BeritaDewan Gereja Papua Minta Jokowi Berdialog Dengan Kelompok Pro Referendum

Dewan Gereja Papua Minta Jokowi Berdialog Dengan Kelompok Pro Referendum

SERUAN MORAL DEWAN GEREJA PAPUA

Bertobatlah sebab kerajaan surga sudah dekat. Ada orang yang berseru-seru dipadang gurun: Persiapkanlah jalan untuk Tuhan, luruskanlah jalan bagi-Nya. (Matius: 2-3)

Sebagai Pimpinan Gereja, mencermati kondisi tanah Papua yang masih meratap, masih berduka akibat konflik Bangsa Papua yang menuntut Hak Politik untuk Merdeka dan Pemerintah Indonesia yang memperjuangkan Papua bagian dari NKRI. Ternyata bahwa Deklarasi Damai di tanah Papua (Provinsi Papua dan Papua Barat) yang dibacakan dihadapan para petinggi negara selama ini belum pernah terealisasi. Karena itu seiring seruan Moral 194 orang para Pastor Katolik menyikapi situasi Papua, kami menyampaikan hal-hal berikut:

 A. KONFLIK TPNPB VS TNI/POLRI DAN PENGUNGSIAN WARGA PAPUA. Memasuki pertengahan bulan November 2021, kami mencatat semakin gencarnya pemerintah Indonesia melakukan politik rasisme sistemik, kriminalisasi, marjinalisasi dan militerisasi dalam rangka politik pendudukan kepada Papua. Para elit politk, birokrasi, TNI/Polri (Tentara Nasional Indoensia dan Polisi Republik Indonesia), akademisi Indonesia terus mengepung Papua dengan berbagai narasi dan kebijakan tanpa ampun. Pengalaman hidup bersama selama 58 tahun telah membuktikan bahwa pemerintah Indonesia selama ini memandang Tanah Papua sebagai tanah kosong, tanah tidak bertuan. Pengalaman demikian sangat menciderai hati dan merendahkan martabat umat Tuhan di Tanah Papua. Dalam kurun waktu 20 tahun pelaksanaan Otonomi Khusus banyak pelanggaran Hak Asasi Manusia di tanah Papua. Pemerintah Indonesia telah menggelar 15 kali operasi di tanah Papua dalam meredam konflik di Tanah Papua. Ruang kemerdekaan menyampaikan pendapat terus dibungkam. Demikian juga masih menutup akses Dewan HAM PBB dan Komunitas internasional untuk datang mengunjungi Papua.Pada saat kami mengeluarkan seruan ini, masih terjadi konflik TPNPB dengan TNI/Polri di 6 Kabupaten: Kabupaten Intan Jaya, Kabupaten Pegunungan Bintang, Kabupaten Nduga, Kabupaten Maybrat, Kabupaten Yahukimo dan Kabupaten Puncak Papua. Gabungan aparat keamanan TNI/Polri dengan dalil mencari anggota TPNPB masih melakukan penyisiran di pemukiman warga sipil. Akibatnya masyarakat Papua banyak yang memilih mengungsi di hutan atau di kabupaten tetangga sekitarnya. Sekitar 60.000 orang lebih umat Tuhan telah mengungsi. Banyak anak-anak dan ibu menjadi korban dan meninggal dunia saat pengungsian.

1. Kabupaten Intan Jaya

Konflik Intan Jaya terjadi sejak 25 Octobert 2019. Selama dua tahun, telah terjadi 28 Peristiwa dan menelan korban: 47 orang. Korban dipihak warga sipil (Papua dan non Papua) 31 orang (16 meninggal dunia dan 12 orang luka-luka serta 3 orang warga Intan Jaya menjadi korban penculikan dan penghilangan paksa). Sedangkan pihak TNI/Polri: 14 orang (7 orang meninggal dunia dan 7 orang luka- luka tembak) sedangkan korban meninggal dunia dipihak TPNPB: 2 orang. Lebih dari 3.000 orang mengungsi di Gereja dan diwilayah terdekat. Jumlah aparat gabungan TNI dan Polri terus diperbanyak di Kabupaten Intan Jaya.

