ArtikelRefleksi Paskah: Kristus dan Jiwa Revolusioner Kaum Perempuan

Refleksi Paskah: Kristus dan Jiwa Revolusioner Kaum Perempuan

Oleh: Ester Haluk)*
)* Penulis adalah mahasiswa program Pascasarjana Gereja dan Masyarakat di STT Walter Post Jayapura

Ketika duduk mendengar renungan Paskah tahun ini, saya mendengar suatu renungan khotbah yang sangat luar biasa yang mendorong saya menuliskan refleksi ini. Renungan tentang kisah Penyaliban dan Kebangkitan Kristus yang terambil dari Injil Matius 27-28.

Selama masa pelayanan-Nya yang singkat kurang lebih 3 tahun, Yesus telah benar-benar menjungkirbalikkan sendi-sendi ajaran Yudaisme yang memposisikan perempuan tak lebih dari objek belaka dan sama sekali tak dianggap ada. Suatu budaya yang sudah berurat akar dan sudah sangat mapan, yang tak mungkin digoyahkan karena sudah menjadi gaya hidup masyarakat Yahudi dan juga hampir sebagian masyarakat Timur Tengah.

Perempuan, dalam budaya yang sangat patriarkhis seperti Yudaisme percaya bahwa dosa asal sepenuhnya adalah ulah perempuan, dan perempuan hanya sebuah “property” milik sang ayah ketika masih kecil dan kemudian beralih pada sang suami ketika mereka menikah. Tak hanya itu, perempuan sama sekali tak dianggap penting untuk mendapatkan pendidikan, namun Kristus justru membawa suatu perspektif baru yang menawarkan angin segar egalitarianisme gender yang berpotensi menggoyang budaya lama yang Misoginistik dan sangat berpusat pada kaum Adam.

Itulah sebabnya, Kristus memiliki para pengikut perempuan yang setia menyertai bahkan menyokong pelayanan penginjilan yang dilakukannya dengan harta mereka. Perempuan-perempuan yang sudah diubahkan oleh Kristus dari pola hidup yang lama, dan kemudian diberikan perspektif baru tentang siapa sebenarnya diri mereka dalam pandangan Allah, dan gambaran diri yang sudah rusak, tak berharga sama sekali, dan dianggap tak memiliki peran signifikan apapun dalam sejarah peradaban manusia dipulihkan dan diberikan definisi baru bahwa mereka adalah manusia yang berharga.

Yesus yang muncul sebagai pembaharu yang membawa angin segar dengan ajaran-ajaran yang sangat egaliter, yang sangat bertolak belakang dengan aturan keagamaan yang ditetapkan oleh para ahli Taurat dan Guru-guru agama zaman itu. Sebagai Tuhan, Yesus tahu potensi apa yang dimiliki oleh kaum perempuan, namun jarang dimiliki oleh kaum laki-laki yaitu kesetiaan dan militansi serta keberanian mereka berdiri melindungi kehidupan saat mereka merasa suatu keadaan akan mengancam hal-hal baik yang memihak pada mereka.

Baca Juga:  Vox Populi Vox Dei

Alkitab merekam kisah kesetiaan kaum perempuan dengan memasukkan kisah bagaimana perempuan-perempuan tetap setia mengiringi langkah Kristus yang tertatih-tatih memikul salib melewati jalan Via Dolorosa, dan tak pernah sekalipun meninggalkan sisi-Nya saat peristiwa penyaliban-Nya di saat semua sahabat-sahabat-Nya kaum laki-laki lari menyembunyikan diri atau menyangkal-Nya di depan orang, menjual-Nya demi uang. Atau bahkan saat masyarakat Yahudi yang tadinya mengelukkan-Nya dengan sorak “Hosana, diberkatilah Dia yang datang atas nama Tuhan” berbalik menghujat dan meneriakkan yel-yel kematian: “Salibkan Dia”.

Para kaum perempuan tersebut tak malu ataupun takut diidentifikasi sebagai orang-orang yang berada dalam lingkaran dekat seseorang yang dicap ‘pengacau’ oleh para kaum Farisi ataupun dianggap pemberontak yang berencana melawan bangsa Romawi dan mendirikan suatu negara Yahudi merdeka. Tak ada siapapun yang mau mengidentifikasi diri dengan seseorang yang dibenci oleh mayoritas masyarakat, namun para kaum perempuan ini dengan kehadirannya di sekitar Kristus di saat-saat kritis secara tidak langsung menyampaikan pesan bahwa mereka tak takut dengan resiko kematian dan menghadapi hujatan massa sekalipun. Mereka tetap berada menemani-Nya saat ia berteriak: “Éloi… eloi Lama Sabakhtani” saat Ia memikul dosa dan kenajisan seisi dunia di atas pundak-Nya, sehingga Allah Bapa yang paling dekat dengan-Nya membelakangi-Nya.

Tak hanya itu, kaum perempuan inilah yang terus mengawasi saat jasad Yesus diturunkan untuk dikuburkan dan kemudian mengunjungi kuburan Yesus untuk meminyaki jasad-Nya. Ini adalah suatu bukti kesetiaan, dan bentuk perlawanan yang dilakukan oleh para perempuan yang menjadi murid-murid Kristus. Itu adalah kekuatan kaum perempuan, dan Ia mengenal kapasitas dan kekuatan apa yang dimiliki kaum perempuan yang mampu mengubah jalannya sejarah yaitu kualitas kesetiaan dan keberanian ketika situasi berpotensi menghancurkan kehidupannya.

