ULMWP Serukan Doa Bersama Peringati Lahirnya Embrio Negara Papua

0
1694

WAMENA, SUARAPAPUA.com — Ketua United Liberation Movement for West Papua (ULMWP), Beny Wenda mengajak seluruh rakyat Papua untuk memperingati hari kelahiran deklarasi manifesto politik West Papua pada 1 Desember 1961.

“Saya mengajak seluruh rakyat West Papua dari Sorong sampai Samarai, dari seantero Melanesia dan dari seluruh dunia untuk mengadakan doa bersama pada tanggal 1 Desember 2020, untuk memperingati hari bersejarah bangsa kita ini,” katanya seperti dikutip media ini dari seruan yang telah diunggah ke situs resmi ULWMP.   

Wenda menjelaskan, Dewan Nugini (New Guinea Raad) memfinalisasi lagu kebangsaan, bendera dan simbol-simbol kenegaraan republik West Papua yang merdeka, serta merencanakan bentuk dari negara yang baru lahir ini. Sehingga, kata dia, ketika itu diplomat-diplomat dari Australia dan Belanda menyaksikan deklarasi ini.

“Tahun 2020 ini kami peringati secara damai sebagai akhir dari otonomi khusus. Kalian semua harus bersiap untuk mengambil alih negara kita kembali.”

“Kita tidak akan tunduk kepada permintaan dan tawaran dari Jakarta, kecuali permintaan itu melibatkan referendum untuk kemerdekaan bangsa kita. Hukum-hukum yang datang dari Jakarta tidak berlaku untuk kita,” ajak Wenda.   

Wenda juga meminta agar seluruh komponen bangsa west Papua dan kelompok solidaritas dalam maupun luar negeri untuk tunjukkan identitas dan simbol-simbol sebagai tanda memperingati hari lahirnya bangs Papua di tahun 2020. 

“Saya tahu bahwa masa pandemic virus Corona-19 ini adalah masa yang sangat sulit. Tetapi saya undang kalian untuk mengibarkan bendera Bintang Kejora di mana pun kalian berada, biar di dapur maupun di atap rumah anda. Tolong ambil foto tindakan kalian ini, dan bagikan di media sosial,” ajak Wenda. 

Bulan-bulan terakhir, lanjut Wenda, penuh dengan penderitaan bagi rakyat West Papua.

ads
Baca Juga:  ULMWP Kutuk Penembakan Dua Anak di Intan Jaya

“Karena  kami dibunuh dan dihabisi secara sistematis oleh tentara Indonesia. Tokoh-tokoh keagamaan kami seperti pendeta Yeremia Zanambani dan Rufinus Tigau, seorang katekis dari gereja Katolik disiksa dan dibunuh,” tambahnya. 

Dia membeberkan, seorang perempuan berumur 19 tahun, Dimisi Balingga dibunuh oleh tentara Indonesia di Sentani pada 4 November. Mahasiswa-mahasiswa West Papua banyak yang ditahan dan dibrutalisasi, hanya karena mereka mengadakan demonstrasi kecil-kecilan. Rakyat Papua tidak aman di bawah penjajahan Indonesia.   

Perjuangan panjang rakyat Papua mencetak banyak tanggal-tanggal bersejarah: 1 Juli 1971, 14 Desember 1988, 27 November 1997, Kongres Rakyat Papua I (2000), Kongres Rakyat Papua III (2011) dan deklarasi Saralana pada 2014.

ULMWP mengaku semua tanggal ini penting dan memiliki makna sendiri. Tetapi, 1 Juli 1961 adalah momen yang unik, yang tidak bisa disangkal oleh negara-negara di seluruh dunia. Indonesia tahu bahwa tanggal ini adalah tanggal penting bagi kita dan untuk masa depan West Papua.

“Kami sudah mengumumkan suatu Undang – Undang Dasar Sementara untuk West Papua. Ini adalah langkah yang penting, tapi kita harus terus melangkah maju. Rakyat West Papua harus siap. Sudah saatnya kita menunjukkan kepada Indonesia dan seluruh dunia bahwa kita serius, dan siap mengambil kembali kemerdekaan negara kita,” katanya.

Sebelumnya, KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur), menegaskan bahwa semua yang ada di Papua adalah saudara-saudara sebagai saudara sebangsa dan sesama manusia.

Sosok Gus Dur memang tidak bisa dilepaskan perannya dalam memberikan spirit kemanusiaan di tanah Papua dari segala bentuk diskriminasi, marjinalisasi, dan krisis di segala bidang. Hingga saat ini, rakyat Papua membutuhkan sekaligus menyayangi Gus Dur.

