Organisasi Kiri Papua Harus Menjadi Pelopor Melawan Seksisme!

0
1243

Oleh: Julia Opki)*
)* Penulis adalah  Presidium SIEMPRE dan anggota AMP Komite Kota Yogyakarta

Untuk mudah membahas dan memahami tentang seksisme, Saya akan memulai dari beberapa contoh kasus (verbal) yang sering terjadi di lingkungan masyarakat.

Contoh 1: Domestifikasi Perempuan (Perempuan diwajibkan untuk mengerjakan pekerjaan rumah tangga)

  • Bah, kawan, kalo ko cuci pakaian sendiri begini, ko pu maitua tu ko kawin de buat apa?
  • Perempuan Papua tuh harus rajin kerja eh! biar mama mantu sayang sungguh mati.

Contoh 2: sterotipe/pelabelan (Semua Kalangan)

  • Ih, lak-laki ini kenapa de senang skali pake baju pink, padahal warna pink itu warna perempuan baru (pelabelan).
  • Ko ni macam perempuan saja, jadi laki-laki tu jangan cengeng begitu!
  • Banci ini, batang baru sok-sok bikin diri lembut macam perempuan, lucu e!
  • Lak-laki Papua tuh tra cocok lento-lento kah lembe-lembe begitu, terlalu memalukan skali.
  • Jih, kenapa de cantik baru de pacaran sama perempuan? Macam trada laki-laki dalam satu dunia ini saja.
  • Ganteng-ganteng kok suka sama cowok, ih menyebalkan skali.

Contoh 3: Subordinasi Perempuan ( Perempuan selalu dipandang lebih rendah dari pada laki-laki)

ads
  • Ah, Perempuan itu tra mampu untuk jadi pemimpin, karna perempuan tu pasti tra bisa tegas, selalu emosional waktu ambil keputusan.
  • Laki-laki tu harus jadi tulang punggung keluarga, laki-laki pu tanggung jawab untuk cari uang di luar biar perempuan saja yang pu tugas urus anak dan dapur.
  • Ko tu perempuan tra cocok kerja yang berat-berat.

Contoh 4:  Marginalisasi Perempuan (Mengasingkan perempuan dalam berbagai ranah, tidak mendapatkan hak yang sama dengan laki-laki)

  • Ko itu perempuan jadi, sekolah juga ujung-ujung di DPR (dapur) jadi mending ko pu sodara laki-laki saja yang kitong utamakan dia sekolah dulu e.
  • Jang ko gabung diskusi sudah, karna itu yang datang cuma anak-anak laki-laki saja tuh.
  • Kalo ada pertemuan keluarga tu, kam perempuan harus bikin minum deng makan baru kam gabung duduk ikut pembahasan lagi.
  • Akses kesehatan di pedalaman sangat terbatas untuk melayani ibu hamil.
  • Ko kalo laki-laki trapapa keluar sampe tengah malam, tapi ko ni perempuan, harus tau diri!

Contoh 5: objektivikasi (objek/barang yang harus ada standar untuk dikategorikan sebagai suatu mutu standar)

  • Eh, ko tu sa pu pacar (laki-laki dan perempuan) jadi yang sa bilang itu ko harus ikut, kalo tidak ko awas e
  • Ih, lak-laki/perempuan ini boleh de bagus sampe, sa pacar deng dia boleh o.
  • Perempuan yang cantik itu harus tau gambar alis, perawatan di salon, harus langsing, putih sama seperti artis-artis Korea dong.
  • Lak-laki yang ganteng tu harus rapi, bersih, badan berotot seperti Jaden Smith
  • Perempuan itu de su pu anak, tra usah pacaran deng dia.
  • Perawan boleh kitong bayar mas kawin tinggi ya, kalo tidak perempuan ko tamat S3 boleh kitong siap bayar lunas langsung.

Beberapa contoh diatas ini berupa kasus verbal. Saya mengutip ungkapan langsung yang terjadi dalam percakapan di tengah masyarakat sosial.

Macam-macam contoh diatas adalah kasus seksisme yang sehari-hari kita hadapi, entah itu kepada laki-laki ataupun perempuan baik dalam perbincangan ringan, diskusi, dilingkungan keluarga, sekolah, kampus, seluruh lingkungan sosial luas bahkan media massa dan media sosial sampai ke seluruh aspek kehidupan masyarakat begitu juga dalam suatu negara melalui kebijakan-kebijakan yang diambil serta pula berakar ratusan ribu tahun dalam dunia ini.