Baca Juga:  Indonesia Berpotensi Kehilangan Kedaulatan Negara Atas Papua

Sikap yang sama ditunjukan oleh kaum kaum perempuan di Venezuela pada tahun 2002 ketika Hugo Chavez dikudeta oleh sebagian jendral Angkatan Bersenjata negaranya yang korup yang dibacking oleh Amerika Serikat. Kaum perempuanlah yang pertama kali turun ke jalan-jalan, dengan membunyikan kuali-kuali atau baskom atau panci-panci mereka sebagai genderang untuk memberikan tanda bahaya pada seluruh bangsa demi menyelamatkan Hugo Chavez dari drama penyanderaan tersebut. Chavez, seperti halnya Yesus, sangat dicintai oleh rakyatnya, terutama kaum perempuan karena pemikiran-pemikirannya yang sangat pro kepada rakyat dan melawan kapitalisme Amerika yang menggerogoti kekayaan negerinya. Slogan perlawanan yang digaungkan para perempuan adalah “Chavez adalah kami dan dia anak kami”, itulah sebabnya Chavez mengatakan bahwa “Kaum Perempuanlah kaum yang paling bergairah dan mencintai revolusi!”.

Semangat egaliter yang diajarkan Kristus, Sang Kepala Gereja’ dan menjadi teladan dalam pelayanan-Nya ternyata tak berumur panjang. Gereja yang seharusnya memiliki ciri khas yang serupa dengan Kristus di tengah dunia justru mengadopsi nilai dan ajaran serta aturan-aturan yang memasung perempuan dan memaksa perempuan terus berada di bawah kutuk yang sudah dibayar lunas di atas kayu salib. Dengan interpretasi agama yang sangat bias gender, Gereja mengajarkan perempuan untuk pasrah menerima kutuk perhambaan dosa yang sudah dilunasi Kristus di atas salib.

Sebenarnya jika ingin mengikuti teladan Kristus, Gereja di Papua harus berada di garda terdepan dalam mendorong perspektif-perspektif teologi pembebasan terhadap kaum perempuan dan bersuara kritis ketika terjadi marginalisasi dan penindasan terhadap perempuan yang terjadi secara berlapis-lapis di Papua. Bentuk-bentuk kemiskinan absolut dalam bentuk kekerasan secara struktural dalam realitas perempuan di Papua bisa dilihat dengan mata telanjang, bahkan tersuguh tiap hari di sepanjang jalan maupun lorong-lorong di seluruh pelosok Tanah Papua. Tak perlu memakai kaca mata khusus melihat realitas kemiskinan dan ketimpangan sosial tersebut.

Baca Juga:  Kura-Kura Digital

Dengan memperhatikan dan memberdayakan ataupun menyuarakan kepentingan perempuan, Gereja akan lebih berdaya dan menjadi besar. Mengapa demikian? Karena militansi kaum perempuan sebagai penopang pelayanan dalam Gereja-gereja pribumi di Papua bisa dilihat dengan kasat mata. Dengan berjualan sambil menghirup debu-debu jalan, dan bukan di los-los pasar yang layakpun perempuan mampu memasukkan derma-derma di Gereja pada hari Minggu, sehingga pelayanan Gereja bisa terus berjalan.

Kualitas kesetiaan kaum Hawa ini jarang dimiliki kaum laki-laki yang selalu berputar di sekitar ‘kepentingan’, belaka. Perempuan merupakan misionaris paling militan dalam berdoa dan melakukan pelayanan-pelayanan dengan menjangkau jiwa-jiwa di tengah tingkat kesibukan mereka di ranah domestik maupun publik. Militansi dan jiwa yang revolusioner ini sebenarnya adalah karakter yang dilihat Kristus, dan sudah saatnya dipelajari oleh Gereja Tuhan.

Ternyata kaum perempuan masih melakukan hal yang sama seperti halnya di masa pelayanan Kristus, Sang Kepala Gereja, yaitu menjadi penyokong utama dan fondasi yang menahan kokohnya Gereja. Kristus mengenal kita, kaum perempuan, dan apa yang mampu kita lakukan bagi Gereja-Nya, yaitu hal-hal yang tak mungkin bisa dilakukan oleh kaum Adam.

Saya yakin, suatu saat kesetiaan inilah yang akan membuat-Nya mengatakan pada kita kaum Perempuan, “Marilah hai hamba-Ku yang setia, masuklah dan ikutlah dalam kebahagiaan Tuanmu”. (*)

Terkini

Populer Minggu Ini:

Pemkab Yahukimo dan PGGJ Diminta Perhatikan Keamanan Warga Sipil

0
"Sampai saat ini belum ada ketegasan terkait pelanggaran-pelanggaran yang terjadi di sana. Tidak ada ketegasan dari pemerintah daerah Yahukimo. Kami minta untuk segera tangani.”

Fortnightly updates in English about Papua and West Papua from the editors and friends of the banned 'Suara Papua' newspaper.