BeritaFRI-WP dan AMP Tuntut Bebaskan VY dan Seluruh Tapol Papua

FRI-WP dan AMP Tuntut Bebaskan VY dan Seluruh Tapol Papua

PANIAI, SUARAPAPUA.com — Menuntut bebaskan tanpa syarat Victor Yeimo, juru bicara internasional Komite Nasional Papua Barat (KNPB) dan seluruh tahanan politik Papua serta menuntut berikan hak menentukan nasib sendiri sebagai solusi demokratis bagi bangsa Papua, Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) dan Front Rakyat Indonesia untuk West Papua (FRI-WP) bikin aksi demonstrasi damai, Jumat (14/5/2021) di Yogyakarta.

Puluhan massa aksi dari kedua organ bersama beberapa organ prodem yang ikut, menggelar aksi di depan kantor Kepolisian Daerah Istimewa Yogyakarta (Polda DIY) dari sekitar pukul 09.30 hingga 15.00 WIB dibawah pengawasan aparat keamanan.

Dalam press release berisi pernyataan sikap yang diterima suarapapua.com, Sabtu (15/5/2021), Jhon Gobai, ketua umum AMP, mengatakan, semakin lama pelanggaran HAM di Tanah Papua semakin bertambah, intimidasi, represif dan rasisme terhadap rakyat Papua tak pernah ada henti-hentinya.

Semenjak penambahan pasukan militer baik TNI maupun Polri yang diterjunkan ke Papua tahun 2019, dengan dalih untuk mengamankan rakyat Papua dari aktivitas TPNPB OPM yang telah dianggap sebagai KKB (Kelompok Kriminal Bersenjata) oleh Pemerintah Indonesia, membawa efek yang sangat merugikan rakyat Papua.

“Bayangkan, tujuh SSK (Satuan Setingkat Kompi), lima SSK dari Marinir dan dua SSK Kostrad, yang tujuannya hanya untuk mengamankan objek-objek vital di wilayah Jayapura dan wilayah Papua lainnya. Tentu keberadaan militer TNI-Polri bukan untuk melindungi rakyat Papua, melainkan meneror dan semakin membuat masyarakat adat terusir dari tanahnya sendiri,” ucapnya.

Jhon juga mengatakan, sesuai dengan pesan tertulis Kepala Penerangan Kodam (Kapendam) XVII/CEN Eko Daryanto, dimana sekitar 2.529 personel TNI-Polri diterjunkan ke wilayah Papua pada 21-30 Agustus 2019. Pengiriman Militer tersebut sebagai reaksi dari gerakan yang dilakukan oleh rakyat Papua atas masalah rasisme yang dilakukan oleh aparat dan ormas reaksioner Indonesia terhadap mahasiswa Papua yang ada di Surabaya, Yogyakarta dan wilayah Indonesia lainnya.

Baca Juga:  Masyarakat Tolak Pj Bupati Tambrauw Maju Dalam Pilkada 2024

“Penambahan (Pasukan Setan) sekitar 400 personil terakhir pada 1 Mei 2021, yang ditempatkan pada distrik Ilaga, kabupaten Puncak, dengan dalih yang sama,” tuturnya.

Perlindungan hak atas kebebasan berekspresi, dikatakan, pada periode kedua kepemimpinan presiden Joko Widodo masih mengkhawatirkan. Economist Intelligence Unit (EIU) merilis indeks demokrasi tahun 2019, Indonesia berada di angka 6.48 dan termasuk dalam demokrasi yang cacat.

“Salah satu penyebab rendahnya indeks tersebut adalah adanya pembatasan dan tindakan represif dalam bentuk pelarangan atas kebebasan berkumpul dan berekspresi. Pembatasan kebebasan sipil terhadap demonstrasi Mahasiswa, kriminalisasi aktivis, petani dan mahasiswa hingga pembatasan kebebasan berekspresi terhadap ekspresi politik orang asli Papua (OAP),” bebernya.

Jhon menyatakan, pendekatan militerisme dianggap sebagai solusi untuk menyelesaikan konflik dan masalah HAM yang ada di wilayah papua, hingga akhirnya mengakibatkan penangkapan dan penahan secara paksa terhadap aktivis dan rakyat papua secara paksa. Aparat keamanan semakin massif melakukan penangkapan terhadap aksi-aksi yang dilakukan OAP. Sebagian besar tindakan penangkapan tersebut berakhir dengan penahanan.

“Data menunjukkan per tanggal 28 Januari 2020, ada sekitar 109 Tapol Papua yang masih mendekam di penjara, kemudian Roland Levy dan Kelvin Molama ditahan pada 3 maret 2021 dengan tuduhan pengeroyokan dan perampasan barang yang tak mereka lakukan.”