Baca Juga:  Vox Populi Vox Dei

Dalam kasus-kasus seksisme terkadang kita sendiri sebagai perempuan maupun laki-laki juga selalu menjadi korban atau juga menjadi pelaku namun kita tak menyadarinya karena sejak lahirpun kita sudah diwajibkan untuk melestarikan budaya seksis ini, misalkan bayi perempuan harus dipakaikan baju pink, bayi laki-laki dipakaikan baju biru, anak perempuan diajarkan harus bersikap lembut dan selalu patuh, anak laki-laki main perang-perangan yang terkesan lebih berani dan agresif.

Seksisme sendiri bermakna sebagai pendiskriminasian terhadap suatu jenis kelamin atau orientasi seksual tertentu. Seksisme sudah ada sejak masyarakat klas terbentuk pada masa transisi komunal primitif ke masa perbudakan yang ditandai dengan privatisasi dan monopoli alat produksi (tanah) yang menyebabkan adanya penyingkiran perempuan dari alat produksi karena harus memenuhi tenaga produksi dan kebutuhan mendesak saat itu sehingga lama-kelamaan menjadi budaya yang semakin dipatenkan pada masa feodal (kerajaan) hingga sampai saat ini.

Pada kenyataannya memang sulit untuk mengubah pemikiran seksis yang sudah mendarah daging yang melebur juga dalam sosial budaya kita di Papua. Tetapi juga persoalan seksis ini tak bisa dipandang sebelah mata begitu saja. Karena dampak buruknya sangat nyata terlihat, misalkan: Kekerasan Dalam Pacaran (KDP), Kehamilan Tidak Diinginkan (KTD), Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), kasus aborsi tidak aman, pernikahan dini, kasus kekerasan seksual, perselingkuhan, HIV/AIDS yang semakin meningkat. Direktur Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (APIK) Jayapura, Nur Aida Duwila melaporkan bahwa kasus pelecehan seksual terhadap anak terus meningkat dari tahun 2019 hingga tahun 2021 ( Terakhir kasus pelecehan dan kekerasan terhadap 25 anak yang dilakukan seorang oknum pembina sebuah sekolah asrama di Mimika dari Desember 2020 hingga bulan ini. Beginilah dampak fatalnya ketika seksisme masih mengontrol pola pikir kita, sehingga ini menjadi tugas besar bersama yang harus diselesaikan secara serius (Kompas;16/3/2021).

Dari kasus – kasus yang juga didapati penulis melalui pengalaman pribasdi, cerita-cerita santai, maupun diskusi- diskusi umum serta diskusi dengan beberapa kawan perempuan aktivis Papua, masih banyak persoalan seksisme yang terjadi di dalam organisasi gerakan kiri  Papua yang mengakuisisi menganut paham Sosialisme itu sendiri yang pelakunya adalah yang dipandang sebagai “pentolan-pentolan” gerakan yang memiliki pemahaman yang maju tentang melawan kapitalisme sebagai akar persoalan politik rakyat Papua yang juga seharusnya anti terhadap seksisme yang merupakan salah satu penopang penting berjalannya sistem kapitalisme. Beberapa kasus seperti mendekati kawan perempuan/laki-laki secara subjektif dengan tujuan mengorganisir, pelecehan seksual, kontrol atas tubuh perempuan/laki-laki, menganggap kepemimpinan kawan perempuan hanya sebagai simbol dalam organisasi, meragukan argumen kawan perempuan dan lebih mendengar argumen kawan laki-laki, seksi konsumsi dan sekertaris yang selalu ditugaskan kepada perempuan, dsb.