2. Kabupaten Pegunungan Bintang (Kiwirok)

Kami mencatat setelah peristiwa jatuhnya korban tenaga kesehatan, Suster Gabriela Meilan di Kiwirok Kabupaten Pegunungan Bintang kembali munculnya pandangan rasisme oleh Ketua MPR RI (Majelis Permusyawartan Rakyat Republik Indonesia) Bambang Susantyo yang meminta Pemerintah dan TNI mengerahkan pasukan dari 3 mantra (TNI dari Angkatan Darat, Angkatan Laut dan Angkatan Udara) terbaik untuk melakukan operasi di Papua. Situasi di Distrik Kiwirok masih terjadi kontak tembak antara pasukan gabungan TNI/Polri dengan TPNPB. Dalam konflik kontak senjata 1 anggota TPNPB atas nama Elly M. Bidana tertembak oleh pasukan TNI dan korban meninggal dunia, sebaliknya pada waktu yang berbeda TPNPB menembak dua anggota TNI atas nama pratu Ida Bagus Putu (meninggal dunia) dan Sutarmidji (luka tembak) serta 1 anggota Polri, Muhammad Kurdiadi (meninggal dunia). Pada pekan kedua October 2021 aparat keamanan diduga telah menjatuhkan bom mortar di 4 pemukiman masyarakat (Kampung Pelebib, Kampung Kiwi, Kampung Delpem dan Kampung Lolim). Akibat konflik ini, sekitar 5.000 orang penduduk setempat telah mengungsi di hutan dan kampung terdekat serta menyeberang ke Negara Tetangga PNG (Papua New Guinea).

3. Kabupaten Maybrat

Kami juga mencatat hingga saat ini sekitar 2.768 warga jemaat kami sedang mengungsi di Kabupaten Maibrat Provinsi Papua Barat, pasca terjadinya penyerangan Pos Koramil Distrik Kisor Kabupaten Maybrat pada 2 September 2021 yang mengakibatkan 4 anggota TNI dibunuh dalam penyerangan yang diduga dilakukan oleh pasukan TPNPB. Setelah peristiwa penyerangan ini, 4 kompi pasukan TNI dan pasukan Polri digerakan di Maybrat. Sesuai dengan laporan yang kami terima dari lapangan bahwa jumlah Korban Kekerasan dan Penangkapan Aparat: 34 orang, terdiri dari: 31 orang ditangkap dan diperiksa, 2 orang ditahan dan diperiksa, 1 orang diintimidasi. Dari total 31 orang yang telah ditangkap dan ditahan untuk diperiksa, 8 orang telah ditetapkan sebagai tersangka dan masih ditahan, dan 23 orangnya telah dibebaskan setelah diperiksa. Dari 8 orang yang ditetapkan sebagai tersangka 5 orang merupakan pelajar, 4 diantaranya berusia anak, 1 orang berusia remaja, 3 orang lainnya berusia dewasa. Sedangkan dari total 23 orang yang ditangkap, ditahan untuk diinterogasi 11 orang merupakan anak dan 1 orang berusia bayi, 10 orang lainnya merupakan dewasa. Total jumlah anak yang menjadi korban kekerasan dan penangkapan aparat TNI POLRI dalam kasus ini terhitung semenjak tanggal 2 September sampai saat ini berjumlah 16 orang dan anak 1 orang. Kami mendapat laporan juga satu warga jemaat meninggal dunia di tempat pengungsian. 15 Jemaat GKI dan 11 Stasi Katolik tidak bisa kembali serta kampung-kampung disekitar wilayah Aifat telah kosong. Mereka akibat takut dan trauma akibat masih terjadinya penyisiran oleh gabungan aparat TNI/Polri. Peristiwa Kepala Burung Papua ini mengingatkan publik atas pembantaian yang pernah terjadi pada suku Maybrat dimana sekurang-kurangnya 1.500 orang terbunuh melalui operasi militer yang melibatkan ketiga mantra dan kepolisian selama kurun waktu 1965-1970. Artinya, perjuangan dan pengorbanan rakyat Papua di Maybrat ini bukan peristiwa yang baru terjadi pada bulan September 2021 tetapi telah terjadi sejak lama (1965).

