Rilis PersLima Tahun FRI-WP Bersama Perjuangan Rakyat West Papua

Lima Tahun FRI-WP Bersama Perjuangan Rakyat West Papua

Salam Pembebasan Nasional Bangsa West Papua!

Amolongo, Nimo, Koyao, Koha, Kinaonak, Nare, Yepmum, Ndormom, Tabea Mufa, Walak, Foi Moi, Mainambe, Nayaklah
Wa… wa… wa…wa… wa.. wa.. wa!

Lima tahun Front Rakyat Indonesia untuk West Papua (FRI-WP) berdiri dengan tujuan utama bersolidaritas terhadap perjuangan rakyat West Papua untuk menentukan nasibnya sendiri. FRI-WP adalah perwujudan dari usaha untuk secara tegas menunjukkan siapa saja aktor penjajahan terhadap rakyat West Papua.

FRI-WP adalah salah satu ikhtiar untuk menunjukkan kepada rakyat West Papua bahwa tidak semua orang Indonesia adalah penjajah, pun menunjukkan kepada rakyat Indonesia bahwa negaranya telah dan sedang menjajah West Papua serta mengkhianati cita-cita menghapuskan penjajahan di muka bumi sebagaimana yang termuat dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945.

Usai dideklarasikan di Jakarta, dua hari kemudian FRI-WP turut serta dalam aksi peringatan deklarasi kemerdekaan West Papua yang ke-55 tahun. Kami berjalan dan berbaris bersama orang-orang West Papua. Pada saat itu juga kami langsung merasakan sebagian kecil dari apa yang dirasakan oleh rakyat West Papua. Ingatan kami terlempar jauh pada ingatan nenek moyang kami atas perlakuan Belanda dan Jepang pada masa lalu.

Kami ditangkap, dipukuli, diangkut menuju kantor polisi, bahkan dipenjara, hanya karena melakukan aksi damai untuk West Papua.

Selama lima tahun, tak terhitung berapa kali upaya pembungkaman dilakukan oleh negara beserta aparaturnya terhadap FRI-WP. Mulai dari pembubaran diskusi, pembubaran aksi damai, pemukulan, penangkapan, sanksi kampus, ancaman pembunuhan hingga pemenjaraan. Kenyataan ini semakin membuat bulu kuduk bergidik. Jika aparat mampu melakukan hal-hal seperti ini kepada kami yang di luar Papua, maka bisa dibayangkan kondisi yang lebih buruk terjadi di Papua yang jauh dari sorotan publik.

Meski begitu, tidak sekalipun komitmen FRI-WP untuk mendukung hak menentukan nasib sendiri bagi bangsa West Papua surut. Sebaliknya, kami semakin meyakini bahwa penjajahan dan penindasan sistemik terus menerus terjadi dan perlu segera diakhiri. Hak menentukan nasib sendiri adalah solusi damai dan demokratis yang akan mengurai akar permasalahan di Tanah Papua.

Kecurangan dan Penipuan Sejarah Integrasi

Pada 27 Desember 1949 saat pengakuan kedaulatan negara Republik Indonesia (RI) oleh Pemerintah Belanda, status West Papua adalah koloni tak berpemerintahan sendiri dan diakui demikian oleh PBB dan Belanda, yang pada waktu itu menjadi penguasa administratif kolonialnya.

Rakyat West Papua telah mendeklarasikan kemerdekaannya pada 1 Desember 1961. Pada masa itu bangsa West Papua telah membentuk Nieuw Guinea Raad. Deklarasi tersebut tak diakui oleh Pemerintah Soekarno yang menganggapnya sebagai negara boneka buatan Belanda. Akhirnya, Soekarno melakukan aneksasi terhadap West Papua melalui deklarasi Trikora (Tri Komando Rakyat).

