Otsus Jilid II, Dialog dan Referendum untuk Bangsa Papua

0
3138

Oleh: Bernardus Bofitwos Baru, OSA)*
Penulis, Direktur SKPKC-OSA, tinggal di Sorong

Otsus Papua Jilid I, Apakah Peluang atau Ilusi Politik Jakarta?

Pada hakikatnya Undang-Undang Otonomi Khusus Papua (Otsus Papua) jilid I, merupakan produk politik win-win solution (kompromi politik) atas konflik politik antara bangsa Papua dengan Pemerintah Indonesia. Lahirnya Otsus Papua jilid I, bukanlah “hadiah politik” dari Pemerintah Indonesia kepada Rakyat Papua, melainkan suatu perjuangan politik murni dari orang Papua sendiri (politic struggle). Tanpa perjuangan yang gigih oleh orang Papua sendiri, mustahil bagi orang Papua mendapatkan Otsus ini.

Jakarta pasti tidak pernah dan tidak akan memberikan suatu perangkat politik dan hukum kepada orang Papua untuk menata dan membangun jati dirinya dan melindungi hak-hak politiknya. Selama diintegrasikan ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), orang Papua dimasukkan ke dalam kurungan sistem politik Pemerintahan yang mengurung, menghimpit, memeras dan menidas (otoriter) serta membunuh secara sistematis.

Sejumlah pengalaman kekerasan politik (politic violence), kekerasan terhadap hak-hak asasi  manusia (human right violence), kekerasan terhadap nilai-nilai budaya (culture violence)  dan kerusakan lingkungan hidup melalui pencurian dan penebangan kayu secara liar (illegal logging) serta eksploitasi kekayaan alam yang besar-besarnya oleh perusahaan-perusahaan raksasa seperti Freeport, perusahaan gas  di Babo-Bintuni, MIFE di Merauke, dll. Pengalaman-pengalaman ini memotivasikan orang Papua untuk bangkit mengkonsilidasi dirinya, guna menghadapi serangan politik kekuasaan, ekonomi dan keamanan yang bertubi-tubi, yang dilancarkan oleh Pemerintah Jakarta kepada bangsa Papua. Untuk mempertahankan diri dari serangan-serangan kekerasan tsb (upaya resistensi), maka orang Papua  menyusun kekuatannya untuk menghadapi Jakarta.

ads

Dari upaya resistensi ini, melahirkan sejumlah  gerakan perjuangan: Perjuangan kebudayaan, kemanusiaan dan  politik (politic movements) serta perjuangan ekonomi. Perjuangan tsb diantaranya, melalui penciptaan lagu-lagu bernuansa kedaerahan dari seluruh wilayah Papua, seperti  mambesak pimpinan almarhum Arnold Ap dan lahirnya Lembaga Masyarakat Adat (LMA) dan Lembaga swadaya Masyarakat (LSM). Perjuangan para aktivis HAM melalui pendirian lembaga-lembaga HAM seperti: Elsham Papua, LBH Papua, SKP (Sekretariat Keadilan dan Perdamaian) oleh pihak Gereja Katolik dan GKI, pengikraran Papua Sona Damai (Papua Land of Peace)  pada tanggal 21 September 2005 (J.Budi Hermawan: 2005), dan lain-lain.  Perjuangan   politik, seperti: lahirnya Tim 100, terselenggaranya  Kongres Papua pada tanggal 30 Mei s/d 2 Juni 2000 dan terbentuknya Presedium Dewan Papua pada tanggal 3 Juni 2000.  Dan Salah satu hasil dari rentetan perjuangan politik orang Papua ini adalah terlahirnya Undang-Undang No. 21/2001 tentang Otonomi Khusus Papua (Otsus) jilid I.

Namun hati orang asli Papua masih terusik dengan sejumlah pertanyaan: Apakah Otsus Papua ini telah menjawab secara optimal perjuangan politik, ekonomi dan sosial-budaya orang asli Papua?  Apakah Otsus Papua membuahkan hasil yang optimal bagi orang asli Papua? Apa hasil yang didapatkan oleh orang asli Papua dari Otsus Papua jilid I? Mengapa Otsus Papua jilid I tidak membawa hasil yang memadai bagi orang asli Papua?