Pada tanggal 30 Desember 1999 atau tepat 2 bulan 10 hari setelah dilantik menjadi Presiden ke-4 RI, Gus Dur berkunjung ke Irian Jaya dengan dua tujuan, yaitu untuk berdialog dengan berbagai elemen di Papua dan melihat matahari terbit pertama milenium kedua tanggal 1 Januari 2000 pagi.

Pada 30 Desember 1999 dimulai jam 8 malam dialog dengan berbagai elemen dilakukan di gedung pertemuan Gubernuran di Jayapura. Meskipun dengan cara perwakilan, tetapi banyak sekali yang datang karena penjagaan tidak ketat. Dalam pertemuan berlangsung, Gus Dur mempersilakan mereka berbicara terlebih dulu, dari yang sangat keras dengan tuntutan merdeka dan tidak mempercayai lagi pemerintah Indonesia hingga yang memuji tapi dengan berbagai tuntutan.

Selanjutnya Presiden berbicara untuk merespons mereka. Banyak hal ditanggapi, tetapi yang penting ini, “Saya akan mengganti nama Irian Jaya menjadi Papua,” katanya. “Alasannya?”

“Pertama, nama Irian itu jelek,” kata Gus Dur. “Kata itu berasal dari bahasa Arab yang artinya telanjang. Dulu ketika orang-orang Arab datang ke pulau ini menemukan masyarakatnya masih telanjang, sehingga disebut Irian. Kedua, dalam tradisi orang Jawa kalau punya anak sakit-sakitan, sang anak akan diganti namanya supaya sembuh. Biasanya sih namanya Slamet. Tapi saya sekarang ganti Irian Jaya menjadi Papua.”

Seorang antropolog bahasa Melanesia mencari asal-usul kata irian yang diceritakan Gus Dur, tapi tidak pernah menemukannya. Ini benar-benar cara Gus Dur memecahkan masalah rumit dan besar seperti masalah Papua.

Ahmad Suaedy yang menulis buku Gus Dur, Islam Nusantara dan Kewarganegaraan Bineka: Penyelesaian Konflik Aceh dan Papua 1999-2001, menduga mengapa Gus Dur menggunakan alasan bahasa Arab dan tradisi Jawa? Gus Dur mencoba ‘menenangkan’ hati orang-orang Islam dan orang-orang Jawa yang berpotensi melakukan protes.

Perhatian Gus Dur terhadap konflik vertikal dan kedekatannya dengan para eksponen, yang oleh pemerintah pusat disebut separatis, sebenarnya bukan hanya di Indonesia, melainkan juga kepada negara-negara tetangga, seperti di Pattani, Thailand Selatan dan di Mindanao, Filipina Selatan.

Gus Dur tidak hanya memfasilitasi dialog dan mencari jalan damai, tetapi juga mendampingi mereka sebagai sahabat dan saudara, tanpa memprovokasi dan melanggar etika hubungan antarnegara. Karena Gus Dur juga terlibat aktif mewujudkan perdamaian bangsa-bangsa di dunia yang terlibat konflik.

Gus Dur menempatkan dua konflik vertikal di Papua sebagai isu kewarganegaraan. Perinsip utama kewarganegaraan adalah kesetaraan. Pendekatan yang dilakukan Gus Dur adalah dialog langsung. Melakukan penguatan masyarakat sipil. Melakukan berbagai pertemuan. Membangun kesepakatan, sampai pada titik nol derajat, yang berarti tidak ada tuntutan.

Dengan pendekatan personal yang begitu kuat, Gus Dur mengakomodasi penyebutan nama Papua. Sebelumnya, siapa saja yang menyebut Papua akan dianggap separatis. Pemerintah memberi nama Irian Jaya, sementara masyarakat inginnya Papua, karena Papua itulah nama yang sudah lama ada. Pengembalian nama Papua oleh Gus Dur berjalan tanpa syarat, tanpa konsensus apa pun, langsung saja dibolehkan untuk menyebut nama Papua.

Baca Juga:  Aksi Hari Aneksasi di Manokwari Dihadang Aparat, Pernyataan Dibacakan di Jalan

Pewarta: Onoy Lokobal
Penyunting: Yance Agapa
Editor: Arnold Belau

Artikel sebelumnyaMahasiswa Wilayah Lapago di Jayapura Minta MRP Lakukan RDP
Artikel berikutnyaSoal RDP, AMPTPI Minta Negara Hargai Hak Rakyat Papua