Pandangan DAP Soal Pertikaian antar Warga di Wamena

0
1837

WAMENA, SUARAPAPUA.com — Dewan Adat Papua (DAP) telah mengeluarkan himbauan demi penanganan pertikaian antara warga Nduga dan Lanny Jaya yang terjadi di Wamena pada 8 – 10 Januari 2022 lalu di distrik Wouma, Kabupaten Jayawijaya, Papua.

Kepada media ini, Rabu (12/1/2021) kemaring, Dominikus Surabut, Ketua Dewan Adat Papua (DAP) mengatakan, tujuan himbauan yang dikeluarkan DAP adalah untuk menciptakan Wamena sebagai rumah bersama.

“Kami melakukan penanganan dan pengendalian perang yang terjadi antara warga Nduga dan Lanny Jaya. Kami mengamati bahwa perang yang sudah terjadi dan sudah tahu penyebabnya yang dimulai akibat adanya seorang warga yang dianiaya dan meninggal. Untuk itu saya bersama Pimpinan DAP La Pago dan Pimpinan DAP Hubula mengeluarkan himbauan ini,” ujarnya.

Himbauan DAP

Berdasarkan Kronologis kejadian yang terjadi pada awal bulan Desember 2021, kata Ketua DAP, Istri kedua dari Sibelu Gwijangge Pada hari Sabtu 08 Desember 2022 sekira pukul 08.30 WIT korban Sibelu Gwijangge mendapatkan informasi dari teman-temanya bahwa, akan diselesaikan permasalahan antara Sibelu Gwijangge dengan Juli Kogoya terkait maskawin yang belum dibayarkan kepada pihak keluarga perempuan Yuli kogoya dan sekaligus membahas permasalahan dimana Sibelu Gwijangge yang merasa sudah membayar mas kawin Yuli kogoya kepada keluarganya setelah itu dimana seseorang yang tidak diketahui membawa istri korban tanpa sepengetahuan Sibelu Gwijangge selaku suaminya.

Jeremias Kogoya selaku sekretaris Distrik sekaligus RT Kampung Wesakma memfasilitasi dan memediasi masalah terkait. Jeremias Kogoya mengarahkan sebelum mengurus permasalahan untuk kedua belah pihak menaruh benda-benda tajam di depan lokasi tempat penyelesaian masalah. Selanjutnya Jeremias Kogoya membuka dan memberikan kesempatan kepada salah satu pihak keluarga untuk berbicara dimana dari pihak perempuan yang memulai.

Pada saat berjalanya pembicaraan Sibelu Gwijangge selaku suami korban tersinggung dengan perkataan dari pihak keluarga Yuli Kogoya dan lansung mengambil parang dan melakukan penyerangan terhadap saudara Jepit Kogoya selaku bapak dan Yuli kogoya dan kedua keluarga belah pihak saling menyerang dan Sibelu Gwijangge (korban) menaruh parang dan kembali mengambil Panah dan mengarahkan ke pihak keluarga Yuli Kogoya. Dan beberapa menit saling serang Sibelu Gwijangge terjatuh dan tidak sadarkan diri (meninggal dunia) akibat terkena benda tajam dan dua orang lainya terkena luka panah di bagian kaki sebelah kiri dan dada sebelah kiri Korban.

Akibatnya kedua kubu memobilisasi masa yang ada dalam kota Wamena dan sekitarnya dilengkapi dengan peralatan perang panah busur dan alat tajam. Kemudian saling menyerang pada hari Sabtu dan Minggu, mengakibat satu (2) Korban meninggal dunia, puluhan warga luka luka kena busur dan alat tajam serta terjadi kerugian materil. Secara keseluruhan yang meninggal Dunia adalah Sibelo Gwijangge terdapat Luka tusuk di bagian Punggung sebelah kanan hingga meninggal dunia terkena tusukan benda tajam dan yang kedua adalah Luok Heluka.

 

ads

Untuk korban Luka – luka, Puluhan orang luka – luka kena busur dan alat tajam, namun identitasnya belum diketahui. Luka – luka yang berhasil teridentifikasi diantaranya: Witenus Tabuni terdapat Luka di kaki sebelah kanan akibat terkena Panah, Rondi Kogoya Terdapat Luka di bagian dada sebelah kiri akibat terkena panah, Wemas Wenda (18) terkena panah pada bagian perut, Berkas Tabuni (18) Kepala bocor.

