Nasional & DuniaPeradi Advokasi MRP Bawa Masalah UU Otsus ke MK

Peradi Advokasi MRP Bawa Masalah UU Otsus ke MK

JAKARTA, SUARAPAPUA.com — Majelis Rakyat Papua (MRP) menggelar rapat konsultasi dengan Dewan Pimpinan Nasional Perhimpunan Advokat Indonesia (DPN PERADI) terkait pembahasan perubahan kedua Undang-undang Otsus Papua.

Luhut MP Pangaribuan, ketua umum DPN Peradi, mengatakan, pertemuan tersebut pada intinya bertujuan MRP meminta pendapat hukum ke Peradi tentang masalah-masalah yang berkaitan dengan perubahan kedua Undang-Undang Otsus baik prosedur maupun substansinya.

“Prosedur yang pokok adalah bahwa perubahan sekarang yang dibicarakan di DPR RI tidak sesuai dengan mekanisme perubahan yang seharusnya diikuti yang diatur dalam Undang-Undang Otsus,” kata Pangaribuan.

Keberadaan Undang-Undang Otsus, menurut ketua umum DPN Peradi, secara politik sebenarnya memberi kesempatan seluas-luasnya untuk menyelesaikan satu permasalahan.

“Boleh saya katakan bahwa Undang-Undang lebih tinggi, tidak bisa dikesampingkan sebagaimana Undang-Undang yang lain. Jadi, itu harus diperhatikan,” ujarnya.

Baca Juga:  KKB Minta Komisi Tinggi HAM Investigasi Kasus Penyiksaan OAP

Kalau pendekatannya keliru sebagaimana selama ini, kata Pangaribuan, masalah di Papua tidak akan pernah selesai, dari mulai OPM sekarang terorisme, diskriminasi, dan seterusnya.

“Perlu secara lebih bijak untuk melihat persoalan perubahan kedua Undang-Undang Otsus ini, karena itu dengan bantuan tim yang akan dibentuk oleh Peradi untuk meresponsnya akan coba mempelajari dan manakala ada hal yang bisa dilakukan secara hukum akan dilakukan misalnya dengan minta interpretasi atau pengujian dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi sesuai dengan mekanisme yang ada di negara Indonesia,” tutur Luhut.

Timotius Murib, ketua MRP menambahkan, rapat konsultasi tim kerja MRP tentang pokok-pokok pikiran rancangan perubahan kedua Undang-Undang Otsus dengan DPN Peradi membicarakan substansinya terkait proses dan mekanisme yang dilakukan pemerintah pusat, eksekutif dan DPR untuk perubahan kedua atas Undang-Undang nomor 21 tahun 2001.

Baca Juga:  Polda Papua Diminta Evaluasi Penanganan Aksi Demo di Nabire

“MRP mendapat respons yang luar biasa dari Peradi untuk melakukan komunikasi dengan MRP, dan rakyat Papua dalam rangka membantu dimana satu polemik pro dan kontra yang terjadi di tengah masyarakat terkait dengan proses perubahan kedua Undang-Undang Otsus Papua, sehingga dengan komunikasi MRP hari ini dengan Peradi bisa membuka satu wawasan dimana proses yang dilakukan pemerintah pusat sesuai konstitusi pasal 77 ini bisa kita sinkronkan,” jelas Timotius.

Perubahan kedua Undang-Undang nomor 21 tahun 2001 tentang Otsus Papua pada prinsipnya MRP berkeinginan untuk dikembalikan kepada proses hukum yaitu pasal 77, tetapi kemudian pemerintah pusat oleh DPR RI terus melakukan proses mekanisme perubahan secara sepihak.

Baca Juga:  Desak Pelaku Diadili, PMKRI Sorong Minta Panglima TNI Copot Pangdam Cenderawasih

“Inilah yang MRP datang menyampaikan substansi terkait proses mekanisme ini untuk kita kaji pasal 77 dan surat presiden kepada DPR RI pasal 5 Undang-Undang Dasar 1945 di mana presiden berhak mengusulkan Undang-Undang bukan perubahan, sehingga konteks hukum ini yang perlu MRP sampaikan kepada Peradi agar diketahui oleh kalangan umum lebih khusus masyarakat orang asli Papua,” tutur Murib.

Dalam pertemuan yang digelar di salah satu hotel di Jakarta, Rabu (9/6/2021), dilakukan penandatanganan nota kesepahaman atau Memorandum of Understanding (MoU) antara MRP dengan DPN Peradi.

Pewarta: Agus Pabika
Editor: Markus You

Terkini

Populer Minggu Ini:

Pemkab Yahukimo Belum Seriusi Kebutuhan Penerangan di Kota Dekai

0
“Pemerintah kita gagal dalam mengatasi layanan penerangan di Dekai. Yang kedua itu pendidikan, dan sumber air dari PDAM. Hal-hal mendasar yang seharusnya diutamakan oleh pemerintah, tetapi dari pemimpin ke pemimpin termasuk bupati yang hari ini juga agenda utama masuk dalam visi dan misi itu tidak dilakukan,” kata Elius Pase.

Fortnightly updates in English about Papua and West Papua from the editors and friends of the banned 'Suara Papua' newspaper.