Dari pertanyaan-pertanyaan di atas, memberikan suatu gambaran yang jelas bahwa Pemerintah Republik Indonesia tidak menginginkan pelaksanaan yang utuh, murni dan konsekuen serta menyeluruh dari pasal-pasal Undang-Undang Otonomi Khusus Papua jilid I. Jakarta menunda-nunda Surat Keputusan Presidesn (Kepres) tentang pembentukan Majelis Rakyat Papua (MRP), dan melalui Presiden Megawati Soekarnoputri, mengeluarkan Instruksi Presiden (Inpres) No. I/2003 tentang percepatan pelaksanaan Undang-Undang (UU) No. 45/1999 tentang pembentukan Provinsi Irian Jaya Tengah, Provinsi Irian Jaya Barat, Kabupaten Paniai, Mimika, Puncak Jaya dan kota Sorong. Para penguasa di Jakarta berkehendak kuat untuk menciptakan suatu distabilitas politik, ekonomi dan sosial-budaya di Papua (N.Tebay, West Papua the struggle for peace with justice, 2005: 17).

Strategi politik Jakarta adalah politik insentif semata melalui “penghamburan dana (uang) Otsus” yang sedemikian besar dan politik pemekaran Provinsi, Kabupaten, Kota, Distrik dan Desa.  Di dalam strategi politik insentif dan pemekaran ini, terselubung suatu strategi politik yang dirancang rapi oleh para Penguasa di Jakarta untuk melumpuhkan perjuangan orang asli Papua guna menegakkan hak-haknya, sehingga kebenaran dan keadilan sungguh-sungguh terwujud.

Melalui peluncuran dana (uang) Otsus yang begitu besar, sehingga menutupi pasal-pasal dan ayat-ayat dari Undang-Undang Otonomi Khusus (Otsus) Papua jilid I. Karena pasal-pasal dan ayat-ayat Otsus Papua ini ditutupi dengan uang, maka membuat orang asli Papua, khususnya para elite politik terbui, terlena, tergila-gila, sehingga mata hatinya buta melihat apa yang merupakan hakikat perjuangan bangsa West Papua selama ini. Dengan uang Otsus ini menumpulkan, memandulkan bahkan membunuh suara hati para elite politik Papua, sehingga tidak mampu membela dan memperjuangkan hak-hak dan martabatnya sebagai manusia, secitra dengan Allah (imago Dei). Maka potensi mentalitas ketamakan dapat bertumbuh dan berkembang, sehingga melahirkan korupsi, kolusi dan nepotisime di mana-mana.

Sedangkan melalui strategi politik pemekaran, Pemerintah Pusat menghipnotis orang Papua, sehingga mudah digiringnya ke dalam “kandang perebutan kekuasaan” dan ‘dininabobokan’ oleh kenikmatan sesaat. Maka potensi mentalitas perebutan kekuasaan, jabatan dan kedudukan serta kerakusan mengumpulkan harta merajalela di seluruh pelosok tanah Papua. Yang sangat memilukan hati, bukan hanya para elite politik Papua yang melakukan hal itu, melainkan dilakukan juga oleh para elite politik non Papua.

Dengan demikian orang-orang asli Papua, khususnya kaum elite politik saling menjatuhkan, merampas, bahkan saling membunuh satu sama lain untuk mendapatkan kedudukan atau jabatan Gubernur, Bupati, Wali Kota dan Distrik, kepala kampong, dll. Oleh sebab itu, tidaklah mengagetkan kalau desa-desa yang telah disatukan melalui perjuangan keras para Misionaris asing (para pastor dan pendata), dipecah-pecah, dipotong-potong dengan mudahnya menjadi kampung-kampung kecil, yang notabene kembali ke mentalitas lama, yaitu getho-isme (margaisme, kampungisme, wilayahisme, dan sukuisme). Otsus jilid I bukannya memajukan Orang Papua agar semakin bersatu hati (cor unum), malahan sebaliknya, menciptakan mentalitas getho-isme yang memecahbelah kesatuan orang asli Papua sendiri.

