditinjau dari perspektif HAM, cara-cara eksploitasi penguasaan lahan dalam skala besar di atas tanah adat atau hak ulayat, sehingga berakibat negatif kepada manusia dan lingkungan hidup, dikategorikan sebagai “pembunuhan” secara tidak langsung (indirect killing). Mengapa? Karena segala aspek yang merupakan sumber hidup orang asli Papua dirusakan dan dihancurkan oleh berbagai perusahaan besar sebagaimana telah disebutkan di atas.

Terjadinya gizi buruk di Kabupaten Asmat pada tahun 2018 adalah salah satu contohnya.

Akibat dari kebijakan politik pemekaran daerah sebagai bentuk ekspansi kekuasaan ekonomi di Papua. Orang asli Papua dininabobokan dengan iming-iming PNS (pegawai negeri sipil), sedangkan peluang dunia usaha/bisnis secara leluasa diperuntukan kepada masyarakat non asli Papua (kaum imigran).

Inilah strategi politik ekonomi yang dimainkan oleh kaum oligarki dan timokrat. Tujuanya untuk perluasan investasi dalam skala kecil maupun besar demi memenuhi dorongan nafsu epithumianya, hasrat besar untuk mengumpulkan uang dan kekayaan yang sebanyak-banyaknya, tanpa peduli kepada yang punya hak atas tanahnya.

Selain pembunuhan secara tidak langsung (indirect killing) melalui penghancuran alam-hutan milik masyarakat adat, pembunuhan secara tidak langsung juga dikemas melalui cara bisnis mimuman keras (miras), peredaran obat-obat terlarang (narkoba), maupun pembunuhan melalui pemberian racun seperti yang dilakukan kepada Munir aktivis HAM dan beberapa tokoh politik Papua, seperti Tom Wanggai, serta pembunuhan melalui stigma rasisme seperti yang terjadi pada tanggal 16 Agustus 2019 di Surabaya.

Demikian juga pembunuhan melalui sikap mengabaikan tanggungjawab terhadap akses pelayanan kesehatan kepada ibu hamil, bayi dan anak (baca artikel Suara Papua, 6 Juni 2020, “Politik Rasisme, Kematian Bayi dan Anak Serta Ambang Kepunahan Orang Papua”). Belum lagi pembunuhan secara langsung yang dilakukan oleh TNI-Polri terhadap orang asli Papua (baca artikel Suara Papua, 14 Agustus 2020,Otsus Jilid II, Dialog dan Referendum untuk Bangsa Papua”).

Maka disimpulkan bahwa sikap Pemerintah Pusat dan Daerah bersama antek-anteknya yang bersikeras memperpanjang Otsus jilid II, karena mentalitas oligarki dan timokrasi yang mendayai atau menguasai mereka. Mentalitas oligarki dan timokrasi sebagai mesin penggerak yang mampu menggerakan Pemerintah Pusat dan Daerah bersama antek-anteknya, sehingga mereka tetap bersikeras agar Otsus jilid II diberlakukan. Karena bagi mereka, dengan diperpanjang masa berlaku Otsus, maka baik para penguasa politik (pemerintah Pusat dan Daerah, DPR-MPR, DPRD), praktisi hukum “plat merah”, LSM “plat merah”, pelaku ekonomi (pemegang saham, pebisnis), BIN dan BAIS, maupun TNI-Polri, dengan leluasa mengeksploitasi kekayaan alam Papua dan terlibat dalam pengelolaan sejumlah dana Otsus yang diperuntukkan bagi berbagai proyek pembangunan infrastruktur dan dana keamanan demi memuaskan nafsu ketamakan dan kerakusan mereka (epithumia). (*)

Artikel sebelumnyaMentalitas Oligarki-Timokrasi yang Melandasi Upaya Perpanjang UU Otsus (Bagian I)
Artikel berikutnyaMenlu Prancis Akan Mendatangi Kaledonia Baru untuk Kunjungannya Selama Tiga Minggu