Siapa yang Sesungguhnya Berwatak Teroris, Rasis dan Fasis di Tanah Papua?

0
1888

Oleh: Gembala Dr. Socratez S.Yoman, MA)*
)* Penulis adalah Presiden Persekutuan Gereja-gereja Baptis West Papua (PGBWP), Anggota: Dewan Gereja Papua (WPCC), Anggota Konferensi Gereja-gereja Pasifik (PCC) dan Anggota Baptist World Alliance (BWA)

Sejak 1965 Organisasi Papua Merdeka (OPM) berjuang untuk tujuan azas dan ideologi politik demi keadilan, perdamaian, martabat kemanusiaan dan masa depan bangsa Papua di West Papua lebih baik dan bermartabat.

OPM tidak pernah dan belum pernah membakar gedung sekolah di kampung-kampung dan belum pernah mengusir dan menembak guru-guru yang mengabdi di seluruh pelosok TANAH Papua di West Papua dari Sorong-Merauke. Karena para pejuang yang berdiri dalam OPM tahu, sadar, mengerti bahwa OPM berjuang untuk Papua Merdeka.

Pada 1965-1970-an, pejuang OPM ada di Swedia, di Senegal, di Belanda, di Australia, di Vanuatu dan di PNG. Keberadaan OPM ini diakui oleh komunitas internasional bahwa perjuangan rakyat dan bangsa West Papua melalui wadah OPM adalah murni misi politik untuk West Papua Merdeka.

Dalam sejarah perjalanan panjang OPM, tidak pernah dan belum pernah membakar gedung-gedung sekolah, gedung-gedung rumah sakit, gedung-gedung ibadah, dan juga tidak pernah menembak mati para guru, tenaga kesehatan, para pendeta dan gembala dan juga rakyat sipil. Karena OPM memperjuangkan misi suci dan mulia, yaitu misi kemanusiaan, kesetaraan dan hak politik untuk berdaulat sebagai bangsa merdeka.

ads

Ada fenomena baru yang dianggap asing dan sangat aneh yang terjadi sekitar tahun 2001 sampai tahun 2021, setelah United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) memenangkan diplomasi di forum MSG, PIF, ACP dan di forum-forum internasional.

Perjuangan dan pergerakan ULMWP membuat Indonesia sepertinya panik dan kehilangan sahabat di Negara-Negara MSG, PIF, ACP, komunitas internasional, terutama grassroot community (masyarakat akar rumput). Indonesia dijauhi sebagai negara yang berwatak teroris, rasis dan fasis dan pelaku kejahatan kemanusiaan.

ULMWP telah memenangkan dan meyakinkan media-media asing bahwa pergerakan dan perjuangan rakyat dan bangsa Papua di West Papua ialah perjuangan kemanusiaan, keadilan, perdamaian, kesamaan derajat dalam hak politik untuk mengakhiri kekerasan dan kekejaman dan kebrutalan Indonesia yang berwatak teroris, rasis dan fasis di Papua. ULMWP berjuang dengan cara-cara bermartabat untuk mengakhiri tragedi kemanusiaan terlama dan terpenjang dalam sejarah konflik di Asia.

Baca Juga:  Hak Politik Bangsa Papua Dihancurkan Sistem Kolonial

Rakyat dan bangsa Papua di West Papua, komunitas internasional dari kawasan Negara-negara Melanesia, Negara-Negara Pasifik, Negara-Negara Karabia dan Afrika mengerti dan tahu bahwa yang menewaskan para pendeta di Papua itu tindakan dari bangsa teroris, rasis dan fasis.

Contohnya: TNI berwatak teroris dan kriminal, rasis dan fasil menembak mati 3 pendeta di Papua yang sudah tidak menjadi rahasia umum lagi, antara lain:

  1. Pendeta Elisa Tabuni  tewas ditembak TNI pada 16 Agustus 2004 di Tingginambut, Kabupaten Puncak Jaya
  2. Pendeta Geyimin Nigiri tewas ditembak TNI pada 19 Desember 2018 di Distrik Mapenduma, Kabupaten Nduga
  3. Pendeta Yeremia Zanambami tewas ditembak TNI pada 19 September 2019 di Hitadipa, Kabupaten Intan Jaya.

(Sumber dari Buku:  Jejak Kekerasan Negara Dan Militerisme di Tanah Papua: Yoman: 2021:hal. 138)

Negara yang menembak mati Arnold Clemens Ap itu perilaku teroris. Negara yang menewaskan Theodorus Hiyo Eluay dan menculik dan menghilangkan Aristoteles Masoka, sopir Theys Eluay pada 10 November 2001  itu tindakan teroris. Negara Yang menewaskan 4 siswa di Paniai pada 8 Desember 2014 itu tindakan para teroris. Negara yang melakukan operasi militer dan menembak mati rakyat dari kampung halaman mereka di Kabupaten Nduga, Intan Jaya dan Puncak itu tindakan teroris, rasis dan fasis.

Perilaku teroris di Nduga, TNI menewaskan 5 orang sipil pada 20 September 2019 di Gua Gunung Kenbobo, Distrik Inye dan mayat mereka dikuburkan dalam satu kuburan. Nama-nama korban tewas: (1) Yuliana Dorongi (35/Perempuan), (2) Yulince Bugi (25/Perempuan; (3) Masen Kusumburue (26/ Perempuan; (4) Tolop Bugi (13/Perempuan; (5) Hardius Bugi (15/L). (Sumber resmi: Theo Hesegem, Yayasan Keadilan dan Perdamaian Keutuhan Manusia Papua).