Baca Juga:  Vox Populi Vox Dei

Ditinjau secara geopolitis fenomena pemekaran merupakan strategi politik divide et impera bagi orang Papua, yang sengaja didesain oleh Pemerintah Pusat, yang bermental oligarki, dan ditunggangi oleh kepentingan kapitalis atau kaum pemodal. Hal ini terbukti dengan apa yang dikatakan oleh Dhandy Laksono bahwa, ”negara mencuri lebih banyak dari yang diberikan bagi Papua leat Otsus”.  Dana Otsus hanyalah gula-gula politik, bahkan menurutnya, dana Otsus bukan politik etis. Ketika pilar nilai-nilai kekeluargaan- kebersamaan masyarakat basis terpecah-belah, apalagi masyarakat kota, kabupaten dan provinsi. Maka dikatakan bahwa orang Papua sedang menunggu waktu “kehancuran” kesatuanya yang akan menimpa dirinya.

Bila dibandingkan, masyarakat Eropa yang memiliki kesadaran politik dan stabilitas ekonomi yang tinggi, malahan berkomitmen membangun sistem politik unilateral (Uni Eropa). Mengapa orang Papua yang sudah sedikit populasinya tidak bersatu? Mengapa sedang terjadi demikian? Dengan demikian memudahkan peluang terciptanya perebutan kekuasaan dan kekayaan alam oleh pihak non Papua. Bila iklim mentalitas  materialisme, hedonisme, konsumerisme dan “powerisme” yang mendominasi dan menguasai para elite politik Papua, maka strategi politik Jakartalah yang menang. Maka disimpulkan bahwa Otonomi Khusus Papua (Otsus) jilid I gagal total bukan peluang memajukan harkat dan martabat rakyat bangsa West Papua melainkan ilusi politik Jakarta?

Kalau Otsus jilid I sudah gagal dan sebagai ilusi politik Jakarta untuk orang Papua, mengapa Pemerintah Pusat terus memaksakan Ostsus Papua jilid II kepada rakyat bangsa Papua?  Apa motivasi politik dan ekonominya? Mengapa Pemerintah Jakarta harus “ngotot”?

Pater Neles dan Dialog Jakarta-Papua

Apa yang dimaksud dengan dialog? Mengapa diperlukan dialog? Siapa yang seharusnya berdialog? Dialog dari kata Inggris dialogue, artinya percakapan (dalam sandiwara, cerita, dan sebagainya). Dialog juga berarti karya tulis yang disajikan dalam bentuk percakapan antara dua tokoh atau lebih. Berdialog artinya bersoal jawab secara langsung; bercakap- cakap. Dari etimologi tsb disimpulkan bahwa dialog – berdialog adalah suatu percakapan atau bersoal jawab secara langsung antara dua orang atau lebih tentang sesuatu hal penting. Maka dalam konteks Papua, dialog adalah suatu percakapan, diskusi, debat antara orang Papua dengan pemerintah Republik Indonesia.

Mengapa perlu dialog antara orang Papua dengan Pemerintah RI? Perlunya dialog karena ada persoalan penting yang belum diselesaikan secara tuntas oleh Pemerintah Jakarta dengan bangsa west Papua. Masalah yang belum diselesaikan oleh Pemerintah RI di antarnya:

Pertama, Masalah konflik politik PEPERA (Penentuan Pendapat rakyat) – pelurusan sejarah integrasi atau act of free choice yang terjadi pada tahun1962. Karena saat itu pelaksanaan Pepera diserahkan kepada Badan Pelaksana Administrasi Pemerintahan PBB sementara di tanah Papua Barat atau United Nations Temporary Executive Administration (UNTEA), yang dibentuk pada tgl 21 September 1962 ( D.N. Pigay  2000: 277);

kedua masalah pelangaran HAM yang terjadi sejak Pepera hingga hari ini, ketiga, masalah marginalisasi budaya dan manusia Papua, dan keempat masalah politik rasisme. Keempat masalah inilah yang perlu diselesaikan antara bangsa Papua dengan Pemerintah RI melalui dialog. Tanpa dialog konflik antara bangsa Papua dengan Pemerintah Jakarta tidak dapat diselesaikan.

