Bochi dan Maradona: Dua Bintang Sepak Bola Beda Kelas, Zaman dan Ras

0
330

Oleh: Benyamin Lagowan)*
)* Penulis adalah Intelektual Muda Papua

Diego Armando Maradona mega bintang dan legenda Argentina pernah terciduk pakai doping pada Piala Dunia 1994. Tetapi ia tetap dihargai dan dilepas secara terhormat. Hingga kini ia dikenang sebagai pahlawan sekaligus ikon dunia sepak bola, olahraga rakyat Argentina bahkan dunia.

Berbeda dengan Boaz Solossa bintang sepak bola Papua (Indonesia) yang meraih sejumlah prestasi selama 16 tahun terakhir. Menurut pemberitaan media, Boaz dituduh oleh pelatih Jacksen Tiago, menggunakan doping sebelum sebuah laga uji coba di Tangerang dalam rangkaian pemusatan latihan jelang AFC Cup 2021 dan Liga 1 2021. Apakah benar? Boaz sendiri sudah bantah tuduhan itu.

Boaz Solossa muncul pertama kali dari klub amatir PS Yohan Sorong memperkuat tim PON Papua tahun 2004 hingga direkrut Persipura Jayapura, dijuluki “anak ajaib”. Pemain bertalenta dari tanah Maybrat di kepala burung pulau Papua, memiliki kelebihan dengan skill di atas rata-rata, bahkan cinta mati Papua hingga tetap membela Persipura, meski banyak tawaran dari berbagai klub Liga 1, juga dari kawasan Asia bahkan Eropa.

Sayang sekali, pemilik nama sapaan akrab Bochi ini akhirnya dilepas manajemen Persipura, tepatnya dikatakan pemecatan bersama Yustinus Pae yang 14 tahun membela tim Mutiara Hitam. Keduanya dipecat bak pemain kelas bawah yang tak berprestasi, juga tak populer atau tepatnya bagaikan mencoret seseorang karena terjerat kasus asusila berat, pelecehan seksual ataupun pencurian bahkan kasus pembunuhan.

ads
Baca Juga:  Perjuangan Papua Untuk Membela Diri

Sebenarnya apa pembedanya? Barangkali Bochi dianggap masih bermain dan bersinar mewakili klub Persipura. Bintang lokal! Prestasi terbanyaknya diraih di level klub. Sementara di Timnas Indonesia (bukan West Papua) masih minim. Itu argumen pertamanya.

Kedua, Bochi dan Tipa tidak memiliki prestasi gemilang di Timnas Indonesia. Sebab selama ini Timnas Indonesia tidak pernah lolos kualifikasi Piala Dunia zona Asia. Jadi, patokannya adalah prestasi yang minim bersama Timnas Indonesia.

Ketiga, mungkin karena Boaz juga bukan merupakan pemain berdarah Melayu. Apalagi Bochi berasal dari klub yang seringkali jika bertanding disuguhi aksi pelemparan “buah pisang” ke dalam lapangan. Bochi bukan seperti Maradona yang berasal dari ras dominan penduduk Argentina.

Keempat, Bochi berasal dari wilayah yang secara politik masih berada di bawah kontradiksi pendudukan. Tidak seperti Barca dan Spanyol.

Berbeda dengan Maradona, berprestasi di Piala Dunia mewakili negaranya, Argentina yang sudah negara merdeka dan berdaulat. Apalagi dengan gol tangan dewanya. Ia akan diingat oleh sejarah.

Lalu, coba bayangkan apa jadinya jika kasus Bochi dan Tipa ini terjadi saat Papua sudah merdeka? Artinya, anggaplah mereka adalah pemain Timnas Papua. Yang dalam laga kualifikasi akan berhadap-hadapan dengan negara-negara Pasifik, juga Asia Tenggara lainnya.

Baca Juga:  Mempersoalkan Transmigrasi di Tanah Papua

Apakah jejak dan legenda hidup OAP ini akan didepak secara tidak terhormat? Jawabannya jelas tidak. Ia pasti akan diperlakukan layaknya patriot bangsa. Bangsa Papua. Bagaikan Maradona diperlakukan bak raja sepak bola Argentina, oleh bangsa Argentina.

Tetapi, apa yang salah? Wajarkah jika Bochi diperlakukan demikian dalam kondisi bangsa Papua hari ini? Menurut saya, wajar. Itulah nasib bangsa yang sedang berada dalam pendudukan di mana-mana. Sejarah dunia sudah membuktikan itu. Ingat peristiwa rasisme tahun 2019? Itu akar historisnya.

Rakyat Papua mau marah? Silahkan! Tetapi begitu sudah nasibnya. Banyak orang hebat yang berjasa dari tanah ini diperlakukan begitu to. Tidak hanya Bochi, para pejabat daerah yang dengan kualitas terbaiknya, dengan penuh dedikasi pernah bekerja mengabdi saja masih dikriminalisasi. Dipenjarakan, bahkan dibunuh. Masih ingat kasus Bas Suebu, JP Solossa? Atau, masih ingatkah kasus Eliezer Jan Bonay, dan lain-lain?

Begitu sudah nasib bangsa Papua ini; nasib suatu kumpulan suku-suku yang nampaknya susah juga untuk menunjukkan identitas kebangsaannya ini.

Lalu, apa yang bisa dipetik dari kasus Bochi dan Tipa ini jika ingin seperti Maradona, atau Pele, atau Zidane, atau Henry, atau Eto’o, atau Mbappe? Ya merdeka dulu. Dong semua berlaga di Piala Dunia dan ditayangkan langsung melalui televisi, lalu kitong udik itu karena mereka su merdeka. Berdaulat penuh. Terus kapan kita bisa tampil? Apakah kita akan jadi penonton setia saja dari generasi ke generasi?

Baca Juga:  Adili Masalah Yang Tak Bisa Dibuktikan Hukùm Positif Dengan Peradilan Adat di Papua

Merdeka dulu. Itu aja kok repot! Kalau tidak, ya Melayu patronisme. Jawa patronisme akan menjadi pahlawan yang terus kitong kenang. Itu pasti!

Sementara dari Papua hanya akan jadi penghias. Jadi tenaga kerja. Setelah itu habis pakai dibuang. Ibarat komputer yang habis pakai dibuang. Yang penting stabilitas dan keamanan eksploitasi aman dan lancar. Nasionalisme palsu subur sebagai perekatnya. Demikian akan terus seperti itu sampai selamanya.

Soalnya, kita hidup dalam alam bangsa besar yang sama-sama masih dijajah. Belum merdeka penuh. Kalau merdeka penuh itu, akan seperti China, Kuba, Singapura, Vietnam, atau bahkan Korea hingga Jepang, dan lainnya yang mandiri dan maju.

Ingat, Papua-Indonesia sama-sama belum beradab. Sehingga selama ini, hukum alam yang dipakai. Bukan hukum formal Undang-Undang Dasar 1945 dan Pancasila. Tetapi yang dominan akan selalu menguasai dan menang. (*)

Jayapura, 8 Juli 2021

Artikel sebelumnyaMahasiswa Papua Tolak Pelaksanaan PON XX
Artikel berikutnyaGubernur Papua Sudah Tiba di Jayapura Pagi Ini