Baca Juga:  Peringatan IWD Menjadi Alarm Pergerakan Perempuan Kawal Segala Bentuk Diskriminasi Gender

“Kemudian penangkapan Victor Yeimo pada 9 Mei 2021 karena melanggar pasal makar. Yang sejak 2019 telah ditetapkan sebagai (DPO) atas aksi rasisme yang dilakukan oleh rakyat papua, padahal aksi tersebut memuncak sebagai reaksi atas kasus rasisme. Lalu diikuti dengan penangkapan 20 aktivis KNPB oleh Satgas Nemangkawi pada 11 Mei 2021, saat membagikan selebaran di Jayapura dengan tuduhan terlibat dengan Victor Yeimo,” rincinya.

Jhon menegaskan, pemerintah Indonesia gagal dalam memberikan kesejahteraan, keadilan sosial kedaulatan (demokrasi) untuk rakyat tidak hanya terjadi di Papua, tetapi juga terjadi di wilayah Indonesia.

Ia mencontohkan, seperti kondisi masyarakat Jomboran dan Wadas, yang kini sedang mengalami musibah. Dimana keberadaan tambang membuat mereka merasa tidak aman dan nyaman, karena tanah mereka dirampas untuk kepentingan tambang dan pemerintah daerah seolah-olah melegitimasi sikap aparat militer yang membungkam ruang gerak rakyat yang ada di Jomboran dan Wadas dalam melawan pihak tambang.

“Mereka diintimidasi, dipukul, ditahan dan dibatasi hak-hak untuk bersuara, berkumpul dan melawan sikap tambang yang mengabaikan lingkungan hidup. Ketika rakyat Jomboran dan Wadas melakukan aksi protes terhadap tambang, aparat TNI-Polri dan ormas reaksioner selalu saja menentang hak-hak politik sipil rakyat dengan menodongkan senjata, bersikap arogan dan tidak segan-segan melakukan penangkapan tanpa melewati prosedur dari hukum acara pidana.”

Berangkat dari kondisi dan situasi-situasi tersebut, AMP KK Yogyakarta dan FRI-WP menyatakan sikap dan menuntut:

Baca Juga:  Pertamina Pastikan Stok Avtur Tersedia Selama Arus Balik Lebaran 2024

1. Berikan hak penentuan nasib sendiri sebagai solusi demokratis bagi bangsa West Papua.

2. Bebaskan kawan kami Victor Yeimo, Rolan dan Kelvin serta 19 orang Papua yang masih ditahan.

3. Tolak Otonomi Khusus Jilid II.

4. Tuntaskan dan adili segera pelaku pelanggaran HAM di Papua.

5. Hentikan operasi militer di Nduga, Intan Jaya, Mimika, Puncak, dan seluruh wilayah West Papua dan Indonesia lainnya.

6. Hentikan kriminalisasi aktivis pro-demokratis.

7. Tarik militer organik dan non-organik dari seluruh Tanah Papua.

8. Tutup Freeport, BP, LNG Tangguh, MNC, MIFEE, Blok Wabu dan lainnya, yang menjadi dalang kejahatan kemanusiaan di West Papua.

9. Berikan ruang demokrasi dan akses bagi jurnalis nasional dan internasional masuk ke West Papua.

10. Hentikan berbagai diskriminasi rasialis dan program kolonial Indonesia di West Papua.

11. Stop pemekaran kabupaten dan provinsi di seluruh West Papua.

12. Bebaskan seluruh Tahanan Politik West Papua.

13. Hentikan kekerasan terhadap perempuan Papua.

14. Lawan seksisme, sahkan RUU PK-S.

15. Hapus UKT dan seluruh biaya pendidikan selama masa pandemi Covid-19.

16. Hentikan kriminalisasi gerakan rakyat.

17. Tolak PHK sepihak, bayar upah buruh 100% ditengah pandemi Covid-19.

18. Cabut izin PT CMK dan PT ADP di Jomboron dan Kaliprogo, Yogyakarta.

19. Cabut izin IPL batu endisin di desa Wadas, Purworejo, Jawa Tengah.

20. Cabut Omnibus Law Cipta Kerja nomor 11 2020.

Pewarta: Stevanus Yogi

Terkini

Populer Minggu Ini:

Parpol Harus Terbuka Tahapan Penjaringan Bakal Calon Bupati Tambrauw

0
SORONG, SUARAPAPUA.com --- Forum Komunikasi Lintas Suku Asli Tambrauw mengingatkan pengurus partai politik di kabupaten Tambrauw, Papua Barat Daya, untuk transparan dalam tahapan pendaftaran...

Fortnightly updates in English about Papua and West Papua from the editors and friends of the banned 'Suara Papua' newspaper.