Pater Neles dalam bukunya,  Angkat Pena demi Dialog Papua, Kumpulan Artikel Opini tentang Dialog Jakarta –Papua Tahun 2001-2011, menegaskan bahwa dialog adalah cara terbaik untuk menyelesaikan “masalah Papua” telah dicetuskan sejak tahun 2000.

Dalam sebuah diskusi antara saya dengan pater Neles di kamar pribadi di Collegio Internasional Santa Monika, Roma (2004),  Ia mengatakan kepada saya bahwa ia tidak akan berhenti untuk terus berseru tentang dialog antara orang asli Papua dengan Pemerintah Republik Indonesia. Karena ia melihat persoalan Papua tidaklah mudah diselesaikan. Persoalan Papua memiliki latar belakang yang berbeda dengan persoalan Timor Leste atau GAM di Aceh. Konflik Papua lebih kompleks dan rumit, sehingga membutuhkan solusi yang tepat dan menyeluruh serta adil bagi semua, yang didasari oleh prinsip prikemanusiaan dan kebenaran ilahi. Karena konflik Papua mengandung banyak kepentingan dari berbagai pihak yang turut menungganginya.

Oleh karena itu, semasa hidupnya, pater Neles tak jemu-jemunya “berseru-seru” tentang dialog. Ia berupaya mengajak pihak Pemerintah Pusat agar berdialog dengan pihak Papua yang terdiri dari berbagai komponen perjuangan, demikian pun sebaliknya.

Di berbagai forum diskusi-seminar, pater Neles terus-menerus mengajak pihak Jakarta dan Papua agar duduk bersama di satu meja untuk berdialog agar mengakhiri konflik yang terus terjadi hingga saat ini. Akibat konflik ini telah memakan ribuan nyawa yang tak bersalah, khsusunya ibu-ibu, anak-anak, remaja dan lansia di seluruh tanah Papua, dari pihak Papua tetapi juga dari pihak aparat.

Bagi pater Neles, dialog bukan tujuan menyelesaikan konflik yang ada, melainkan dialog adalah jalan (via) atau medium untuk meningkatkan kepercayaan antara rakyat Papua dan pemimpin Pemerintahan, dalam hal ini Presiden dengan jajarannya (bdk. N. Tebay, Bersama-Sama Mencari Solusi untuk Papua Damai, 2017: 72). Tujuan dialog adalah mencari dan menemukan solusi terbaik secara bersama-sama agar mengakhiri konflik antara orang Papua dengan Pemerintah Indonesia yang masih terus terjadi. Melalui dialog masalah-masalah diidentifikasi dan ditemukan solusinya (N.Tebay 2017:72). Bila masalahnya dapat diidentikasikan dan ditemukan solusinya, maka tujuan akhir dari dialog adalah damai atau perdamaian (peace). Melalui dialog rasa keadilan dari pihak yang ditindas dapat dijawab, sehingga kedamaian dapat tercapai sebagai cita-cita hidup bersama.

Baca Juga:  Kura-Kura Digital

Karena persoalan kemanusiaan, khususnya persoalan pelanggaran HAM dan marjinalisasi orang Papua dan budayanya, mendorong pater Neles, sehingga all out (mempertaruhan segalanya) agar terjadi dialog, sehingga perdamaian bisa tercapai. Dengan demikian manusia Papua dan Indonesia dapat hidup berdampingan sebagai saudara-saudari. Orang Papua dan orang Indonesia adalah sama-sama manusia. Karena diciptakan oleh Allah, bercitra dengan-Nya (imago Dei). Karena sebagai sesama manusia yang bercitra Allah, maka semua komponen, baik di pihak Papua maupun pihak Pemerintah RI dan rakyatnya, supaya duduk bersama menyelesaikan konflik Papua ini dengan hati nurani sebagai manusia. Sebagai manusia, mestinya kedua belah pihak yang bertikai lebih mengedepankan afeksi kemanusiaan melalui jalan dialog daripada sentimen dan dendam, sehingga ditemukan solusi terbaik demi kebaikaan bersama (bonum commune).