Korban Material berupa, Rumah dan Honai 40 unit habis dibakar. Termasuk didalamnya honai adat (Kaneke) milik Lagowan Matuan dan konfederasinya. Membakar 10 unit sepeda motor, Membakar 2 unit kendaraan roda empat, Harta benda lain yang ada dalam rumah dan honai ikut ludes terbakar.

Masyarakat yang tinggal di sekitaran Distrik Wouma, telah menggungsi ke kerabat dan keluarganya di sekitar kota dan pinggiran kota Wamena. Dalam mobolisasi kekuatan ada isu-isu yang berkembang secara politis yang dapat membahayakan warga disekitar Wouma, sehingga masyarakat mengevakuasi diri dan keluarganya pada tempat yang aman dari dampak perang ini.

Sekalipun ada korban kerugian nyawa dan harta kekayaan, namun situasi dapat dikendalikan dengan baik oleh Bupati Kabupaten Jayawyaya, Bupati Kabupaten Lanny Jaya, Bupati Kabupaten Nduga, aparat keamanan dan para tokoh dari Nduga, Lanny Jaya dan Wamena, sehingga setuasi tidak meluas dan dapat dikendalikan secara masif. Korban kerugian sendiri dibagi menjadi dua bagian yaitu dapat diperbaharui (ganti) dan tak dapat tergantikan. Kerugian dapat diperbaharui (diganti) yaitu terbakamya rumah dan honai, terbakarnya kendaraan, dan harta lain ikut terbakar. Korban yang tak dapat tergantikan adalah korban nyawa yang meninggal dan honai adat (Kaneke) yang terbakar.

Pengendalian paska perang ini, pentingnya mengambil langkah untuk dilakukan proses perdamaian dan rekonsiliasi yang melibatkan 2 (dua) suku Nduga dan Suku Lanny yang berperang dengan Suku Hubula sebagai korban dari perang ini. Proses ini tidak berhenti pada bayar membayar dan ganti-mengants kerugian tapi lebih terpenting rekonsiliasi persatuan untuk menciptakan Wamena sebagai rumah kita bersama.

Perang Suku di Wouma, Melukai Hati Suku Hubula

Kami masyarakat Adat Hubula, Kaneke adalah dipercayai sebagai tokoh ajaib yang pernah hidup dan menjadikan segalanya. Juga disebut inti, asal. tokoh dan manusia ajaib dalam struktur internal budaya di Hubula dan sekitarnya. Seluruh masyarakat adat di Hubula dan sekitarnya mempercayai bahwa sesungguhnya kaneke merupakan wuyud Tuhan yang menciptakan manusia, tumbuhan, binatang, sungai, danau, gunung, lembah, cara hidup dan budaya manusia. Dalam gerak tersebut, Naruekul menjadi asal atau inti yang menciptakan segala sesuatu melalui pengorbanan dirinya.

Kaneke adalah kepercayaan agama tradisional. Karena itu, dalam konsep budaya masyarakat Balim, “Tuhan” dipahami secara abstrak sebagai “realitas yang mutlak” yang disebut Kaneke dipercayai sebagai penguasa dunia dan sebagai Juruselamat manusia, yang mana roh yang disebut agoreke memuiliki kekuatan sakral yang terdapat dalam bentuk kaneke. Sejak awal menerima Kaneke, orang Hubula menjaga, memelihara, melindungi dan membenkan kurban sebagai inti, asal dan simbol hidup persatuan antara manusia dan pencipta. Kaneka tidak pernah dibakar dalam perang suku baik dari musuh sekalipun. Musuhpun tahu bahwa honai dimana ada kaneke, tapi tak pernah dibakar karena mereka tahu bahwa itu rumah Tuhan atau yang disebut Kanekela (honat sakral).

Perang suku antara Nduga dan Lanny Jaya, orang Hubula dilecehkan martabat dan harga dirinya, melalui rumah Adat dibakar. Rumah adat (kanekela) adalah lambang atau simbol identitas, otoritas dan hak hak dasarnya yang harus dilindungi dan dijaga. Kanekela dibakar sama dengan Rumah Tuhan orang Hubula dibakar. Sekalipun ini, salah satu honai adat (kanekela) milik konfederasi atau klen suku Logowan Matuan. Namun keyadian ini terpancar bagi orang Hubula amat terluka sangat dalam. Seluruh saneka yang ada di Wamena ini tidak semata mata hanya miltk orang hubula, melainkan ada relasi atau hubungan dengan peradaban dan penyebaran mula mula manusia dipegunungan tengah Papua ini. Seluruh kaneka yang ada di Hubula ada hubungan dengan seluruh suku besar yang di pegunungan tengah yaitu Hubula, Lani dan Yali. Pada awal mulanya semua bermula dari Wio (Wamena) menyebar ke seluruh penjuru di gunung ini.