Organisasi gerakan kiri Papua, seharusnya menjadi pelopor agar mampu memberi contoh yang baik sehingga secara perlahan mampu mengubah pola berpikir masyarakat yang sudah teracuni dengan pandangan seksis yang diyakini sudah ada secara alamiah. Anggota organisasi gerakan kiri Papua harus memahami betul bahwa persoalan seksisme adalah hal serius yang harus dituntaskan melalui  materi maupun dalam praktek-praktek keseharian organisasinya yang harus dibiasakan anti terhadap seksisme . Berjuang untuk merebut kembali kemerdekaan West Papua dan juga bersolidaritas terhadap seluruh kaum tertindas di muka bumi termasuk juga kaum perempuan dengan membentuk tatanan dunia baru tanpa klas masyarakat adalah tujuan Sosialisme yang wajib hukumnya direalisasikan melalui alat perjuangan yaitu organisasi revolusioner yang juga anti terhadap seksisme.

Baca Juga:  Kura-Kura Digital

Dalam analisis Marx mengatakan bahwa sejarah akar penindasan perempuan terdapat pada masyarakat berklas. Dalam buku Ideologi Jerman (tahun..), Marx berpendapat bahwa hubungan sosial antara manusia ditentukan oleh aktivitas produksi. Beragam lembaga dalam masyarakat hanya dapat dipahami sebagai perkembangan yang tumbuh dari inti ini, yaitu interaksi dalam produksi. Argumen tersebut berlaku dalam soal penindasan perempuan sebagaimana aspek-aspek lain dalam masyarakat kapitalis. Sehingga dapat dilihat bahwa pada proses penyingkiran perempuan juga terjadi proses penyingkiran klas masyarakat lain (budak laki-laki dan perempuan) dari alat produksi yang diprivatisasi segelintir orang yang kemudian menjadi cikal bakal kapitalisme saat ini (proses ini terjadi ratusan ribu tahun).

Dari penjelasan diatas perlu digaris bawahi pula bahwa laki-laki tidak memiliki kepentingan dan keuntungan besar dengan menindas perempuan, selain segelintir orang yang menguasai alat produksi untuk akumulasi modal sebesar-besarnya. Akan sangat logis jika kita membaca tulisan Friedrich Engels tentang Kondisi Kelas Pekerja di Inggris dimana buruh perempuan dan laki-laki diharuskan bekerja selama 12 sampai 13 jam kerja dengan upah yang sangat tidak mencukupi kebutuhan hidup, para bayi yang diasuh oleh perawat yang gajinya juga sangat sedikit sehingga mengakibatkan kasus kematian anak usia 5 tahun ke bawah lebih dari 50% yang semuanya adalah anak dari para buruh. Di sisi lain kalangan keluarga borjuis terus saja mengkampanyekan tentang “Keluarga Sejahtera” di media-media besar yang ada di Inggris. Kondisi ini sangat bertolak belakang dengan keluarga para pekerja yang hidup di bawah penghisapan tenaga kerjanya, tepat seperti yang dikatakan Marx bahwa: “Gagasan yang berkuasa di setiap zaman adalah selalu gagasan dari kelas berkuasa, kendali kaum kapitalis atas seluruh alat penyebaran gagasan berskala luas, dan kekuasaan mereka atas kekayaan material masyarakat, sehingga juga memunculkan yang namanya kesadaran spontan yang juga terjadi di Inggris sehingga keluarga dianggap sebagai suatu kebutuhan mendasar walau upah yang diterima para pekerja di sana sangat tidak menjamin sebagai untuk sebuah keluarga dengan 5 anggota keluarga. Tak hanya di Inggris di Australia, Amerika Serikat, Rusia dan beberapa negara lainpun menghadapi situasi buruk yang sama pada awal-awal perkembangan revolusi industri.

Marx mengungkapkan bahwa “manusia membuat sejarahnya sendiri, tetapi tidak dalam lingkungan yang mereka pilih sendiri”, adanya keterdesakan (iklim, letak geografis, alat produksi dsb) mengharuskan manusia agar mampu beradaptasi sehingga bisa terus mempertahankan hidupnya. Begitupun dalam buku Penyingkiran Perempuan karya Patt Brewer juga sedikit menyinggung tentang sebuah teori dari Marx yang secara garis besar memberitahukan bahwa proses perkembangan masyarakat di suatu wilayah ada yang  melalui faktor internal yang berasal dari dalam masyarakat tersebut tetapi juga ada gabungan dari faktor eksternal tertentu yang menyebabkan adanya penggabungan ataupun campuran dari berbagai wilayah yang ada di muka bumi ini sehingga semuanya berkesinambungan yang mencakup segala aspek kehidupan seluruh manusia di muka bumi ini.

