BeritaGaji Pegawai Kontrak di Nabire Rendah, Penjabat Bupati Segera Tinjau

Gaji Pegawai Kontrak di Nabire Rendah, Penjabat Bupati Segera Tinjau

NABIRE, SUARAPAPUA.com — Keluhan para pegawai kontrak di lingkungan pemerintah kabupaten Nabire terkait haknya yang dibawah standar dan kerap terkatung-katung akan segera ditinjau bersama seluruh instansi terkait.

Dokter Anton Mote, Penjabat Bupati Nabire, kepada suarapapua.com, mengaku mendapat keluhan dari sejumlah pegawai honorer di kesempatan berbeda semenjak bertugas usai dilantik di Jayapura.

Keluhan tersebut tak hanya pembayaran yang tak tepat waktu, tetapi juga menurutnya, nilai yang diterima tak sebanding dengan volume kerja.

“Jumlah pegawai kontrak di kabupaten Nabire memang cukup banyak. Saya dapat keluhan, gaji mereka tidak sebanding dengan hasil kerja mereka tiap hari kerja. Ini sayang disayangkan,” tuturnya.

Gaji tersebut kata dokter Anton, jauh dari ketentuan Upah Minimum Provinsi (UMP) Papua sebagaimana diatur dalam surat keputusan (SK) Gubernur Papua nomor 188.4/341/2020 dengan berdasarkan Peraturan Pemerintah nomor 78 tahun 2015 tentang Pengupahan, serta Surat Edaran Menteri nomor M/11/HK.04/2020 tentang Penetapan Upah Minimum tahun 2021 pada masa pandemi Covid-19.

Baca Juga:  ULMWP Kutuk Penembakan Dua Anak di Intan Jaya

“Saya mau evaluasi persoalan ini. Saya akan panggil seluruh OPD terkait untuk kita bahas bersama. Katanya ada nilai satuan yang sudah ditetapkan oleh pemerintah daerah. Ada regulasi dan kebijakan. Saya akan lihat itu semua. Apakah sudah tepat atau bagaimana,” ujarnya.

Dengan pertemuan bersama seluruh OPD terkait, ia berharap ada kejelasan terhadap persoalan ini.

“Paling penting adalah tidak boleh ada pemerasan terhadap pegawai kontrak. Hak mereka harus dibayar sesuai ketentuan.”

Penjabat Bupati Nabire juga menyayangkan jika benar keluhan dari tenaga kontrak terkait penghasilan yang didapatnya per bulan. Upah tersebut tak cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Belum lagi biaya transportasi tiap ke kantor, maupun kebutuhan lain seperti tagihan listrik, air, dan indekos. Juga biaya pendidikan anak-anaknya.

Baca Juga:  Pencaker Palang Kantor Gubernur Papua Barat Daya

“Tetapi itu saya akan pastikan setelah ada pertemuan. Kami evaluasi dalam waktu dekat. Ada banyak keluhan. Contohnya tenaga kebersihan, atau tenaga medis di rumah sakit. Gajinya segitu, terus mau penuhi kebutuhan sehari-hari dengan apa, karena uang habis di transportasi saja,” tandas dokter Anton.

Terpisah, Novita Mandiwa, salah satu tenaga honorer mengaku upah yang diterima tiap bulan sangat kecil jika dibandingkan dengan pekerjaannya tiap hari.

Menurutnya, upah tersebut tak dibayar tiap bulan karena kadang sampai dua atau tiga bulan bahkan lebih dari itu.

“Satu hari saya keluarkan 40 ribu untuk transportasi. Selama ini kitong biasa kerja tiap hari bersihkan jalan raya. Terus, honornya kecil sekali,” kata ibu Novi.

Baca Juga:  Akomodir Aspirasi OAP Melalui John NR Gobai, Jokowi Revisi PP 96/2021

Keluhan sama dikemukakan salah satu pegawai honorer di kabupaten Nabire yang meminta identitasnya tak disebutkan.

Pegawai yang biasa bekerja di sebuah kantor OPD yang terletak di Jalan Merdeka itu mengaku setahun terakhir gaji bulanan berkurang dari sebelumnya.

“Dulu satu juta lebih. Pernah satu juta enam ratus. Mulai tahun 2020, saya terima tiap bulan satu juta saja,” katanya.

Ia tak tahu secara pasti alasan adanya pemotongan gaji. Selama satu tahun terakhir, ia terima rutin tanpa ada penjelasan.

Tenaga kontrak di lingkungan pemerintah kabupaten Nabire tercatat 1.300 orang. Mereka tersebar di sejumlah OPD, termasuk sekretariat daerah (Setda).

Pewarta: Markus You

Terkini

Populer Minggu Ini:

Perda Pengakuan dan Perlindungan MHA di PBD Belum Diterapkan

0
“Kami bersama AMAN Sorong Raya akan melakukan upaya-upaya agar Perda PPMHA  yang telah diterbitkan oleh beberapa kabupaten ini dapat direvisi. Untuk itu, sangat penting semua pihak duduk bersama dan membicarakan agar Perda PPMHA bisa lebih terarah dan terfokus,” ujar Ayub Paa.

Fortnightly updates in English about Papua and West Papua from the editors and friends of the banned 'Suara Papua' newspaper.