Pengesahan UU Otsus adalah Bukti Kolonialisme Indonesia Atas Rakyat Papua

0
1139

Tolak Otonomi Khusus Jilid II dan Segera Gelar Referendum Bagi Rakyat Papua

PETISI RAKYAT PAPUA Tolak Otonomi Khusus (Otsus) Jilid II. Sejak dideklarasikan pada  4 Juli Tahun 2020, yang dilauncing Via online, di kantor Dewan Adat Papua (DAP) Expo Waena-Jayapura, Papua. Banyak antusias rakyat Papua, Indonesia dan Internasional terhadap isu yang digalang dan didorong oleh Petisi Rakyat Papua untuk menolak keberlanjutan Otsus (Jilid II).

Dimulai dengan 17 organisasi pelopor dan mengalami perkembangan jumlah organisasi dan suara sebagaimana tugas utama terbentuknya front persatuan ini. Yakni terkonsolidasinya seluruh rakyat Papua dalam isu Penolakan Otonomi Khusus. Hingga Juni 2021, telah terdata 112 organisasi (baik dalam maupun luar negeri) yang berfront bersama Petisi Rakyat Papua (PRP) dengan total suara sementara yang berhasil digalang sebanyak 714.066 suara yang bertekad menolak kesejahteraan semu dalam wujud Otsus buatan Jakarta.

Isu penolakan Otonomi Khusus yang didorong oleh Petisi Rakyat Papua, merupakan rangkaian sejarah yang telah terbentuk di Tanah Papua. PRP berdiri bersama rakyat Papua dan sejarah Penolakan Otsus yang terjadi pada tahun 2005, tahun 2010 dan tahun 2013 yang merupakan rangkaian dialetika dan semangat perjuangan bangsa Papua dalam memutus mata rantai penindasan terhadap manusia dan tanah Papua dalam wujud Otsus.

ads

Otsus adalah solusi Jakarta yang dipaksakan kepada rakyat Papua, untuk membungkam aspirasi murni rakyat Papua dalam menentukan kemerdekaan pada awal reformasi Indonesia tahun 1998. Pembungkaman tersebut semakin terlihat sejak pelaksanaannya di Tanah Papua, berbagai macam intervensi dilakukan oleh Jakarta untuk memandulkan roh Otonomi Khusus itu sendiri. Dimulai dengan dikeluarkannya Inpres Nomor 1 tahun 2003 tentang Percepatan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 45 Tahun 1999 Tentang Pembentukan Provinsi Irian Jaya Tengah, Provinsi Irian Jaya Barat, Kabupaten Paniai, Kabupaten Paniai, Kabupaten Mimika, Kabupaten Puncak Jaya, dan Kota Sorong, Inpres tersebut merupakan bentuk pengabaian atas UU Otonomi Khusus, pasal 76, yang berbunyi: ”Pemekaran Provinsi Papua menjadi provinsi-provinsi dilakukan atas persetujuan MRP dan DPRP setelah memperhatikan dengan sungguh-sungguh kesatuan sosial-budaya, kesiapan sumberdaya manusia dan kemampuan ekonomi dan perkembangan di masa datang”.

Kemudian diberlakukannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, yang telah diamandemenkan menjadi Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah, dan tetap dipaksakan berjalan diseluruh Indonesia termasuk Provinsi Papua dan Papua Barat yang Notabene adalah Daerah Otonomi Khusus, hingga terjadi dualisme implemetasi hukum antara pemerintah Provinsi Papua dan Pemerintah Kabupaten/Kota di Tanah Papua.

Selain itu diberlakukannya Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 32 tahun 2011 tentang Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) 2011–2025 Ekonomi Indonesia, yang mengisyarakat Pembangunan Provinsi Papua, sebagai “Pusat Pengembangan Pangan, Perikanan, Energi, dan Pertambangan Nasional”, namun tetap dipaksakan atas nama pemerataan pembangunan;

Baca Juga:  Desak Pelaku Diadili, PMKRI Sorong Minta Panglima TNI Copot Pangdam Cenderawasih

Selanjutnya dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2014 Tentang Desa, disamping berlakunya Otonomi Khusus di Tanah Papua yang mengatur masyarakat hukum adat, dan kemudian mengontrol pemekaran serta pembangunan desa di Papua serta mengabaikan Undang-Undang Otonomi Khusus dan UUD 1945 pasal 18B;

Peraturan Presiden RI Nomor 66 Tahun 2011 Tentang Unit Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Papua Barat (UP4B), yang melangkahi keberadaan Otonomi Khusus; Dan masih ada regulasi lain lagi yang kemudian memandulkan Otonomi Khusus, seperti: Peraturan Pemerintah Nomor 77 tahun 2007 Tentang Lambang Daerah, UU 35/2008 tentang tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2008 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua Menjadi Undang-Undang.