Baca Juga:  Jelang Idul Fitri, Pertamina Monitor Kesiapan Layanan Avtur di Terminal Sentani

4. Kabupaten Yahukimo

Kabupaten Yahukimo, beberapa kali telah terjadi kontak tembak antara pasukan gabungan TNI/Polri dengan pasukan TPNPB. Pada beberapa peristiwa sebelumnya, anggota TPNPB melakukan pembunuhan terhadap anggota dan beberapa tenaga kerja, yang oleh TPNPB menyebutkan sebagai mata-mata anggota TNI/Polri. Selanjutnya pada 2 September 2021 salah satu pimpinan TPNPB Yahukimo, Senat Soli ditangkap dan ditembak di kaki, kanan kemudian dibawa untuk melakukan pengobatan di rumah sakit Dekai-ibu kota Kabupaten Yahukimo kemudian dilanjutkan pengobatan di rumah sakit Bhayangkara Milik Polda Papua dan pada 27 Juli 2021, ia telah meninggal dunia di rumah sakit ini. Pada 20 November terjadi konflik lagi, anggota TPNPB melakukan penyerangan terhadap anggota TNI dan 1 anggota TNI Sertu Ari Baskoro meninggal dunia dan Kapten Inf Arfiandi Sukamto korban luka-luka.

5. Kabupaten Puncak Papua

Sejak awal tahun ini hingga November 2021 di kabupaten Puncak Papua telah terjadi beberapa kali konflik antara TNI/Polri dengan TPNPB. Selama konflik di Kabupaten ini terjadi beberapa warga sipil Papua telah menjadi korban penembakan dan pembunuhan. Hingga saat ini sekitar 16 orang warga sipil menjadi korban penembakan dan pembunuhan. Pada saat yang sama jatuh korban juga dikalangan TNI/Polri maupun anggota TPNPB. Akibat konflik ini sekitar 3.000 orang lebih dari 23 Desa di Kabupaten Puncak Papua memilih mengungsi meninggalkan tempat tinggal mereka. Sejak TPNPB menembak Kepala Badan Intelijen Papua, Brigadir Jenderal TNI, I Gusti Putu Danny Nugraha Karya, jumlah kehadirian pasukan TNI/Polri diperbanyak di Kabupaten Puncak. Mereka menempati beberapa kantor pemerintahan dan gereja. Kami mendapat dari warga jemaat bahwa aparat gabungan TNI/Polri mengambil barang-barang apa saja dari rumah warga yang telah mengungsi dan menjualnya di kota Ilaga.

6. Kabupaten Nduga

Konflik di Kabupaten Nduga terjadi pada Desember 2018 dan masih berlanjut pada saat kami keluarkan seruan ini. Akibat konflik ini, selama 3 tahun  (Desember 2018-November 2021) 47.000 warga jemaat telah mengungsi. Banyak warga sipil telah menjadi korban selama konflik. Sesuai laporan yang kami miliki sekitar 295 orang warga sipil meninggal dunia. Selain akibat ditembak oleh  aparat keamanan, sebagian besar dari mereka meninggal dunia selama pengungsian karena tidak tersedianya makanan dan obat-obatan. Bertolak dari pengalaman masa lalu dan fakta-fakta terbaru ini, kami menyimpulkan bahwa pemerintah Indonesia masih memilih jalan kekerasan dalam menghadapi konflik Papua. Semua peristiwa ini kami menyimpulkan sebagai bagian satu kesatuan dari politik rasisme sistemik. Kelompok Buzzer yang diduga dimainkan oleh intelijen Indonesia dan kelompok pendukung pemerintah terus menyebarkan berita hoax atau berita kontra opini tentang Papua yang dilandasi dengan sentiment rasisme kepada Papua. Untuk melihat akar konflik dan situasi Papua yang terus kian meningkat dan mengkhawatirkan ini kami katakan sudah saatnya pihak internasional khususnya Dewan Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk melakukan investigasi secara menyeluruh dan komprehensip; aktor, masalah dan solusi konflik Papua.