Baca Juga:  Kura-Kura Digital

Yang paling aneh dan tidak diterima akal sehat kita semua ialah Negara Indonesia memiliki pasukan militer jumlah terbanyak, terlatih, tangguh dan mampu menerobos wilayah-wilayah sulit, tapi  TNI-POLRI bersandiwara untuk menghadapi anggota TPN-PB (OPM) jumlah terbatas, persenjataan terbatas dan kebanyakan anak-anak belum memiliki pendidikan memadai.

Wajarlah, wilayah konflik Aceh sudah didamaikan melalui Perjanjiian Helsinki pada 15 Agustus 2005 dan wilayah konflik di Timor Leste sudah berdaulat sebagai Negara merdeka.

Wilayah West Papua adalah satu-satunya wilayah yang dipelihara sebagai wilayah konflik supaya orang asli Papua dibuat tidak berdaya, diteror, diintimidasi, dibuat miskin, ditembak mati dan dimusnahkan supaya sumber daya alam menjadi milik para penguasa kolonial Indonesia.

Lebih aneh lagi ialah penguasa Indonesia membuat mitos-motos, stigma, dan label kepada orang asli Papua, yaitu GPK, GPL, OPM, separatis, makar, yang terbaru KKB.
Dan sekarang gerakan orang asli Papua dijadikan gerakan teroris.

Dari penjelasan singkat ini, penulis memberikan gambaran siapa sesungguhnya teroris, rasis, fasis dan pelaku pelanggaran berat HAM?

Penguasa Indonesia, TNI-Polri perlu sadar dan bertobat, bahwa sebelum 1 Mei 1963 Indonesia merampok, menduduki dan menjajah bangsa kami, kami tidak mengenal mitos dan stigma: GPK, GPL, OPM, Separatis, Makar, KKB dan Teroris.

Kami orang asli Papua adalah manusia yang bermartabat sebagai gambar dan rupa Allah. Leluhur dan nenek moyang kami hidup merdeka dan berdaulat tanpa mitos-mitos dan stigma-stigma negatif tadi.

Enyalah IBLIS si pembunuh, pencuri, perampok dari TANAH leluhur kami. Kami bisa dan sanggup hidup tanpa bangsa kolonial Indonesia. Karena, leluhur dan nenek moyang kami  pernah hidup, mampu dan sanggup hidup merdeka tanpa bantuan orang-orang asing.

Pastor Frans Lieshout memberikan kesaksian tentang pengalaman hidupnya sebagai berikut:

Baca Juga:  Musnahnya Pemilik Negeri Dari Kedatangan Bangsa Asing

“Pada tanggal 1 Mei 1963 datanglah orang Indonesia. Mereka menimbulkan kesan segerombolan perampok. Tentara yang telah diutus merupakan kelompok yang cukup mengerikan. Seolah-olah di Jakarta mereka begitu saja dipungut dari pinggir jalan. Mungkin benar-benar demikian.” ( Sumber: Pastor Frans Lieshout OFM: Gembala dan Guru Bagi Papua, 2020, hal. 593).

Seperti Pastor Frans Lieshout, OFM mengakui: “Saya sendiripun belajar banyak dari manusia Balim yang begitu manusiawi. Saya masih mengingat masyarakat Balim seperti kami alami waktu pertama datang di daerah ini. Kami diterima dengan baik dan ramah, tetapi mereka tidak memerlukan sesuatu dari kami, karena mereka sudah memiliki segala sesuatu yang mereka butuhkan itu. Mereka tidak mengemis.  Mereka nampaknya sehat dan bahagia, …Kami menjadi kagum waktu melihat bagaimana masyarakat Balim hidup dalam harmoni…dan semangat kebersamaan dan persatuan…saling bersalaman dalam acara suka dan duka…” ( Sumber: Kebudayaan Suku Hubula Lembah Balim-Papua, 2019, hal. 85-86).

Pencuri tidak pernah mengaku dia adalah maling. Teroris tidak akan mengaku dia adalah teroris. Penjajah tidak pernah hargai bangsa yang diduduki dan dijajah.

Belanda pernah memitoskan Ir. Sukarno adalah separatis. Pemerintah apartheid di Afrika Selatan menuduh Nelson Mendela adalah Komunis. Marthen Luther King,Jr dimitoskan Komunis oleh orang-orang kulit putih Amerka, Mahatma Gandhi dijuluki penasihat para kuli bangunan oleh penguasa Apartheid. Para pejuang bangsa Papua di West Papua distigma separatis dan KKB oleh kolonial Indonesia. Sekarang penguasa kolonial Indonesia berusaha manipulasi stigma teroris kepada para pejuang keadilan dan perdamaian. Doa dan harapan kita semua orang-orang berbudi luhur supaya kisah Haman dan Mordekhai dalam Kitab Ester berulang kembali di era ini, supaya semua lidah mengaku bahwa orang asli Papua berhak berdiri sebagai bangsa merdeka dan berdaulat di atas TANAH leluhur mereka.

Doa dan harapan penulis, artikel pendek ini menjadi berkat. Waa…Waa…Wa….!

Ita Wakhu Purom, 26 April 2021

 

Artikel sebelumnyaHadiri HUT PI ke-67, Wakil Bupati Resmikan Gedung Gereja Oikumene di Minimo
Artikel berikutnyaRegenvanu: Vanuatu Perlu Pertahankan Dukungan Kuat untuk Papua Barat