Ketika Indonesia mengambil alih tanggung jawab administratif di West Papua pada 1 Mei 1963, teritori itu tetap berstatus koloni tak berpemerintahan sendiri yang berhak atas penentuan nasib sendiri di bawah hukum internasional. Hak itu diakui oleh Indonesia dalam New York Agreement yang menguatkan fakta bahwa Indonesia tidak memiliki kedaulatan hukum atas West Papua. Keberadaan Indonesia di West Papua adalah administrasi kolonial yang bisa bersifat permanen hanya jika rakyat West Papua memilih integrasi melalui penentuan nasib sendiri dengan prosedur yang disyaratkan oleh hukum internasional.

Baca Juga:  Hari Konsumen Nasional 2024, Pertamina PNR Papua Maluku Tebar Promo Istimewa di Sejumlah Kota

Satu-satunya penentuan nasib sendiri yang dilakukan adalah Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) yang TIDAK SAH pada tahun 1969. TIDAK SAH karena hanya 1.022 orang (empat orang lainnya tidak ambil bagian) yang terlibat dalam pemungutan atau kurang dari 0,2% dari populasi rakyat Papua, yang dikondisikan dengan todongan senjata untuk memilih setuju integrasi dengan Indonesia. Karena pengambilalihan tersebut TIDAK SAH, maka West Papua bukanlah bagian sah dari teritori Indonesia, melainkan teritori tak berpemerintahan sendiri di bawah pendudukan.

West Papua adalah Sebuah Bangsa

Dari kenyataan historis 1961, 1963, dan 1969, penindasan pasca-Pepera, kita harus mengakui: pertama, keberadaan RI di West Papua adalah ilegal; kedua, terjadi penjajahan di Papua selama 60 tahun; ketiga, West Papua adalah sebuah bangsa (nation).

“Nasion” atau “bangsa” dalam sejarahnya terbentuk dari komunitas masyarakat yang stabil/tertentu, yang terbentuk berdasarkan sebuah kesamaan bahasa, teritori (wilayah), kehidupan ekonomi, dan perubahan psikologi, yang termanifestasi dalam kebudayaan bersama. Kecurangan sejarah menjadi awal mula serangkaian penindasan yang harus dialami oleh rakyat West Papua hingga saat ini.

Diskriminasi dan Rasisme Terhadap Rakyat West Papua

Jika ditinjau melalui pendekatan sejarah, diskriminasi dan rasisme terhadap rakyat West Papua telah ditunjukkan oleh Soekarno saat menyebut West Papua sebagai “negara boneka”. Pernyataan ini memosisikan rakyat West Papua sebagai obyek pasif yang tidak mampu berpikir dan berdiri di atas kakinya sendiri. Bau busuk diskriminasi dan rasisme juga tercium pada, misalnya, Perjanjian New York (yang tidak melibatkan perwakilan rakyat West Papua).

Bahkan sebelum Pepera berlangsung, Ali Moertopo pada tahun 1966 pernah berujar, “Indonesia tidak menginginkan orang Papua, Indonesia hanya menginginkan tanah dan sumber daya alam yang terdapat di dalam pulau Papua. Kalau orang Papua ingin merdeka, silakan cari pulau lain di Pasifik untuk merdeka. Atau meminta orang Amerika untuk menyediakan tempat di bulan untuk orang-orang Papua menempati di sana.”

Apakah setelah reformasi, rasisme terhadap rakyat West Papua lenyap?

Masih lekat di ingatan kita ketika asrama mahasiswa Papua di Surabaya dikepung oleh TNI-Polri dan milisi sipil reaksioner pada 16-17 Agustus 2019. Pengepungan itu disertai dengan ujaran rasisme. Kejadian itu memicu protes besar-besaran yang terjadi tidak hanya di Papua, tetapi juga di berbagai wilayah lain di Indonesia. Aksi ini direspons dengan pembungkaman yang tak kalah brutal. Delapan warga sipil di Deiyai tewas ditembak, ratusan lainnya ditangkap.

Baca Juga:  TETAP BERLAWAN: Catatan Akhir Tahun Yayasan Pusaka Bentala Rakyat 2023

Salah satu yang juga ditangkap adalah Juru Bicara FRI-WP, Surya Anta. Ini menjadikan Surya Anta sebagai orang Indonesia pertama yang didakwa dengan pasal makar karena isu Papua.