Didorong oleh misi kemanusiaan ini, maka pater Neles mengagas berdirinya Jaringan Damai Papua (JDP). Karena itu, atas dasar misi kemanusiaan, maka keanggotaan JDP pun direkrutnya dari berbagai latar belakang suku, agama, pendidikan, dan status sosial. Karena dijiwai oleh roh kemanusiaan ini, maka pater Neles mengajak siapa saja yang berhati kemanusiaan, terlibat memperjuangkan Hak-Hak Asasi Manusia (HAM) Papua yang terus ditindas dan dibunuh oleh para penguasa bangsa Indonesia. Atas dasar roh kemanusiaan ini, pater Neles mengajak siapa saja yang nuraninya terpanggil oleh soal kemanusiaan agar datang bersama-sama mencari solusi, sehingga tercapailah Papua damai, sebagaimana dicantumkan pada judul bukunya: Bersama-Sama Mencari Solusi untuk Papua Damai, Bunga Rampai, Mei 2017.

Tuhan Yesus diutus oleh Allah Bapa di Sorga ke dunia untuk menyelamatkan semua orang, siapa pun dia, apa pun latar belakangnya. Di mata Tuhan Yesus semua manusia sama, tidak ada perbedaan. Maka logis bila terjadi praktek penindasan, pembunuhan, pemerkosaan terhadap hak-hak manusia lain, mestinya dibantu agar mereka dibebaskan dari penindasan tsb. Inilah visi Injil yang menjiwai pater Neles dalam perjuangannya menyerukan dialong demi perdamaian dan kemanusiaan.

Jadi, pater Neles mampu menepatkan misi kemanusiaan sebagai yang paling terdepan dari semua kepentingan yang ada. Maka, mestinya kita pun memiki kesadaran yang sama seperti yang dimiliki oleh pater Neles. Kita berjuang bukan hanya sebatas kepentingan politik kekuasaan, kemerdekaan politik (Papua Meredeka), status dan kekayaan material semata, melainkan kemerdekaan martabat manusia sebagai anak-anak Allah (bdk. Rom 8: 19).  

Referendum

Referendum dari bahasa Latin adalah suatu proses pemungutan suara semesta untuk mengambil sebuah keputusan, terutama keputusan politik yang mempengaruhi suatu negara secara keseluruhan, misalnya adopsi atau amendemen konstitusi atau undang-undang baru, atau perubahan wilayah suatu negara. Sedangkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) menjelaskan arti kata referendum sebagai berikut: Pertama, referendum artinya penyerahan suatu masalah kepada orang banyak supaya mereka yang menentukannya (jadi, tidak diputuskan oleh rapat atau oleh parlemen); penyerahan suatu persoalan supaya diputuskan dengan pemungutan suara umum atau semua anggota suatu perkumpulan atau segenap rakyat.

Mengapa orang Papua santer menutut referendum? Ada apa sehingga orang Papua menutut referendum? Apa saja hal-hal mendasar yang mendorong orang Papua menuntut referendum?

Melalui whatsAPPnya, pastor Amandus Rahadad, Pr pastor Paroki Katedral Kristus Raja Timika, menjelaskan tentang mengapa orang Papua menolak Otsus jilid II dan mengehendaki referendum kepada dua anggota BIN (Badan Intelijen Negara), yang datang bertemu denganya. Pastor Amandus menegaskan bahwa Otsus adalah solusi yang tidak “solusif”. Baginya, Otsus Papua jilid I tidak memberikan solusi yang signifikan bagi orang asli Papua, malah Otsus menambah masalah baru bagi orang asli Papua. Otsus Papua jilid I tidak menjawab pertanyaan-pertanyaan mendasar orang asli Papua kepada Pemerintah NKRI dan masyarakat internasional, dalam hal ini pihak Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Dalam bahasanya pastor Amandus, orang Papua “minta ikan”, Pemerintah beri “ular”, tidak KENA!. Orang Papua minta kerinduan batin dipenuhi (kelaparan rohani), yaitu dialog, Pemerintah berikan Otsus, kelaparan jasmani. Jelas TIDAK KENA.

Berdasarkan fakta-fakta di lapangan bahwa Otsus Papua jilid I gagal, karena Pemerintah Jakarta tidak dapat memberikan apa yang merupakan permintaan orang Papua, yaitu “ikan”. Pemerintah Jakarta justru memberikan “ular”. Apa yang dimaksud dengan “ikan”?