B. PENGESAHAN SEPIHAK OTONOMI KHUSUS, PENYELENGGARAAN PON XX DAN PEPARNAS PAPUA DI TENGAH RATAPAN ORANG PAPUA.
  1. Dalam banyak kesempatan kami telah menyerukan supaya pemerintah mendengar suara penolakan Otonomi Khusus Papua oleh orang Papua. Pada waktu yang sama kami juga telah menyerukan dilakukan Dialog Damai secara bermartabat antara Pemerintah Indonesia dan United Liberation Movement for West Papua. Suara rakyat Papua tentang penolakan dan kegagalan Otonomi Khusus Papua 2021 telah dibungkam dengan berbagai tekanan. Demikian pula suara lembaga-lembaga di Papua yang lahir dari Otonomi Khusus, seperti Majelis Rakyat Papua dibungkam oleh aparat keamanan. Dengan berbagai manipulasi, tipu-daya yang dilandasi pandangan fasis dalam bulan Juli 2021 Pemerintah memperpanjang Undang-Undang Otonomi Khusus dengan mengesahkan secara sepihak UU No. 2 tahun 2021. Kami menyaksikan segelintir elit partai, elit birokrasi, menteri tertentu menjadikan Otsus sebagai proposal hidup untuk kepentingan materi, investasi ekonomi, memperkuat basis militer di tanah Papua dan melanggengkan kekuasaan politik
  2. Kami menilai hanya demi memuluskan pengesahan Otonomi Khusus Papua jilid 2, Pemerintah telah memberikan label baru kepada orang Papua sebagai teroris. Beberapa pejuang Politik Papua Merdeka diantaranya Victor Yeimo ditangkap dengan dalil tuduhan aksi rasisme pada Agustus
  3. Otonomi Khusus jilid 2 tahun 2021, di buat oleh dan untuk kepentingan Jakarta dalam rangka mempercepat lonceng kematian orang Papua melalui pemekaran infrastuktur pemerintahan Sipil dengan pemekaran Kabupaten dan provinsi sebagai media pendudukan Indonesia dari pulau-pulau lain di Indonesia untuk datang menduduki dan menguasai tanah Papua. Otsus Jilid 2 juga memberikan peluang mempercepat pengembangan infrastruktur TNI/Polri di tanah Papua sebagai alat Negara dalam penindasan, terror bagi umat Tuhan di tanah Papua. Militerisme dan pendudukan sipil warga Indonesia, investor bersekutu untuk menghancurkan orang
  4. Pemerintah juga membungkam dan melakukan kriminalisasi terhadap lembaga-lembaga dan para aktifis HAM dari Indonesia yang bersuara situasi pelanggaran HAM, bisnis militer, kepentingan investasi oleh pejabat pemerintah, elit politik, birokrasi, para purnawirawan TNI/Polri di tanah Papua. Krimininalisasi terhadap Pak Haris Azhar dan Direktur Kontras Fatia Maulidiyanti oleh Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Letnan Jenderal Purnawirawan Luhut Binsar Pandjaitan di Polda Metro Jaya pada 22 September 2021 dan terror Bom terhadap orangtua Pengacara HAM Papua, Veronika Koman pada 7 November 2021 oleh orang tidak dikenal, kami menilai sebagai upaya Negara dalam mengbungkam suara kritis atas situasi Papua yang dipratekan oleh Pemerintah Indonesia selama
