BeritaTahun Ketiga Masyarakat Nduga Tidak Rayakan Natal

Tahun Ketiga Masyarakat Nduga Tidak Rayakan Natal

JAYAPURA, SUARAPAPUA.com — Tahun ketiga masyarakat kabupaten Nduga tidak merayakan Natal karena masih berada di pengungsian semenjak pecah konflik bersenjata antara TNI/Polri dan TPNPB Kodap III Ndugama, 2 Desember 2018.

Suasana batin warga Nduga di pengungsian tidak seperti sesama lain yang merasakan indahnya hari raya Natal dari rumahnya, disesalkan Benny Murib, salah satu mahasiswa asal Nduga.

Perasaan sedih terhadap nasib orang Nduga hari ini terungkap dalam doa dan pemasangan lilin di Abepura, Kota Jayapura, Sabtu (19/12/2020) malam.

“Tekanan psikologis dan penderitaan orang Nduga terus berlanjut hingga hari ini. Pemerintah harus bertanggungjawab, agar orang Nduga kembali ke kampung halaman. Ini sudah dua tahun lebih tinggal di pengungsian,” kata Murib.

 “Sekarang sudah tiga tahun masyarakat Nduga tidak bisa rakayan Natal di kampung halaman,” lanjutnya.

 Yops Itlay, ketua Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Cenderawasih Jayapura, saat diskusi publik menyambut hari hak asasi manusia (HAM) sedunia 10 Desember 2020 di Waena, Kota Jayapura, Selasa (8/12/2020), mengatakan, di Ndugama tidak ada kidung pujian menyambut kelahiran Yesus Sang Juru Selamat. Tidak terdengar lagu-lagu rohani. Wajah gereja-gereja yang ada di sana tidak seperti sebelumnya. Suasana sangat sepi dari kebiasaan umat Nasrani selama berpuluh-puluh tahun.

“Nduga sampai hari ini belum aman. Banyak saudara-saudari kita meninggal di daerah pengungsian, ada yang tewas tertembak, keluarga terpencar, rumah bersama kebun dan ternak ditinggalkan, tidak bisa pulang ke kampung, tidak bisa rayakan Natal. Ini sangat menyedihkan,” tuturnya, Selasa (8/12/2020) di Waena, Kota Jayapura.

Penderitaan dan tangisan air mata masih belum menjauh dari pemilik negeri Ndugama. Mereka menurut Yops, benar-benar terusir dari kampung halamannya. Keinginan pulang kampung belum kesampaian lantaran tiada jaminan keamanan.

Baca Juga:  Pertamina Pastikan Stok Avtur Tersedia Selama Arus Balik Lebaran 2024

Ketua BEM Uncen berharap, masyarakat Nduga jika masih dianggap sebagai warga negara Indonesia, negara harus segera memberikan rasa aman kepada agar dapat merayakan Natal tahun ini. Termasuk warga yang ada di beberapa daerah rawan konflik.

“Negara harus jamin warga bisa rayakan Natal. Harus benar-benar pulih dan keamanannya terjamin,” pintanya.

Operasi militer di Nduga berawal 2 Desember 2018. Ini setelah 17 orang karyawan PT Istaka Karya ditembak mati pasukan TPNPB pimpinan Egianus Kogeya di kali Yigi-Aurak, distrik Yigi, kabupaten Nduga. Sudah dua tahun konflik berlanjut hingga memakan korban nyawa. 261 orang dilaporkan meninggal dunia. Beberapa diantaranya tertembak peluru militer, ada juga yang meninggal karena kelaparan di hutan belantara dan di tempat pengungsian.

Berkaca dari pengalaman selama ini, ia mengingatkan negara tidak lagi membuat janji palsu yang tidak pernah ditepati.

“Jangan hanya terus memberikan janji-janji palsu yang akhirnya menjadi luka busuk dalam negara ini. Ingat, apapun kebijakan pemerintah pusat, kalau tidak pernah selesaikan pelanggaran HAM, maka Papua ini akan begitu-begitu saja bahkan bisa lebih parah lagi,” tuturnya.

Yops juga menyatakan, penambahan pasukan disertai aksi penembakan segera dihentikan karena ini bukan solusi mengatasi persoalan Papua.

“Negara harus hentikan penambahan pasukan dan penembakan yang terus dilakukan di Nduga, Mimika dan Intan Jaya. Ini sudah tiga tahun rakyat Nduga tidak merayakan Natal. Berikanlah rasa aman kepada rakyat di sana agar Natal tahun ini bisa dirayakan dengan sukacita,” ucapnya berharap.

Terpisah, Louis Kobak, mahasiswa Fakultas Teknik Uncen Jayapura, mengaku sangat sedih dengan derita dan duka yang sedang dialami warga Papua pemilik Ndugama.

