NABIRE, SUARAPAPUA.com — Operasi militer sebagai bagian dari penegakan hukum yang sedang dilancarkan di kabupaten Puncak berdampak terhadap warga sipil di perkampungan. Gelombang pengungsian tak terhindarkan, seluruh penduduk memilih mengungsi ke Ilaga, ibu kota kabupaten, selain beberapa lainnya hijrah ke Timika dan Nabire.
Mahasiswa-mahasiswi Papua asal kabupaten Puncak di kota studi Bogor merasa iba dengan situasi tersebut. Mereka menuntut kepada pemerintah Indonesia segera tarik kembali militer organik maupun non organik yang sedang beroperasi di wilayah kabupaten Puncak.
Mengemuka dalam sebuah diskusi, Kamis (20/5/2021), rentetan operasi militer di Puncak mengakibatkan rakyat yang berdomisili di perkampungan menjadi korban. Kampung dan distrik kosong tanpa penghuni lantaran memilih mengungsi ke ibu kota kabupaten.
“Orang tua kami dan semua sanak famili tidak bisa bertahan di kampung. Operasi militer sudah mengusik kenyamanan mereka hingga harus mengungsi ke Ilaga. Kami minta negara segera tarik militer organik dan non organik dari Papua, khususnya dari kabupaten Puncak,” ujar Pendiko Murib, pengurus ikatan mahasiswa kabupaten Puncak di kota studi Bogor.
Dikutip dari statement tertulis yang dikirim ke suarapapua.com, Pendiko menyatakan, warga sipil merasakan langsung dampak dari operasi militer yang terus digencarkan aparat gabungan TNI dan Polri untuk mengejar TPNPB OPM.
“Kami minta operasi militer jangan korbankan warga sipil,” tegasnya.
Senada ditegaskan Eison Wenda, pengurus ikatan, mengaku sangat sedih mendengar kabar pengungsian, bahkan dampak langsung dari operasi militer di kabupaten Puncak.
“Masyarakat dari kampung-kampung mengungsi ke kota Ilaga. Berhari-hari mereka berjalan kaki siang malam. Banyak juga yang mengungsi ke hutan. Ada ibu-bu hamil, anak-anak dan orang tua. Mereka ada yang sedang sakit. Siapa bisa bertanggungjawab dengan kondisi tersebut?,” sesalnya.
Dibeberkan, Papua telah menjadi wilayah konflik sejak awal aneksasi 1 Mei 1963. Indonesia mengklaim Papua bagian sah dari wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Tetapi sejarah membuktikan sebaliknya. Akibat dari itu, berbagai rentetan konflik terus berlangsung dan Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB) masih eksis untuk mempertahankan West Papua.
Operasi militer atas perintah presiden Joko Widodo pada Senin (26/4/2021) dan Menko Polhukam Mahfud MD pada Kamis (29/4/2021). Pernyataan kepala negara bersama menteri tanpa mempertimbangkan dampaknya bagi masyarakat sipil sebagai korban dari perintah operasi militer.
“Presiden Jokowi dan Mahfud MD segera cabut instruksi pengiriman militer ke Papua dan cabut label teroris kepada TPNPB OPM dan masyarakat Papua,” ujar Palentinus Tekege, juru bicara mahasiswa Puncak di kota studi Bogor.
Rentetan operasi militer di Tanah Papua khususnya di kabupaten Puncak, kata dia, mengakibatkan rakyat sipil korban. Situasi ini tak boleh dibiarkan berlanjut jika negara mengakui orang asli Papua sebagai warga negaranya.
“Tarik kembali pasukan militer dari kabupaten Puncak. Kembalikan masyarakat sipil ke kampung dan distrik asal mereka. Presiden Jokowi harus cabut kembali perintahnya, termasuk menteri Mahfud MD cabut kembali pelabelan teroris itu.”
Negara diingatkan agar dewasa dalam mengambil keputusan, sebab dampak dari itu dirasakan oleh warga sipil sebagai rakyatnya. Jika ini terus dilanjutkan, negara dianggap gagal total dalam mengelola konflik politik dan mengatasi persoalan dalam negeri yang bukan tak mungkin mengundang perhatian dunia internasional.
“Hak menentukan nasib sendiri bagi bangsa Papua sebagai solusi demokratis melalui mekanisme referendum adalah tuntutan hari ini. Indonesia harus lebih dewasa dalam menyikapi tuntutan rakyat Papua,” tegasnya.
Pewarta: Markus You