  5. Ditengah situasi Papua demikian ini, kami prihatin pengerahan 10.000 lebih personil TNI/Polri dari luar Papua dalam rangka pengamanan Pekan Olahraga Nasional (PON) ke-20 di Papua awal October 2021. Kehadiran aparat dalam jumlah besar demikian memberikan tekanan psikologis dan tekanan terror kepada orang Papua yang telah lama mengalami ancaman hidup. Presiden Joko Widodo, lebih mementingkan pelaksanaan PON di tengah Pandemi Covid 19, yang mengakibatkan rakyat Papua dan Indonesia menjadi korban wabah ini. Oleh karena itu, kami prihatin sikap Presiden Joko Widodo yang tetap memaksanakan melaksanakan PON XX Papua pada October 2021 ditengah pandemic Covid 19 dan ditengah situasi Papua yang berduka karena Operasi Militer sedang berlangsung di beberapa wilayah di Tanah Papua.
  1. Dalam suasana Papua berduka, Pemerintah juga menyelenggarakan PEPARNAS (Pekan Paralimpik Nasional) XVI pada awal hingga pertengahan bulan November 2021 di Jayapura
  2. Kegiatan PON XX Papua dan PEPARNAS XVI Papua dibuka dan ditutup oleh Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Ma’ruf Amin. Presiden dan Wakil Presiden Indonesia selama di tanah Papua tidak membicarakan penyelesaian konflik Papua yang berkepanjangan. Mereka benar-benar menutup mata dan hati atas konflik Papua. Sebaliknya, pada saat yang sama TNI dan POLRI terus melakukan operasi dibeberapa wilyah di tanah Papua. Menurut UU No 34 Tahun 2004, kewenangan pengerahan TNI berada di tangan Presiden, dan harus mendapat persetujuan DPR RI. Jika tidak ada persetujuan maka Presiden harus menghentikan pengerahan kekuatan TNI tersebut. Sampai saat ini, Operasi Penegak Hukum dan Operasi Militer di Papua tidak berbekal Keputusan Presiden yang disetujui oleh DPR RI. Jika demikian kami dapat menyimpulkan bahwa Operasi Militer yang diadakan di tanah Papua berstatus
Baca Juga:  KPU Papua Terpaksa Ambil Alih Pleno Tingkat Kota Jayapura
C. MENINGKATNYA MIGRASI, ISLAMISASI DAN KRIMINALISASI PARA PEMIMPIN DI TANAH PAPUA.
  1. Dengan dalil sebagai negara mayoritas berpenduduk Islam, di berbagai wilayah Indonesia maupun di Tanah Papua proyek Islamisasi terus meningkat dari waktu ke waktu. Pemerintahan sipil, TNI/Polri dan politisi bersekutu menyukseskan misi agama Islam di tanah Papua. Kita menyaksikan pembangunan gereja di berbagai wilayah di Indonesia di larang, dihancurkan, dibakar hingga dibom. Fakta bahwa orang Kristen di Indonesia hidup tidak aman. Pada saat yang sama, gereja-gereja di pedalaman Papua; Nduga, Jila, Bela, Alama, Mapenduma, Puncak Jaya dihancurkan dan dibakar oleh militer sejak tahun 1970- hingga saat ini. Demikian juga para pendeta, gembala dan pastor di stikma, dicurigai hingga ditembak
  2. Belakangan ini semakin gencar dan sistematis mengambil anak-anak pedalaman dengan iming-iming disekolahkan gratis kemudian di bawah ke pulau Jawa. Selama 2005-2013, hampir 200 anak-anak dari pedalaman khusus dari Wamena, Yahukimo dan sekitarnya dibawah ke Jawa. Mereka sampai di Jawa kaget karena bukan disekolahkan tetapi dimasukan di pesantren milik Islam. Akibatnya beberapa dari mereka melarikan diri. Banyak anak-anak pedalaman Papua yang menjadi korban dan meninggal dunia di Pulau Jawa.