Wamena Rumah Kita Bersama

Wamena adalah O Sili (O Silimo) besar untuk semua orang yang hidup dan berkembang. Melalui silimo inilah terjadi interaksi dan terpancar proses kehidupan sehari hari masyarakat adat Balim dalam mempertahankan kehidupan maupun identitasnya yang juga menunjukkan nilai-nilai kehidupan orang Balim sesungguhnya.

Pada umumnya sikap hidup orang Balim tidak pernah menutup pintu rumahnya maupun pemukimannya (silimo) terhadap orang lain. Suatu silimo bersifat terbuka untuk menerima dan merangkul semua orang karena dipahami sebagai suatu sikap yang terbuka, merangkul, melingkupi, utuh dan harmoni dengan semua orang (0 pakimo aktak hani hano). Suatu si/imo tidak boleh tertutup dan egois, melainkan terbuka untuk siapa saya termasuk terbuka terhadap musuh yang sedang mencari perlindungan karena sedang dalam masalah. Orang Bahm memiliki budaya yang disebut akhuni hinakmuhogo yang berarti sayangilah semua orang yang datang.

Karena itu Wamena disebut rumah kita bersama untuk hidup yang aman, tempat belajar, pusat perputaran ekonomi. dan pusat peradaban orang Balim.

Hal ini menunjukkan bahwa orang Balim memiliki “nilai relasi” yang baik dengan falsafah dasar bahwa manusia tidak memiliki arti tanpa kehadiran orang lain. Kita tidak boleh terkontaminasi dari perubahan sosial terutama berkaitan dengan konteks sosial politik yang mempengaruhi orang Balim untuk mulai tidak menerima kehadiran orang lain. Karena itu, sikap keterbukaan dan penerimaan terhadap orang lain serta sikap terbuka dengan perubahan yang menguntungkan dengan menyelamatkan. Juga mereka yang datang dari luar, menjadi teladan untuk menciptkan sikap kebersamaan dan keterbukaan serta saling menghormati terhadap nilai-nilai kebudayaan dan peradaban modern yang sedang terjadi im di Wamena. Tidak bisa menciptkaan kegaduhan dan kontak yang menciptakan perpecahan dan kehancuran diantara kita, dari keuntungan hegemoni sosial budaya dan sosial politik.

Semua suku yang ada di Wamena ini, diatur tata ruang hidupnya yang kondusif dan rasa bertanggungjawab dalam dan diluar komunitas sukunya masing masing. Tidak bisa hidup tercerai berai dan sporadis yang dapat menimbulkan kegaduhan dan konflik kekerasan antar suku dan antar lembaga di Wamena ini. Pola hidup dalam nilai nilai budaya Hubula juga kita secara bersama harus mengharga: dan menghormati.

Peran Pemerintah, Adat dan Gereja Mengatasi Perang

Wamena merupakan salah satu daerah yang masih menyimpang berbahagai macam permasalahan sostal. Konflik sostal terjadi di Wamena sangat beragam dan mencakup semua lini kehidupan, mulai dari aspek sosial, budaya, politik dan ekonomi. Konflik sosial yang di picu oleh perbedaan suku, budaya dan golongan atau kelompok, sesuai dengan karakteristik dan dianggapnya sebagai salah satu permasalahan yang dapat merugikan dan mengganggu bahkan melanggar aturan dan norma di suku Hubula. Masalah persinahan atau perselingkuhan, pembunuhan, kematian tidak wajar, dan rasa dendam yang mendalam merupakan salah satu penyebab perang suku di Wamena.