Semua proses tersebut merupakan cara Jakarta untuk mengabaikan kekhususan Papua dalam wujud  Otonomi Khusus atau secara hukum disebut azas Lex Specialis Derogate Legi Generali yang artinya azas penafsiran hukum yang menyatakan bahwa hukum yang bersifat khusus mengesampaingkan hukum yang bersifat umum.

Praktek rasis Jakarta terhadap orang Papua (kolonisasi) yang terbaru, yaitu pada Kamis, 15 Juli 2021 (kemarin). Ketika RUU disahkan menjadi Undang-undang secara sepihak oleh segelintir elit Jakarta dan elit Papua yang mengatasnamakan rakyat Papua dengan mengabaikan amanat Otsus itu sendiri, sebagaimana yang tertuang dalam pasal 77 yakni perubahan UU Otsus harus murni dari keputusan rakyat Papua, seperti yang telah dipraktekkan oleh Petisi Rakyat Papua (PRP) dengan 714.066 suara yang menyatakan menolak keberlanjutan Otonomi Khusus (Jilid II). Rakyat Papua yang menyatakan penolakannya dengan aksi lapangan di Jayapura, Mnukwar, Kaimana, Timika dan Jakarta dihadang dengan kekuatan militer skala besar yang berujung penangkapan, penyiksaan dan intimidasi terhadap rakyat Papua.

Berbagai data dari berbagai kalangan akademisi, peneliti, pemerhati terhadap persoalan Papua bahkan Pemerintah telah dengan sadar menyatakan bahwa Otonomi Khusus telah gagal diimplementasikan di Tanah Papua, baik dari sisi Pendidikan, Kesehatan, Infrastruktur dan Ekonomi yang merupakan kebijakan khusus dalam Undang-Undang Otsus tersebut. Bahkan berbagai data telah menyatakan bahwa dalam era Otsuslah, berbagai kejahatan kemanusiaan, lingkungan terjadi secara masif bahkan tersetruktur di Papua.

Dalam Bidang Pendidikan sesuai data Badan Pusat Statistik (BPS) 2019, selama 19 tahun implementasi Otsus di Tanah Papua, angka buta huruf hanya naik 1% dari total 26,50%. Dimana tingkat partisipasi Pendidikan orang Papua di Pronvinsi Papua mulai dari tingkat Sekolah Dasar (SD) 79,19%, Sekolah Menengah Pertama (SMP) 57,19% dan Sekolah Menengah Atas (SMA) 44,32%. Sedangkan untuk Provinsi Papua Barat, tingkat partisipasi Pendidikan di bangku SD 69,92% dan SMP 63,19%. Dan tingkat rata-rata Lama Sekolah (RLS) hanya berkisar 6,65 tahun yang artinya masyarakat Papua hanya merasakan Pendidikan (Sekolah) formal hanya sampai tingkat Sekolah Dasar saja. Sangat deskriminatif.

Baca Juga:  Tragedi Penembakan Massa Aksi di Dekai 15 Maret 2022 Diminta Diungkap

Sedangkan di bidang Kesehatan, menurut data UNICEF Jakarta tahun 2019 Angka Kematian Ibu dan Anak di Papua tertinggi di Indonesia yakni mencapai 300an orang per 1000 kelahiran, yang artinya 30% dari 1000 ibu yang melahirkan (anak) tiap tahun meninggal. Belum termasuk data HIV/AIDS yang dilaporkan oleh Kemenkes RI tahun 2019, bahwa laporan tahunan per provinsi, Papua memiliki 1061 kasus atau nomor dua setelah Jawa Tengah dengan 1613 kasus, yang di totalkan hingga tahun 2020, Papua telah memiliki 60.606 kasus. Ini masalah yang serius!

Ditengah masalah Kesehatan yang tak kunjung membaik, arus transmigrasi terus terjadi secara besar-besaran dan massif ke tanah Papua. Sebagaimana data pada tahun 2015, bahwa ada 763.807 ribu jiwa yang datang ke Tanah Papua. Sementara data orang asli Papua berdasarkan marga sebanyak 2.386.048 jiwa pada tahun 2019. Berdasarkan akumulasi antara data kelahiran, kematian, serta arus transmigrasi yang tak terkontrol, tentu bukan hal yang tidak mungkin bahwa Papua sedang menuju ke ambang kepunahan.

Belum lagi kita data pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) di dalam Era Otonomi Khusus, mulai dari Wasior Berdarah 2001, Wamena Berdarah 2003, Abe Berdarah 2006, Paniai Berdarah 2014, dan Peristiwa Nduga dan Intan Jaya pada tahun 2018-2019, dan semua catatan kelam peristiwa HAM di seluruh Tanah Papua selama era Otonomi Khusus yang tidak sempat terdata. Dari semua peristiwa pelanggaran HAM tersebut membuat ratusan ribu rakyat sipil Papua meninggal bahkan ribuan rakyat sipil mengungsi jauh dari tempat mereka berada dan tidak mendapat perlakuan adil di depan hukum. Sedangkan pelaku mendapat impunitas bahkan terkesan kasus-kasus HAM tersebut sengaja di hilangkan oleh Negara Indonesia.