Sementara itu, Veronica Koman, pengacara HAM untuk Papua, dijadikan tersangka dan hingga saat ini berada dalam pengasingan. Tak hanya itu, keluarganya pun mendapat berbagai macam ancaman. Beberapa waktu lalu di kediaman orang tua Veronica Koman terjadi ledakan bom. Bom dikirim beserta pesan ancaman dari kelompok yang menamakan dirinya Laskar Militan Pembela Tanah Air.

Sejak peristiwa 2019, jumlah aparat TNI yang dikirim ke Papua terus meningkat. Hal ini semakin memperpanjang rantai kekerasan di Tanah Papua. Titik-titik konflik bertambah tidak hanya di Nduga. Yang terbaru, ribuan warga di Kabupaten Puncak, Maybrat, dan Intan Jaya, harus mengungsi karena daerahnya menjadi lokasi operasi militer. Tentu saja aparat tetap menyatakan tidak ada operasi militer, tetapi kenyataan berkata sebaliknya.

Per Juni 2021, Komnas HAM Papua mencatat sekitar 3.019 orang pengungsi kini berada di Ilaga, ibu kota Kabupaten Puncak. Mereka antara lain berasal dari distrik Gome, Ilaga Utara, Muara, dan kampung wilayah pinggiran Ilaga.

Sementara itu, per November 2021, jumlah pengungsi di Maybrat mencapai lebih dari 3.121 orang, dengan klasifikasi jenis kelamin laki-laki lebih dari 1.342 orang dan perempuan lebih dari 1.328 orang. Dari seluruh pengungsi ini lebih dari 2.546 orang merupakan orang dewasa, balita dan bayi, dan lebih dari 575 orang merupakan anak usia sekolah dengan umur 7-18 tahun. Para pengungsi ini berasal dari 50 kampung di lima distrik, yaitu Aifat Selatan, Aifat Timur, Aifat Timur Jauh, Aifat Timur Tengah, dan Aifat Timur Selatan.

Otsus Telah Gagal, Saatnya Menentukan Nasib Sendiri

Undang-Undang Otonomi Khusus (UU Otsus) disahkan pada tahun 2001 setelah era kebangkitan politik Papua dimulai. Undang-Undang itu menjanjikan kedaulatan bagi rakyat West Papua yang terpinggirkan, mengobati luka lama akibat penindasan, dan melegalisasi partai politik lokal. Namun janji tersebut tak pernah direalisasikan hingga saat ini.

Kegagalan merupakan buntut dari unsur-unsur konservatif di parlemen dan tubuh militer Indonesia yang khawatir Undang-Undang itu bisa mengancam kesatuan negara dan menjadi jalan bagi kemerdekaan West Papua. Mereka kemudian melakukan berbagai cara untuk menghentikan kemungkinan tersebut. Misalnya dengan membatasi diskursus politik dan mengontrol lembaga-lembaga pemerintahan lokal yang dilahirkan Undang-Undang Otsus. Membatalkan legalitas partai dan sistem partai lokal. Cara-cara itu masih menjadi ciri pemerintahan dan pengendalian kebebasan berekspresi dan berserikat di Tanah Papua.

Bukti kegagalan lain adalah Pemerintah Indonesia tak kunjung membentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi untuk mengungkap kejahatan masa lalu. Selain itu, pelarangan terhadap lambang West Papua, Bintang Kejora, juga masih terus diberlakukan. Mengenakan lambang tersebut di tempat umum bisa berakibat tindakan represif oleh aparat keamanan, termasuk tuduhan makar.

Baca Juga:  PTFI Bina Pengusaha Muda Papua Melalui Papuan Bridge Program

Dalam soal investasi dan kemerdekaan pers dan informasi, Jakartalah yang menentukan segalanya. Kebebasan pers selalu saja dihambat, jurnalis nasional dan internasional tidak leluasa untuk masuk ke Papua secara umum atau daerah konflik khususnya. Pemerintah dan aparatusnya menentukan mana media yang bebas keluar masuk Papua dan mana yang tidak. Belum lagi, pola disinformasi melalui media-media siluman dilakukan guna mengaburkan fakta yang sebenarnya di Papua.