Baca Juga:  Musnahnya Pemilik Negeri Dari Kedatangan Bangsa Asing

Begitu pula jika kita melihat ke perkembangan masyarakat yang ada di Papua. Perkembangan tiap wilayah ataupun tiap suku pastinya berbeda antara satu dan lainnya, begitu pula dengan menempatkan posisi perempuan Papua dalam berbagai hal. Pastinya semua cerita dari orang tua, ataupun budaya yang terus dilestarikan sampai saat ini juga tidak terlepas dari kepentingan globalisasi (Kapitalisme) yang sudah menguasai seluruh wilayah Papua sekitar 200 tahun belakangan ini, sehingga dapat dilihat dengan jelas bahwa budaya kapitalisme ini juga telah mendarah daging di setiap kita orang Papua, dalam artian bahwa secara tidak langsung budaya seksisme telah berakar, sehingga kita tidak bisa melegitimasikan bahwa budaya di beberapa suku Papua mensubordinasikan perempuan Papua.

Dalil yang dibuat Marx untuk para Hegelian Muda yang idealis pada tahun 1840-an: “Tuntutan untuk merubah kesadaran ini mengandung suatu tuntutan untuk menginterpretasikan dunia yang sudah terbentuk dengan cara yang berbeda, dengan kata lain, mempelajarinya melalui interpretasi yang berbeda.”. Hal inipun menjadi petunjuk kita sebagai anggota organisasi gerakan kiri Papua agar tidak mengikuti kesadaran spontan yang dikontrol oleh budaya kapitalis dalam hal ini adalah seksisme, tetapi berusaha melawannya melalui ajaran Ideologi Sosialisme yang sesuai  dengan materialisme historis yang terus berdialektika.

Seksisme sangat erat kaitannya dengan hubungan personal seseorang, tetapi juga melingkupi semua lini pendukung kapitalisme. Yang perlu dipahami bersama di sini adalah organisasi kiri di Papua harus melihat bahwa persoalan personal yang berkaitan dengan seksisme harus juga menjadi persoalan organisasi agar bisa mengarahkan anggota-anggota organisasi agar tidak seksis sejak dalam pikiran, perkataan dan perbuatan, maka perlu ditegaskan melalui prinsip-prinsip organisasi yang juga sejalan dengan ideologi Sosialisme. Organisasi kiri di Papua memang tidak dapat selalu menjadi “polisi ranjang” untuk menyelesaikan setiap persoalan, tetapi dengan pemahaman ideologi yang matang dan selalu diterapkan dalam lingkup organisasi maka secara tidak langsung juga akan mempraktekkan tindakan-tindakan yang sesuai dengan prinsip organisasi.

Prinsip organisasi yang anti seksis, semua setara sebagai kawan perjuangan, bekerja secara kolektif, selalu melakukan kritik oto kritik agar dapat saling memajukan kawan, demokratis dalam segala hal, konsisten dan berkomitmen, menyelesaikan masalah dengan musyawarah, setia kawan, membangun pemahaman ideologi bersama, tidak ada patronisasi (penokohan), menjalan program kerja sesuai pembagian tugas dan kesepakatan bersama. Ya, semua prinsip yang mengarahkan pada tatanan sosial masyarakat baru yaitu Sosialisme menuju komunal modern yang juga berkaca pada kehidupan komunal primitif. Basis struktur yang berkuasa saat ini yang menindas seluruh manusia di muka bumi dan mempertahankan seksisme adalah corak produksi kapitalisme, sehingga kita juga harus membuat basis struktur sendiri yang berlandaskan pada corak produksi sosialisme, organisasi sebagai alat produksi dan anggota yang terorganisir dan maju dalam teori dan praktek sebagai tenaga produktif yang juga mempengaruhi suprastruktur dalam hal ini prinsip-prinsip dan budaya organisasi. Mulailah membentuk sistem kecil sosialisme dari organisasi untuk melawan sistem kapitalisme!

 

Daftar Pustaka:

Artikel sebelumnyaPeran Perempuan Abun dalam Menjaga Eksistensi Bahasa Lokal Suku Abun
Artikel berikutnyaAngka Kekerasan Meningkat, AMPTPI: Presiden Tarik Pasukan Non Organik Dari Tanah Papua