Selanjutnya, aspek ekonomi dan pembangunan infrastruktur, tanah Papua adalah lumbung bagi investasi Indonesia yang dibalut atas nama pemerataan dan percepatan pembangunan. Hal ini dapat dilihat bagaimana angka investasi justru semakin massif dan marak di era Otonomi Khusus ini. Papua yang sebelumnya hanya terdiri dari 9 Kabupaten 1 Provinsi berkembang pesat menjadi 2 provinsi dengan 42 kabupaten/kota di Tanah Papua. Hal itu tentu guna memuluskan niat Jakarta dalam mengekploitasi sumber daya alam Papua, seperti yang terdata hingga tahun 2019, ada lebih dari 9000 perusahaan skala besar dan kecil yang tersebar di seluruh Tanah Papua bahkan telah mencaplok lebih dari 29 juta hektar dari total 46 juta hektar wilayah Papua, sebagaimana data yang dikomparasikan antara BPS Provinsi Papua dan Papua Barat, Yayasan PUSAKA dan Jerat Papua.

Baca Juga:  TETAP BERLAWAN: Catatan Akhir Tahun Yayasan Pusaka Bentala Rakyat 2023

Berbagai data dan fakta lapangan mendorong Petisi Rakyat Papua mendorong kerja-kerja nyata untuk menyatakan bahwa Otonomi Khusus di Tanah Papua telah gagal membangun rakyat Papua. Pemaksaan kehendak Jakarta atas Papua seperti pengesahan UU Otsus Jilid II pada 15 Juli 2021 (kemarin) oleh DPR RI merupakan cara lama yang tetap di pakai Jakarta untuk melegitimasi kekuasaanya atas Papua. Namun dengan fakta hari ini bahwa Petisi Rakyat Papua (PRP) dengan 714.066 suara murni rakyat Papua yang menolak keberlanjutan Otonomi Khusus di Tanah Papua, dan juga organisasi-organisasi yang telah berfront bersama PRP. Legitimasi Jakarta lewat pengesahan UU Otsus Jilid II merupakan bom waktu bagi persoalan Papua hari ini.

Berdasarkan dinamika yang terjadi sejak perkembangan Otsus di tanah Papua serta persoalan hukum Otsus Jilid II yang tidak sejalan dengan kehendak rakyat Papua lewat sikap Petisi Rakyat Papua (PRP), maka kami menyatakan sikap:

  1. Mengutuk sikap elit Jakarta dan Elit Papua yang mengatas-namakan rakyat Papua dalam penngesahan Undang-udang Otonomi Khusus Jilid II; serta mengabaikan sikap aspirasi Murni Rakyat Papua dalam menolak keberlanjutan Otonomi Khusus Jilid II melalui Petisi Rakyat Papua(PRP);
  2. Kami menolak dengan tegas perpanjangan pemberlakuan Otonomi Khusus Jilid II dalam bentuk dan nama apapun di teritori West Papua (Provinsi Papua dan Papua Barat.
  3. Menolak segala bentuk kompromi sepihak serta agenda-agenda pembahasan dan keputusan yang tidak melibatkan rakyat Papua selaku subjek dan objek seluruh persoalan di Papua.
  4. Petisi Rakyat Papua adalah manifestasi sikap politik rakyat West Papua yang menolak keberadaan dan keberlanjutan Otonomi Khusus di West Papua.
  5. Petisi Rakyat Papua akan mengawal sikap rakyat West Papua untuk memperjuangkan hak menentukan nasib sendiri secara damai dan demokratis.
  6. Segera kembalikan kepada rakyat Papua untuk memilih dan menentukan nasibnya sendiri; apakah menerima Otsus atau merdeka sebagai sebuah negara.
  7. Bila petisi ini tidak ditanggapi maka kami akan melakukan Mogok Sipil Nasional secara damai di seluruh wilayah West Papua.

Demikian pernyataan sikap ini kami buat, kami akan terus memperjuangkan hak-hak demokratik rakyat Papua hingga terciptanya tatanan masyakrat tanpa  penindasan dan penghisapan diatas tanah air tecinta West Papua.

Salam Revolusi.

Numbay, 16 Juli 2021

Atas nama 714.066 suara serta 112 organisasi yang berfront Bersama Petisi Rakyat Papua (PRP) Tolak Otsus Jilid II.

Samuel Awom
Juru Bicara PRP Dalam Negeri

Victor Yeimo
Juru Bicara PRP Luar Negeri

Artikel sebelumnyaPemkab Jayawijaya Diminta Bangun Sinergitas dengan Seluruh Pihak Bahas Keamanan
Artikel berikutnyaDinilai Gagal, Mahasiswa Papua di Kalteng Tolak Pemberlakuan Otsus Jilid II