Dari segi investasi, pemerintah pusatlah yang menentukan di wilayah-wilayah mana dan seberapa besar investasi dan eksploitasi tersebut dilakukan. Tanpa keleluasaan yang besar dari pemerintah lokal sebagaimana makna wewenang Otsus yang bisa didapatkan oleh pemerintah lokal manapun yang menyandang status serupa. Akibatnya, kerusakan lingkungan dan penyingkiran masyarakat adat terjadi secara masif.

Meski nyata-nyata gagal, Pemerintah Indonesia tetap keukeuh melanjutkan Undang-Undang Otsus tersebut meski berbagai penolakan digencarkan oleh rakyat West Papua. Penolakan dilakukan dengan membentuk Petisi Rakyat Papua (PRP) sebagai wadah aspirasi. PRP menyatakan bahwa mereka telah menerima lebih dari 700.000 tanda tangan penolakan. PRP membantah klaim Jakarta yang mengatakan bahwa Otsus telah berhasil mensejahterakan dan mengikutsertakan Orang Asli West Papua dalam urusan wilayah mereka.

PRP keberatan atas disingkirkannya rakyat West Papua dari pembahasan Otsus. Evaluasi UU Otsus, misalnya, harus melalui Majelis Rakyat Papua (MRP) dan Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP). Nyatanya UU itu diperpanjang oleh elit-elit Jakarta dan disetujui tanpa pertimbangan oleh pemerintah tingkat lokal.

Jika disimak lebih detail, pemerintah Indonesia sedang mengulangi sejarah kelam dengan lagi-lagi tidak mendengar aspirasi dari rakyat West Papua dalam menentukan keberlangsungan hidup rakyat West Papua sendiri. Padahal rakyat West Papua sendirilah yang berhak mengevaluasi Undang-Undang Otsus, bukan Jakarta.

Melihat fakta tersebut, FRI-WP tetap berpegang pada komitmen untuk mendukung rakyat West Papua menentukan nasibnya sendiri. Lima tahun adalah waktu yang singkat ketimbang berpuluh tahun derita yang dialami oleh rakyat West Papua. Karenanya, kami tetap bersuara dan mengajak seluruh rakyat Indonesia yang mencintai kemanusiaan untuk turut bersolidaritas terhadap perjuangan rakyat West Papua menentukan masa depannya.

Saatnya menghentikan lingkaran kekerasan di Tanah Papua. Menghapus doktrin nasionalisme sempit yang dijadikan alat oleh elit-elit Jakarta untuk mengeruk Papua. Nasionalisme yang sejati semestinya beriringan dengan kemanusiaan. Ia tidak seharusnya berdiri di atas penipuan, kecurangan, dan limpahan tangis serta darah. Bukankah kebahagiaan yang sejati sebagai manusia adalah bebas dari penindasan bangsa atas bangsa dan penindasan manusia atas manusia?

Hidup Bangsa West Papua!
Hidup Rakyat West Papua!
Hormat Diberi!

Jakarta, 29 November 2021

Surya Anta
Juru Bicara FRI-West Papua

Terkini

Populer Minggu Ini:

Ribuan Data Pencaker Diserahkan, Pemprov PBD Pastikan Kuota OAP 80 Persen

0
“Jadi tidak semua Gubernur bisa menjawab semua itu, karena punya otonomi masing-masing. Kabupaten/Kota punya otonomi begitu juga dengan provinsi juga punya otonomi. Saya hanya bertanggung jawab untuk formasi yang ada di provinsi. Maka ini yang harus dibicarakan supaya apa yang disampaikan ini bisa menjadi perhatian kita untuk kita tindaklanjuti. Dan pastinya dalam Rakor Forkopimda kemarin kita juga sudah bicarakan dan sepakat tentang isu penerimaan ASN ini,” ujarnya.

Fortnightly updates in English about Papua and West Papua from the editors and friends of the banned 'Suara Papua' newspaper.