Legislator Intan Jaya Sesalkan Sikap Pemkab yang Tidak Dukung RDP MRP

0
969

JAYAPURA, SUARAPAPUA.com — Legislator Intan Jaya mengaku kesal terhadap sikap pemerintah kabupaten di daerah Meepago yang tidak mendukung Rapat Dengar Pendapat (RDP) yang hendak digelar Majelis Rakyat Papua (MRP) tentang Otonomi Khusus di Tanah Papua selama 19 tahun.

Pernyataan tersebut dilontarkan Martinus Maisini, Anggota DRPD Kab. Intan Jaya Papua. Kabupaten Intan Jaya masuk dalam wilayah Meepago, sehingga Maisini melontarkan pernyataan tersebut kepada semua pemerintah daerah di wilayah Meepago.

Saat menghubungi media ini pada Sabtu (21/11/2020), Martinus Maisini yang juga Ketua Komisi B DPRD Kabupaten Intan Jay menilai pemerintah daerah tidak memiliki kapasitas untuk batalkan agenda MPR. Karena kegiatan yang diselenggarakan MRP sudah sesuai dengan tupoksinya yang telah diatur melalui UU No. 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Tanha Papua pada pasal 77 tentang  evaluasi pelaksanaan Otsus sebelum berakhir.

“Pemerintah daerah harusnya fasilitasi RDP yang dilakukan MRP. Bukan membatasi bahkan melarang. Sikap Pemda Meepago bahkan beberapa wilayah adat yang menolak itu keliru dan itu berlawanan dengan hukum,” katanya.

Dia juga menilai Pemda di beberapa wilayah adat yang menolak pelaksanaan RDP, merupakan tindakan yang menutupi kuropsi dana Otsus selama ini.

ads
Baca Juga:  Soal Satu WNA di Enarotali, Begini Kata Pakum Satgas dan Kapolres Paniai

“RDP ini kan ruang untuk rakyat menilai implementasi Otsus selama ini. Tapi beberapa kepala daerah RDP menolak. Dari sikap seperti ini kita bisa menilai bahwa ada yang tak beres dengan penggunaan dana otsus itu sendiri,” ujarnya.

Martinus berharap agar MRP kembali melakukan RDP di daerah atau wilayah adat yang menolak untuk gelar RDP itu. Karena, lanjut dia, Otsus tetap lanjut atau tidak, rakyat Papua berhak untuk menentukannya.

“Bukan gubernur, bupati, DPR dan atau orang-orang yang mengatasnamakan orang Papua. Rakyat Papua harus diberi ruang untuk menentukan masa depan Otsus itu,” tegasnya.

Sebelumnya, Majelis Rakyat Papua (MRP) menyampaikan permohonan maaf kepada segenap masyarakat Meepago atas batalnya kegiatan rapat dengar pendapat wilayah (RDPW) lantaran tak diizinkan Asosiasi Bupati Meepago.

Kekecewaan dan permohonan maaf itu dikemukakan Debora Mote, wakil ketua II MRP dan Yuliten Anouw, anggota MRP Pokja Adat, kepada wartawan, Senin (16/11/2020) malam.

Pembatalan kegiatan RDPW di wilayah Meepago yang dipusatkan di kabupaten Dogiyai ditolak oleh Asosiasi Bupati Meepago melalui surat yang dikirim ke lembaga MRP.

Debora menyayangkan sikap pimpinan daerah di wilayah Meepago yang menolak RDPW yang diagendakan MRP sesuai mekanisme konsitusi UU Otsus Nomor 21 Tahun 2001 Pasal 77.

Baca Juga:  Ini Keputusan Berbagai Pihak Mengatasi Pertikaian Dua Kelompok Massa di Nabire

“Saya secara pribadi maupun lembaga MRP menyampaikan permohonan maaf kepada masyarakat Meepago (Nabire, Paniai, Dogiyai, Deiyai, Timika dan Intan Jaya) yang mana antusias dalam beberapa hari terakhir ini ingin sukseskan RDPW, tetapi menjelang hari pelaksanaan, tepatnya hari Selasa (17/11/2020) secara tiba-tiba tidak didukung oleh bupati setempat,” ujarnya.

Ia menyatakan, agenda RDP sesuai Pasal 77 UU Otsus, sehingga ASN dan kepala daerah harus mendukung pelaksanaan RDP.

“Kepala daerah harusnya mendukung dan menyukseskan agenda negara yang sudah diatur dalam undang-undang, bukan malah menentang aturan yang ditetapkan negara. Ada apa dibalik semua ini?” ujar Debora mempertanyakan.

Walau RDPW di wilayah Meepago ditolak oleh para bupati, MRP akan mencari jalan lain untuk melaksanakan agendanya mendengar langsung keinginan masyarakat Papua khusus di Meepago terkait implementasi Otsus Papua selama 20 tahun di Tanah Papua.

Kekecewaan sama diungkapkan Yuliten Anouw, Anggota MRP dari Pokja Adat ini menilai sikap para kepala daerah yang dengan sengaja menghalangi agenda RDPW di wilayah Meepago.

“Saya pribadi dan atas nama lembaga MRP sangat kesal, mengapa RDPW di Dogiyai ditolak untuk tidak dilaksanakan. Kami bingung juga karena dengan faktor apa sampai MRP diminta batalkan? Padahal saya sebagai putra asli Dogiyai sudah siap 90 persen mau sukseskan kegiatan ini,” tuturnya.

Baca Juga:  Seorang Fotografer Asal Rusia Ditangkap Apkam di Paniai

Yuliten mengaku tak mengerti dengan penolakan tersebut. Sebab, kata dia, hanya dengan surat yang dikirim Asosiasi Bupati Meepago ke pimpinan MRP, rapat dengar pendapat (RDP) yang diagendakan pun batal dilaksanakan.

“Memang kami tidak ingin ada terjadi sesuatu di tengah masyarakat bila ini dilakukan, berbenturan dengan penolakan dari kepala daerah, bisa timbul konflik. Masyarakat Meepago memahami ini, dan MRP juga tidak ingin ada konflik bahkan pertumpahan darah yang timbul kalau dipaksakan diadakan,” beber Anouw.

Meski batal dilaksanakan sesuai waktu yang ditetapkan, MRP menurutnya merencanakan solusi resmi lain untuk menjaring aspirasi masyarakat akar rumput dari wilayah adat Meepago.

“MRP akan mencari jalan lain supaya masyarakat bisa menyalurkan aspirasinya melalui mekanisme legal yaitu RDP.”

Tak dijelaskan waktunya, namun dua Anggota MRP utusan wilayah adat Meepago ini berharap, dalam waktu dekat bisa mendengar suara masyarakat terhadap implementasi Otsus.

Pewarta : Yanuarius Weya
Editor : Arnold Belau

Artikel sebelumnyaKetidakstabilan Perpolitikan PNG Bisa Mengganggu Pembicaraan Hasil Referendum Bougainville
Artikel berikutnyaPelajar yang Tertembak di Puncak Telah Dievakuasi ke Timika