  1. Pasca berakhirnya konflik agama di Maluku dan Poso-Sulawesi, Islam Trans Nasional seperti anggota kelompok Hizbut Tahrir Indonesia, Jemaah Tahligh dan Salifi-Wahhabi masuk di tanah Papua. Kelompok ini ditandai dengan masuknya sisa anggota Laskar Jihad ke Papua setelah mereka tidak lagi beroperasi di Ambon. Di Papua mereka menyebar di Manokwari, Kaimana, Sorong, Jayapura, Merauke dan tempat lainnya. Dampak buruk dari eksodus mereka ke Papua adalah konflik skala kecil di Manokwari dan Kaimana yang salah satu penyebabnya adalah kehadiran sisa veteran Laskar Jihad pada tahun 2006. Masuknya Ustad Ja’far Umar Thalib (JUT) panglima Laskar Jihad di Malaku ke Papua khususnya di Keerom kemudian terjadi insiden di Koya pada 27 Februari 2019 sebagai bagian dari Islam Trans Nasional di Papua. Kehadiran kelompok ini mengusik relasi keharmonisan Islam tradisional yang terbangun secara turun- temurun diantara orang Papua di Wilayah Fakfak, Kaimana dan
  2. Pembangunan rumah ibadah dan pesantren begitu pesat berkembang di Tanah Papua. Di Kota dan Kabupaten Jayapura pada 2021 ini telah berdiri 127 masjid termasuk musholah. Jumlah ini perkembangan begitu pesat. Sebab pada 1969, hanya 1 masjid yang berlokasi di ujung jalan percetakan di Kota Jayapura. Jumlah perkembangan yang pesat juga terjadi di Kabupaten Keerom, Merauke, Kota Sorong, Kabupaten Sorong, Manokwari, Fak-Fak, Kaimana, Nabire, Biak dan Timika. Kabupaten di wilayah pesisir Utara, wilayah Selatan dan Kepala Burung Papua yang telah disebutkan di atas telah mengalami perkembangan
  3. Untuk misi yang sama pemerintahan sipil dan intelijen melalui warga jemaat dan pendeta tertentu dari dalam telah memecah belah kesatuan gereja-gereja di tanah Papua, seperti Sinode Baptis, KINGMI Papua dan beberapa Gereja
  4. Di tengah situasi penguasaan Papua sebagaimana digambarkan di atas kami mengapresiasi terlenggaranya Konferensi Sinode KINGMI Papua, pada 1-6 November 2021 di Gereja Kingmi Mile 32 Kabupaten Mimika Papua. Kami menyampaikan Ucapan Terima Kasih kepada Pdt. Dr. Benny Giay, Ketua Sinode yang lama, yang selama 10 tahun menggembalakan warga KINGMI Papua dengan baik dan ucapkan selamat kepada Ketua Sinode baru, Pdt. Tilas
  5. Kami mengapresiasi dan menyampaikan Ucapan Terima Kasih kepada Bapak Bupati Mimika, Eltinus Omaleng yang telah menghibahkan tanah milik pribadinya untuk pembangunan Gereja Kemah Injil Kingmi Papua di Mile 32 Mimika. Kami memprihatinkan pihak tertentu bermain demi kepentingan kekuasaan berupaya menjatuhkan nama baik, harga diri dan martabat Bapak Eltinus Omaleng dimata publik melalui penegak hukum khusunya KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi). Sebab a). Hasil audit BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) 2015, 2016, 2017, 2018 tidak menemukan temuan kerugian Negara, b). Proses tender dilaksanakan secara transparan dan terbuka bukan penunjukan, c). Karena itu kami memprihatinkan dan menolak beredarnya Surat Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi tentang status Bupati Eltinus Omaleng sebagai tersangka yang kemudian dimuat disejumlah media masa sebagai bagian dari permainan pihak-pihak tertentu untuk kepentingan politik di Kabupaten Mimika.
Baca Juga:  57 Tahun Freeport Indonesia Berkarya
D. SERUAN KAMI

