Peran Perempuan Abun dalam Menjaga Eksistensi Bahasa Lokal Suku Abun

0
1566

Oleh: Maria Baru)*
)* Penulis adalah Jurnalis suarapapua.com

Suatu pagi, cahaya matahari mulai merambat menembus jendela. Sa pun mulai membuka mata dan menengok ke jendela. Rupanya sudah jam delapan pagi. Sa bergegas bergerak dari tidur nyenyak. Tak lupa melakukan tanda salip sebagai tanda kemenangan Kristus bagi umat Katolik sebelum melakukan segala aktivitas. Sa Keluar dan memandang matahari terbit dari timur. Cahayanya menghangatkan badan.  Memberi energi positive  untuk dedaunan dan makluk lainnya.

Di balik bukit hijau yang berseri. Anak-anak sekolah SD, SMP keluar dari rumah menuju jalan umum untuk berjalan menuju sekolah. Seorang berjalan dengan beralas kaki, seorang lagi beralas sandal, lainnya bersepatu. Dong pu semangat membuat sa juga bersemangat untuk mengebadikan moment terindah tersebut.  Setelah itu, tak tinggal diam diri. Sa pulang ganti celana panjang dan menuju sekolah.

“Beri hormat. Selamat pagi ibu guru,” suara itu terdengar dari luar pagar sekolah. Seorang ibu guru ruang kelas lain sedang mengajarkan anak-anak bernyanyi. Sa pun menuju melodi suara anak-anak itu bersal. Anak-anak berjumlah 50-an. Mereka dalam satu kelas. Duduk berdempet-dempet tanpa masker, sedangkan sekolah-sekolah di kota duduk jarak-jarak dan menggunakan masker.Kata pak guru Momot, akses masuk keluar kampung kurang sehingga anak-anak tetap masuk sekolah dengan tetap menjaga protokol, tapi nyatanya trada protokol. Trada tempat cuci tangan. Anak sekolah tra pakai masker. Guru juga demikian.

Seorang ibu guru juga tanpa masker dan memandu anak-anak memainkan nadah indah masing-masing. Tiba-tiba, seorang anak, kelas satu. Ia dari rumah penuh semangat ke sekolah. Ia pun percaya diri masuk dalam kelas. “Ehhhh. Pulang-pulang. Harus pakai baju batik bukan merah putih. Ibu sudah kasi baju jadi harus dipakai,” aduh-aduh ibu. Ibu tegas sekali! Sa rasa mau marah ibu guru, tapi rem. Jauh-jauh dari rumah. Disuruh pulang. Apakah anak itu kembali ke sekolah. Rupanya, ia tak kembali. Teman-temannya belajar dan jam sepuluh sudah pulang.

ads

Angin segar kembali menyambar kulit. Mata pun dihiasi reruput hijau. Bukit  hijau di bagian timur penuh kehijauan dengan pepohonan yang besar. Sebelah barat terdengar suara gemuruh ombak. Itulah ciri khas, kampung Kwoor, tanah adat Abun. Abun merupakan salah satu suku yang mendiami wilayah pemerintahan kabupaten Tambrauw. Masyarakat dengan sistem budaya dan kebiasaan yang berbeda dengan empat suku lainya di Tambrauw. Mereka adalah salah satu masyarakat adat  sangat yang sangat menjujung nilai-nilai holistik dan kerahasian antara manusia, alam, dan Allah. Hal tersebut membentuk karakter suku ini.

Baca Juga:  Politik Praktis dan Potensi Fragmentasi Relasi Sosial di Paniai

Tong kembali ke sa  pu journey, perjalanan menguras keringat. Keliling sekolah untuk wawancara dengan para guru. Saa itu, sa ketemu empat guru sedang mengampu enam kelas.  Tiga guru yang sa temui untuk wawancara. Wawancara tentang dong aktivitas masa pandemic, fasilitas, dan upah kerjanya. Sa pu wawancara selesai.  Cahaya panas matahari semakin keras. Membakar kulit. Terasa, sa pu energy habis. Bangun pagi keluar tanpa membasahi kerongkongan dengan air mineral atau teh hangat sehingga Sa lapar dan haus. Akhirnya memilih ke dapur umum.

“Kamdo [baca: selamat siang] ”, sapa saya kepada mama-mama yang sedang sibuk masing-masing. Dua orang sedang mengolah daging di Kowali besar di atas bara tungku api. Dua lainnya sedang memotong sayur di bawah pohon jambu air. Seorang lagi mencuci piring dan alat masak lainnya. Mama-mama dari PW. Mereka dikontrak masak selama kegiatan pemuda dan mahasiswa dari distrik Kwesefo, kabupaten Tambrauw.

Mereka bekerja penuh semangat namun sambil bercerita dan cerita mob. Absolutely, sa kagum dengan mama-mama dong. Dong cerita dengan anak kecil, tiga sampai lima tahun tanpa bahasa Indonesia. Mereka dengan anak muda pun hanya bahasa Abun. Bahkan bayi yang sedang disusui pun. Mereka tetap pakai bahasa lokal.Semua yang dikomunikasikan pakai bahasa daerahnya. Sa hanya diam dan bingung. Sa senyum-seyum saja. Tapi ada satu cerita unik. Dua mama sedang duduk mengupas kulit buah Nangka. Tra lama begini, seekor anjing coklat lewat. Mama Nelce Yesnath langsung marah dan maki begini “Anjing. Terlalu percaya diri sekali. Kimai se telanjang ini !” adohhhh !. Tong semua bongkar tertawa picah di tengah suasana keakuan.

