PolhukamHAMAmnesty Internasional Indonesia Soroti Penangkapan Anggota MRP

Amnesty Internasional Indonesia Soroti Penangkapan Anggota MRP

JAYAPURA, SUARAPAPUA.com — Amnesty International Indonesia menegaskan, penangkapan anggota dan staf Majelis Rakyat Papua (MRP) oleh Kepolisian Resor (Polres) Merauke dengan tuduhan makar merupakan pembungkaman ruang demokrasi bagi Orang Asli Papua (OAP).

Usman Hamid, direktur eksekutif Amnesty Internasional Indonesia, mengatakan, rapat dengar pendapat (RDP) yang dipersiapkan MRP di Merauke merupakan bagian dari kebebasan berekspresi, berkumpul, dan berserikat.

“Menangkap mereka secara sewenang-wenang sangatlah diskriminatif, sementara kita tahu kebebasan berkumpul untuk kelompok lain justru dijamin. Belum lagi, mereka dituduhkan dengan pasal makar hanya karena mengutarakan pendapat dengan damai. Ini jelas bentuk pelanggaran hak asasi manusia,” tuturnya.

MRP merupakan perwakilan dari masyarakat Papua dan mempunyai hak untuk meminta dan mengutarakan pandangan masyarakat Papua terhadap implementasi Otonomi Khusus (Otsus).

Baca Juga:  Enam Bulan Korban Banjir Menanti Janji Pemkab Sorong

Seharusnya, kata Usman, pemerintah dan aparat penegak hukum menjamin dan melindungi hak tersebut, bukan melakukan tindakan represif yang semakin menggerus kebebasan berekspresi.

“Penangkapan terhadap mereka di Papua yang menggunakan haknya untuk berekspresi dan berkumpul, seperti kawan-kawan MPR ini akan sulit untuk dihentikan selama pasal makar di KUHP masih diterapkan di luar ketentuan yang diizinkan dalam hukum hak asasi manusia internasional,” ujarnya.

Terpisah, Yan Christian Warinussy, direktur eksekutif Lembaga Penelitian, Pengkajian dan Pengembangan Bantuan Hukum (LP3BH) Manokwari, menyoroti tindakan Kapolres Merauke yang tentunya diketahui Kapolda Papua merupakan sebuah sikap arogansi kekuasaan dan memalukan sesama institusi negara antara Polri dan MRP.

Baca Juga:  Suku Afsya Desak Pemkab Sorsel Mengakui dan Melindungi Kearifan Lokal

Sebab menurutnya, Polri didirikan atas dasar Undang-Undang 2 nomor tahun 2002 tentang Polri, sedangkan MRP merupakan institusi resmi negara yang didirikan berdasarkan amanat Pasal 19-25 dari Undang-Undang nomor 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua.

“Ini merupakan tindakan menghalang-halangi MRP menjalankan tugas dan wewenang sesuai amanat Undang-Undang Otsus Papua,” ujarnya.

Jika Polres Merauke bertolak dari isi maklumat Kapolda Papua untuk melakukan tindakan penangkapan, Yan menyatakan, “Itu sangat disayangkan dan memalukan institusi resmi MRP sendiri.”

Sejumlah barang milik tim MRP yang ditahan di ruang kerja Ipda Jimson Sitanggang (NRP 71070396), Kaur Binops Reskrim Polres Merauke, antara lain:

  1. Uang Rp550 juta (uang penunjang kegiatan RDP MRP Rp332.000.000 di plastik dan Rp218.000.000 di dalam 109 amplop. Semua uang diletakan di dalam koper warna hitam abu-abu.
  2. Uang SPPD Wensislaus Fatubun Rp14.000.000.
  3. Laptop MacBook pro warna Silverstone milik Wensislaus Fatubun.
  4. Passport milik Wensislaus Fatubun.
  5. Tas kulit untuk laptop yang berisi hearphone, jam tangan, sejumlah nota transaksi, alat perekam, mic, dan beberapa barang lain yang ada di dalam tas.
  6. ID milik Wensislaus Fatubun.
  7. Dompet kulit warna hitam 1 buah.
  8. Dompet kulit buaya 1 buah.
  9. Uang SPPD Rp135.282.000 dan penunjang kegiatan milik anggota MRP, Amatus Ndatipits.
  10. Sejumlah uang SPPD milik anggota MRP, Felisitas Kabagaimu.
  11. Sejumlah baju berkerak untuk acara RDP
  12. Spanduk kegiatan dua buah
  13. Buku pedoman RDP MRP
Baca Juga:  Seluruh Tanah Papua Perlu Ada Sekolah Adat

Pewarta: Yance Agapa
Editor: Markus You

Terkini

Populer Minggu Ini:

Dua Warga Sipil di Ilaga Tewas Diserang Mortir

0
“Pada hari Selasa (6/5/2025) sekitar jam 09.25, serangan menewaskan Deris Kogoya berusia 18 tahun yang masih berstatus pelajar SMP Negeri 1 Ilaga. Deris Kogoya tewas setelah terkena serangan bom dan roket yang telah menghancurkan tubuh korban. Sementara Jemi Alom mengalami korban luka akibat serangan tersebut,” tulisnya dalam siaran pers pagi ini, Rabu (7/5/2025).

Fortnightly updates in English about Papua and West Papua from the editors and friends of the banned 'Suara Papua' newspaper.