Menyikapi dinamika Papua yang sangat memprihatinkan sebagai dampak dari politik rasisme sistemik, upaya kriminalisasi kepada tokoh-tokoh Papua, kami menyampaikan seruan kami:

  1. Meminta kepada Dewan HAM PBB (Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa) datang berkunjung ke Tanah Papua untuk melihat secara langsung situasi penderitaan panjang orang Papua selama 58
  2. Sudah saatnya pemerintah Indonesia menghentikan kebijakan rasisme sistemik pada orang Papua yang terus semakin
  3. Presiden Joko Widodo tetap konsisten mewujudkan statemennya pada 30 September 2019 untuk berdialog dengan kelompok pro referendum, United Liberations Movement for West Papua dimediasi pihak ketiga sebagaimana yang pernah terjadi antara Pemerintah RI dengan GAM (Gerakan Aceh Merdeka) pada 15 Agustus
  4. Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua telah gagal dilaksanaan selama 20 tahun di tanah Papua. Karena itu, kami menolak tegas Pengesahan Undang-Undang No. 02 tentang Otonomi Khusus Jilid II, sebab Undang- Undang ini merupakan kebijakan sepihak Pemerintah tanpa melihatkan rakyat Papua sebagai alamat Otonomi Khusus
  5. Kami menyaksikan upaya pemerintah secara sistematis, massif dan kolektif dalam mendorong proyek Islamisasi di tanah Papua, tanah yang manusia Papua 99% adalah pengikut Kristus. Pemerintan, TNI/Polri, Elit Politik supaya menghentikan semua ambisi dengan orang Papua kemudian mengindentikan penganut agama Kristen dengan
  6. Hentikan pengembangan infrastruktur Sipil, Pemekaran Provinsi di Tanah Papua. Hentikan juga pengembangan infrastruktur militer yang semakin masif, penambahan pasukan yang terus meningkat dalam menghadapi tuntutan dan perjuangan hak-hak dasar dan hak Politik orang
  7. Menyampaikan keprihatinan kami atas pengangkatan Panglima TNI yang dimasa lalu terlibat dalam operasi khusus di Tanah Papua. Kami menilai Presiden Joko Widodo tidak memperlihatkan itikat baik dalam mempromosikan HAM dan Demokrasi di Tanah Papua.
  8. Kami meminta Bapak Luhut Binsar Panjaitan supaya menghentikan kriminalisasi terhadap Sdr. Haris Azhar dan Direktur Kontras Fatia Maulidiyanti. Kami juga minta supaya demi kemanusiaan bebaskan Sdr. Victor Yeimo dan para Pejuang Politik Papua Merdeka yang sedang ditahan dari semua dakwaan dan mendesak presiden memenuhi janjinya (lihat point 3 di atas).
  9. Kami menolak dengan tegas investasi dan eksploitasi pertambangan Blok Wabu dan perusahaan lainnya di Tanah
  10. Kami menolak tegas pembangunan Smelter PT. Freeport di Gresik Provinsi Jawa
  11. Para penegak hukum menghentikan, semua upaya mengkriminalisasi para pemimpin sipil pemerintah di tanah Papua yang sedang memperjuangkan
  12. Hentikan upaya kriminalisasi terhadap Bupati Kabupaten Timika, Eltinus Omaleng, sehubungan pembangunan Gereja Kingmi di Mile 32 Timika. Kami sebagai pemimpin gereja mengapresiasi perjuangan keras Pak Omaleng yang telah menghibahkan tanah dan dana awal untuk pembangunan Gereja Kingmi
  13. Memohon Dukungan doa dari solidaritas dari umat Kristiani di Indonesia, Melanesia, Pacifik, Afrika, Caribia, Uni Eropa, Asia dan Amerika Serikat dalam penyelesaian konflik Papua yang berkepanjangan

Kiranya seruan ini mengingatkan kita untuk mengkongkritkan deklarasi Papua Tanah Damai demi membela dan memperjuangkan keadilan, perdamaian dan martabat umat Tuhan di Tanah Papua.

Jayapura, 21 November 2021

DEWAN GEREJA PAPUA

(West Papua Council of Churches)

Terkini

Populer Minggu Ini:

ULMWP Himbau Rakyat Papua Peringati 1 Mei Dengan Aksi Serentak

0
“ULMWP sebagai wadah koordinatif gerakan rakyat, siap bertanggung jawab penuh atas semua rangkaian aksi yang dilakukan dalam bentuk apa pun di hadapkan kolonialisme Indonesia dan dunia Internasional.”

Fortnightly updates in English about Papua and West Papua from the editors and friends of the banned 'Suara Papua' newspaper.