“Ikan” adalah pelurusan sejarah Pepera, penyelesaian kasus-kasus pelaggaran HAM yang dilakukan oleh negara melalui aparatnya, TNI-POLRI, dan penghormatan dan pengakuan atas hak-hak dasar orang asli Papua mencakup hak budaya, hak berekspresi, hak berkumpul dan berserikat, dll. Inilah “ikan” yang dimita oleh orang Papua kepada Pemerintah Jakarta. Malahan terbalik, Pemerintah Pusat memberikan “ular”. Apa yang dimaksud dengan “ular”? Ular secara kasat mata, menakutkan, mengerikan, bahkan mematikan, apa lagi ular berbisa karena mempunyai racun yang mematikan. “Ular” pemberian Pemerintah Jakarta kepada orang Papua adalah kebijakan-kebijakan politik, ekonomi dan keamanan yang bernuansa rasisme dan eksploitasi sumber-sumber kekayaan alam, sehingga merusak seluruh tatanan (nilai-nilai budaya dan sistem sosial) hidup orang asli Papua, dan pendekatan militeristik yang terus-menerus melahirkan kekerasan, sehingga mengorbanan ribuan  nyawa orang Papua.

Baca Juga:  Politik Praktis dan Potensi Fragmentasi Relasi Sosial di Paniai

Berkaitan dengan soal eksploitasi sumber-sumber kekayaan alam dan kekerasan militer ini, telah didokumentasi sejumlah data. Misalnya, LSM Forest Watch, mencatat bahwa laju deforestasi (penggundulan) hutan Papua setiap tahunnya sebesar 189.300 hektar. Per Januari – Maret 2020 saja tercacat terjadi laju deforestasi hutan di Papua sebesar 1.488 hektar. Demikian juga Yayasan Pusaka mencatat ada sekitar 9.110.793 hektar hutan yang dieksploitasi oleh perusahaan pertambangan. Kekuatan pemodal atau kaum kapitalis yang mempengaruhi kebijakan politik dan ekonomi Pemerintah Pusat terhadap pembangunan di Papua, terbukti dengan empat gelombang ekspansi eksploitasi kekayaan alam di Papua sebagaimana dikatakan oleh Dhandy Laksono. Gelombang pertama, ekspansi perusahaan Freeport di Timika, gelombang kedua ekspansi perusahaan gas bumi di Babo-Bintuni, gelombang ketiga ekspansi perkebunan kelapa sawit, dan gelombang keempat ekspansi perusahan batu bara.

Dampak negatif dari eksploitasi hutan ini di antaranya merusak tatanan ekosistem dan kekayaan yang ada di hutan, menghancurkan identitas orang Papua, karena alam mengandung falsafah hidup, religiusitas, dan prinsip kebudayaan yang lahir dari relasi manusia dengan alam- hutan. Hutan sebagai tempat yang menyediakan berbagai kebutuhan yang menjamin keberlangsungan hidup manusia, baik kekayaan alamnya, udaranya, keindahannya, dan maupun sebagai representasi misteri ilahi bagi manusia. Belum lagi data tentang pelanggaran HAM yang dilakukan oleh pihak aparat TNI-POLRI. Misalnya: Melalui data yang didokumentasikan oleh Koalisi Internasional untuk persoalan HAM Papua (Human Rights in West Papua 2013, the third report of Human Rights and Peace for Papua-the International Coalition for Papua (ICP) covering events from October 2011 until March 2013), tentang extra-judicial killings (pembunuhan di luar prosedur hukum).