Baca Juga:  Ruang Panggung HAM Harus Dihidupkan di Wilayah Sorong Raya

“Di tengah operasi militer, saudara-saudari kita di kabupaten Nduga tidak bisa merayakan Natal. Tidak merasakan indahnya Natal. Kalau saja situasinya seperti dulu, mereka juga pasti menyambut kehadiran Yesus di dunia ini,” tuturnya, Minggu (13/12/2020).

Dalam situasi begini ia hanya bisa mendoakan situasi buruk segera berlalu. “Kita mencoba merasakan apa yang saudara-saudari dorang rasakan. Kami hanya bisa melakukan apa yang menjadi kewajiban kami yaitu berdoa.”

Tangisan duka dan derita di Ndugama dan Intan Jaya jelang hari Natal, menurutnya, kisah pilu kelamnya Papua sejak puluhan tahun silam.

“Operasi demi operasi dilancarkan di Ndugama sejak tahun 1977, 1996, 2000 dan 2018 yang masih berlanjut hingga akhir tahun 2020. Banyak orang Nduga meninggalkan tanah leluhurnya dan dipaksa pergi oleh timah panas, peluru dan deru tembakan. Ratusan warga mengungsi ke daerah tetangga bahkan kabupaten lain sejak operasi militer dilancarkan atas nama keamanan nasional. Tindakan militer Indonesia menyebabkan generasi muda Ndugama mengalami tekanan psikologis yang mengerikan. Kehancuran bidang pendidikan, sosial budaya, kesehatan, dan lainnya,” beber Louis.

Dampak dari operasi militer selama dua tahun lebih sangat terasa dengan jatuhnya korban di pihak warga sipil. Ratusan orang asli Papua meninggal, baik karena ditembak aparat keamanan, meninggal di hutan lantaran kelaparan dan sakit; banyak diantaranya meninggal dari tempat pengungsian.

“Satu contoh kisah menyedihkan, Pendeta Geyimin Nirigi salah satu tokoh Gereja disiksa dan disuruh menggali liang kuburnya hingga ditembak mati,” ucapnya membeberkan awal operasi militer di kabupaten Nduga.

Baca Juga:  ULMWP: Aneksasi Papua Ke Dalam Indonesia Adalah Ilegal!

Hari Natal yang dinanti-nantikan setiap orang untuk dirayakan dari kampung halaman bersama sanak saudara tidak berlaku bagi orang Nduga. Tahun kedua anak-anak penerus Ndugama tidak akan merasakan natal seperti dulu karena seluruh wilayah dikuasai pasukan bersenjata.

“Tradisi natal bersama yang sudah biasa dilakukan dari tahun ke tahun terpaksa harus terhenti selama tiga tahun ini. Di saat yang bersamaan, bapak Yairus Gwijangge, bupati sekaligus pemimpin terbaik Nduga telah pergi untuk selamanya kepada Allah di surga beberapa waktu lalu,” kata Louis.

Masih berlanjutnya operasi militer di kabupaten Nduga, Intan Jaya, dan Mimika, yang membuat umat Tuhan ketakutan hingga memakan korban jiwa, menurut Pdt. Dorman Wandikmbo, presiden Gereja Injili di Indonesia (GIDI), sudah berlangsung puluhan tahun.

Pendeta Dorman menyebut kekerasan negara melalui aparat keamanan di Tanah Papua mulai terjadi sejak tahun 1963, mengakibatkan tewasnya ribuan orang Papua yang ada di daerah perkotaan maupun pedalaman.

Militerisme di Tanah Papua, kata dia, kian bertambah dengan kebijakan negara mengirim pasukan militer. Kehadirannya menjalankan berbagai operasi membuat orang Papua terpaksa meninggalkan kampung halamannya, kehilangan penghidupan, dan kehilangan akses pelayanan pendidikan maupun kesehatan.

“Pemerintah bilang pada masa pandemi Covid-19 ini orang harus tinggal di rumah, tetapi orang Nduga sudah dua tahun mengungsi ke hutan, ke kabupaten lain, meninggalkan rumah mereka. Begitupun orang Intan Jaya sudah satu tahun tinggal di hutan, mengungsi ke daerah lain,” tuturnya.

Saat ini jelang Natal, ia pastikan warga Nduga tidak akan rayakan dari rumah. “Sungguh sangat menyedihkan,” ucap Pendeta Dorman.

Pewarta: Markus You

Terkini

Populer Minggu Ini:

ULMWP: Aneksasi Papua Ke Dalam Indonesia Adalah Ilegal!

0
Tidak Sah semua klaim yang dibuat oleh pemerintah Indonesia mengenai status tanah Papua sebagai bagian integral dari Negara Kesatuan Republik Indonesia, karena tidak memiliki bukti- bukti sejarah yang otentik, murni dan sejati dan bahwa bangsa Papua Barat telah sungguh-sungguh memiliki kedaulatan sebagai suatu bangsa yang merdeka sederajat dengan bangsa- bangsa lain di muka bumi sejak tanggal 1 Desember 1961.

Fortnightly updates in English about Papua and West Papua from the editors and friends of the banned 'Suara Papua' newspaper.