Baca Juga:  Peringatan IWD Menjadi Alarm Pergerakan Perempuan Kawal Segala Bentuk Diskriminasi Gender

Suer, sa tra tipu. Sa su jalan di wilayah adat suku Miyah di Tambrauw. Sa su ke wilayah adat Aifat Timur di Maybrat. Sa su ke komunitas adat suku Iwaro di Metemani, Sorsel.  Sa juga sudah hidup di komunitas suku Moi Kelim di Sorong, tapi sa tra ketemu anak bayi yang biacara pakai bahasa ibu-nya. Sa tra dapat seorang anak hanya mengerti bahasa lokal-nya. Sa tra liat anak muda lebih sering komunikasi pakai bahasa sukunya daripada bahasa Indonesia. Rata-rata , mereka pakai bahasa indonesia, tapi campur sedikit dengan bahasa lokal. Bahkan, dong lebih banyak pakai bahasa Indonesia daripada bahasa ibunya.

Sungguh! Sa senang. Sa bangga. Sa terharu. Ini bukan soal lincah bahasa Indonesia, tapi ini soal merawat dan menjaga identitas diri dari gempuran global dan bagimana kekuatan peran perempuan dalam menjaga eksistensi bahasa lokalnya.  Itu terbukti di komunitas adat Abun yang hidup di wilayah lembah, gunung dan pesisir pantai. Mama-mama, Bapak-bapak, muda mudi suku Abun menjaga bahas ibun-ya sangat kuat di tengah badai arus masuk-nya  bahasa luar yang datang mengoyang ketahanannya. Dong membuktikan bahwa dong mampu benteng keras bahasa lokalnya melalui seorang ibu yang melahirkannya.

Contohnya, apa pun yang dikatakan atau dibicarakan seorang mama selalu menggunakan bahasa ibunya. Jarang  menggunakan bahasa Indonesia. Sa pu mama tua. Dia hidup di kota. Dia tra peranh pakai bahasa Indonesia. Satu hari, sa hitung bahasa Indonesia yang keluar dari mulut hanya tiga sampai lima saja. Itu membuat sa pu keponakan. Dia lincah bahasa Abun. Dia pun kalo bicara dengan mama tua. Dia tra pakai bahasa Indonesai jadi dia pu kemampuan bahasa ada dua. Bahasa ibu dan Inodnesia.  Begitu juga dengan mama-mama yang lain hidup di kota. Mereka tetap menggunakan bahasa ibu dalam membangun komunikasi dengan anak-anaknya. Di kampung Kwoor, seorang kaka perempuan. Ia menikah dengan orang dari suku lainnya. Ia pun mampu mentransferkan bahasa-nya kepada anak-anaknya. Betapa bahagianya, melihat anak-anak jaman now. Mereka masih bisa menggunakan bahasa Ibu. Mulai dari anak bayi sampai orang tua.

Baca Juga:  Indonesia Berpotensi Kehilangan Kedaulatan Negara Atas Papua

Mereka mempunyai prinsip bahwa selama seorang anak di rumah atau pun bersama mereka harus menggunakan bahasa Abun bukan bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia akan dipelajari di sekolah. Nilai itu yang dipegang teguh oleh mama-mama Abun.

“Tong pu moyang bilang. Tong harus pakai tong pu bahasa. Bahasa Indonesai itu. Anak-anak belajar dari guru di sekolah. Tong dari matahari terbit sampai terbenam. Tong pakai tong pu bahasa.Itu sudah menjadi tong pu kebiasan. Orang tua leluhur su ajarkan begitu, tapi Kadang-kadang saja yang tong pakai bahasa Indonesia,” uangkap mama Balandina Yesnath.

Sa tra tipu. Bahasa Abun akan terus eksis di wilayah kepala burung karena kebiasaan masyarakat adat suku Abun  yang setiap detik tidak meinggalkan bahasa ibunya.Anak-anak muda yang sudah pergi sekolah juga tidak melepaskan bahasa ibunya ketika kembali ke kampung atau ketemu keluarga di mana pun dan kapan pun. Mereka tetap menggunakan bahasa lokalnya. Bahasa Indonsia hanya digunakan di saat  moment tertentu atau ada satu atau dua kata yang memang tidak ada di bahasa lokalnya maka akan dicampur dengan bahasa Indonesia.

Itulah kebiasan positive masyarakat adat suku Abun yang perlu dirawat dan dijaga oleh anak muda, orang tua, bahkan pemerintah setempat karena arus modern yang datang memang dicipatkan untuk menghancurkan budaya orang asli Papua dibangun oleh pemerintah pusat dan tak disadarilah oleh pemerintah daerah. Pemusnahan bahasa lokal adalah salah satu amcaman serius bagi orang asli Papua karena tong terlalu udik, menggunakan bahasa nasional, Indonesia yang sering digunakan untuk menindas, mendisrkriminasikan, dan menjajah tong.

Sa harap pemerintah Tambrauw bisa melihat bahasa lokal sebagai suatu identitas setiap komunitas adat masyarakat asli Tambrauw yang harus dilindungi secara undang-undang dan memungkinkan harus ada SK khusus yang menyerukan masyarakat asli Tambrauw untuk selalu menggunakan bahasa ibunya dalam membangun komunikasi sehar-hari. (*)

Artikel sebelumnyaMama-mama di Kampung Kwoor Minta Guru-guru di SD YPK Efata Diganti
Artikel berikutnyaOrganisasi Kiri Papua Harus Menjadi Pelopor Melawan Seksisme!