Beberapa peristiwa pembunuhan di antaranya: Pembunuhan terhadap Petrus Ayemseba umur 36 tahun pada tanggal 10 Oktober 2011 dan Leo Sandagau umur 38 tahun pada tanggal 15 Oktober 2011 di Timika.  Pembunuhan terhadap aktivis kemanusiaan, Terjoli Weya umur 23 tahun pada tanggal 1 Mei 2012 di Abepura-Jayapura, pembunuhan terhadap Melianus Kegepe umur 23 tahun pada tanggal 15 Mei 2012 di Degeuwo, Paniai. Peristiwa Paniai ini juga memakan korban beberapa pemuda yang terkena tembakan Brimob, sehingga mengalami luka-luka berat. Mereka itu di antaranya, Selpius Kegepe umur 22 tahun, Amos Kegepe umur 22 tahun, Lukas Tobeta umur 20 tahun, dan Yulianus Wagepa umur 24 tahun. Pembunuhan terhadap Elinus Yoman umur 27 tahun oleh anggota batalion Yonif 753 di kampong Honelama, Wamena pada tanggal 6 Juni 2012. Pembunuhan terhadap anggota KNPB: Yesa Mirin umur 22 tahun, Fanuel Tablo umur 29 tahun, dan Tanius Kalakmabin umur 20 tahun pada tanggal 4 Juni 2012 di kampong Harapan, Sentani – Jayapura. Pembunuhan terhadap seorang pemuda aktivis KNPB bernama Teju Tabuni umur 17 tahun oleh empat orang anggota polisi di stasiun bus pada tanggal 7 Juni 2012 di Dok 5, Jayapura. Pembunuhan terhadap wakil ketua KNPB, Musa Mako Tabuni umur 30 tahun oleh Tim Densus 88 di Waena-Jayapura pada tanggal 14 Juni 2012.

Serangkaian pembunuhan sebagaimana dipaparkan di atas, hanya yang terjadi pada tahun 2012, belum lagi yang terjadi tahun-tahun sebelumnya selama 43 tahun dan sesudahnya hingga saat ini. Maka disimpulkan bahwa kasus pembunuhan di luar prosedur – penanganan hukum (extra-judicial killings) lebih banyak lagi yang terjadi. Ratusan bahkan ribuan orang Papua yang telah dibunuh di luar prosedur – penanganan hukum oleh TNI-POLRI atas nama Negara. Inilah pemberian “ular” oleh Pemerintah Pusat kepada orang Papua, sehingga menambah memoria passionis (kenangan penderitaan) orang Papua, dan pula menambah luka, sehingga sangat memilukan hati orang Papua. Inilah bukti bahwa Otsus Papua jilid I gagal. Maka orang Papua bersikeras menolak Otsus jilid II.

Bila Otsus jilid II dipaksakan oleh Pemerintah Jakarta, maka apa yang akan terjadi bagi masa depan orang Papua di atas tanah leluhurnya. Oleh karena itu, bagi orang Papua, Pemerintah NKRI harus menempuh langkah-langkah baru yang membawa solusi bermartabat. Sudah waktunya Pemerintah Jakarta mengambil langkah dialog dengan orang Papua atau dengan bangsa West Papua agar ditemukan solusi terbaik bagi kedua belah pihak. Bila Pemerintah Pusat tidak serius menanggapi seruan dialog ini, maka langkah terakhir adalah referendum untuk penentuan nasib sendiri (self-determination) bagi bangsa West Papua.

Jalan (via) dialog adalah langkah demokratis dan bermartabat yang harus ditempuh oleh kedua belah pihak. Jika Pemerintah Jakarta berkeras hati (bersikeras) tidak menghiraukan seruan rakyat West Papua untuk dialog sebagai solusi bermartabat, maka tuntutan referendum menjadi solusi terakhir bagi bangsa west Papua. Jika kedua langkah tsb tidak ditempuh oleh kedua belah pihak, maka persoalan konflik Papua tidak akan selesai, malah akan menambah “luka”,  sebagaimana dikatakan oleh Prof. Dr. Franz Magnis Suseno, SJ, “ibarat luka besar yang membusuk dalam tubuh bangsa Indonesia”. Kalau luka tsb terus membesar, tidak diobati, maka semakin membusuk lukanya, sehingga berakibat pada “kematian”, bagi keduanya, bukan hanya “kematian” bagi bangsa West Papua, tetapi juga bagi bangsa Indonesia. (*)

 

 

 

Artikel sebelumnyaPeran Kepemimpinan Perempuan Papua di Masa Lalu, Kini dan Akan Datang
Artikel berikutnya1500 Orang Ditangkap pada 2019 Karena Suarakan West Papua di Indonesia