Baca Juga:  Peringatan IWD Menjadi Alarm Pergerakan Perempuan Kawal Segala Bentuk Diskriminasi Gender

Di samping itu konflik internal antara suku yang terjadi waktu lampau juga menyadi salah satu faktor penyebab perang suku dan kelompok yang dapat menyebabkan kerugian secara fisik maupun materi lainnya. Konflik sosial yang ada di daerah mi sering disebut sebagai perang suku. Perdamaian perang suku yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah, Adat dan Gereja. Perang suku dilihat dari suatu tindakan yang negative, sebagai suatu kriminalitas, yang bertentangan hukum hukum positif maupun hukum hukum agama. Karena pemahaman semacam ii, perang suku harus dihentikan dan ditiadakan.

Untuk menghentikan dan meniadakan perang suku antar Nduga dan Lanny Jaya, pemerintah dan para pemangku kepentingan memanfaatkan mekanisme penyelesaian secara adat membayar gant) rugi kepada pihak korban disertai upacara bakar batu. Kita percaya bahwa perang suku akan berhenti ketika pihak-pihak yang bertikkai melakukan pembayaran ganti rugi disertai upacara bakar batu. Akan tetapi pola penanganan semacan ini punya dua kelemahan yang mendasar.

Pertama, pola penanganan semacan ini bersifat parsial. Artinya, penanganan semacan ini hanya efektif untuk satu kasus. Kasus- kasus yang lain muncul maka perang akan muncul kembali.

Meskipun perdamaian secara adat telah dilakukan untuk menghentikan dan mendamaikan pihak-pihak yang terlihat dalam perang suku, akan tetapi ketika masalah yang baru muncul maka perang kembali terjadi. Kenyataan seperti int memperlihatkan bahwa upacara bakar batu dan ganti rugi bukan suatu bentuk penyelesaiak konflik yang bersifat preventif. Padahal, ketika perang dilihat sebagai sesuatu yang negative di perlukan suatu mekanisme penyelesaian perang suku yang bersifat preventif sehingga perang tidak terus menerus terulang.

Kedua, penanganan secara adat justru akan semakin memperkokoh keutamaan kategorisasi (kelompok) sosial. Padahal kategorisasi sosial justru menjadi penyebab utama dari berbagai konflik sosial. Ketika keutamaan dari kategorisasi sosial ini terus merus dikukuhkan, itu berarti konflik sosial akan terus terulang. Atau, dengan kata lain ketika nilainilai Kultural perang setiap suku terus menerus dipertahankan dan mendapatkan leyalitas secara politik maupun religius maka perang antar suku akan terus menerus terjadi.

Kelemahan ini akan memunculkan, secara ekonomis, perang suku dan upacara bakar batu selalu menghabiskan biaya yang tidak kecil. Setiap terjadi perang, harta benda yang menjadi korban atau dikorbankan tidaklah sedikit dan biaya pembayaran ganti rugi dan upacara pelaksanaan bakar batu biasa mencapai Rp 500 Juta.( lima ratus juta) sampai Rp. 1 M,(satu miliar). Kenyataan semacam ini akan berdampak terjadinya kemiskinan.

Perang suku antara Nduga dan Lanny Jaya ini menjadi pelajaran penting untuk kita semua, menciptakaan kehidupan dan kebersamaan yang permanen, bukan temporer sebagai batu loncatan kepentingan Sosial Budaya dan Ekonomi Politik. Sebab dari pengalaman kita hidup setelah menerima peradaban modern di Wamena, konflik kekerasan di Lembah Balim (Wamena) ini terus terjadi dan terpelihara sampai sekarang. Kapan saja akan terjadi batik secara design maupun spontanitas emosional personal. Pemerintah, Adat dan Gereja dapat mencari formula untuk menciptkan kehidupan masa depan yang baik.

Proses perdamaian dan rekonsiliasi yang melibatkan 2 (dua) suku Nduga dan Suku Lanny yang berperang dengan Suku Hubula sebagai korban dari perang tidak berhenti pada bayar-membayar dan ganti-menganti kerugian tapi lebih terpenting rekonsiliasi persatuan dengan diri sendiri dan dengan sesasma untuk menciptakan Wamena sebagai rumah kita bersama. (*)

Baca Juga:  HRM Melaporkan Terjadi Pengungsian Internal di Paniai
Artikel sebelumnyaPemkab Daerah Nduga, Lanny Jaya dan Jayawijaya Berhasil Redam Pertikaian di Wamena
Artikel berikutnyaAsosiasi Masyarakat Adat (AMA) Paniai Semaikan 267 Bibit Pohon Cemara