Proyek LAPAN di Biak, Ancaman Serius Bagi Marga Abrauw di Saukobye (2/3)

0
1012

JAYAPURA, SUARAPAPUA.com — Ketika Pemerintah Pusat benar-benar merealisasikan pembangunan bandar antariksa di kampung Saukobye, distrik Biak Utara, Kabupaten Biak Numfor, maka dampaknya sangat mungkin terjadi adalah tanah ulayat marga Abrauw terancam hilang. Generasi baru dari marga Abrauw tidak akan memiliki tanah warisan leluhur dan nenek moyang mereka.

Dalam peta wilayah adat yang dibuat oleh Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPPEDA) Kabupaten Biak Numfor pada Tahun 2015, wilayah adat marga Abrauw Rumander di Distrik Biak Utara, marga Abrauw memili total lahan seluas 2142,2 hektar yang terbagi dalam wilayah adat baru (1226,2 ha) dan wilayah adat lama (916 ha). Dari total luasan ini tanah milik LAPAN seluas 56 hektar.

Meski di dalam Peta BAPPEDA Kab. Biak Numfor yang survei dan pengukurannya dilakukan pada tahun 2015 lahan milik LAPAN adalah seluar 59 hektar, Handoko Tri Laksono, Kepala Kepala Badan Riset dan Inovasi Nasional mengatakan tanah milik LAPAN di Biak adalah 100 hektar.

Bagian pertama dari liputan ini dapat anda baca di sini: Pro dan Kontra Pembangunan Bandar Antariksa di Biak (1/3)

Menurut Marthen Abrauw, Pemilik ulayat tanah adat di kampung Saukobye mengatakan mereka menolak rencana pembangunan bandar antariksa di atas tanah adat mereka.  Utamanya karena kuatir akan kehilangan tanah adat sebagai salah satu warisan leluhur dan moyang marga Abrauw.

ads

“Untuk pembangunan bandar antariksa ini kami memang tidak setuju dan menolak. Karena tempat [lahan] kami habis. Kami tahu bahwa itu membutuhkan lapangan yang luas. Jadi kami tidak mau dibangun diatas tanah adat kami,” tegas Marthen kepada Suara Papua.

Janji untuk pemerintah menyediakan lokasi lain pernah ia dengar. Namun, tidak secara langsung dari pimpinan daerah janji-janji itu disampaikan oleh kepala desa. Marthen dan sudara-saudaranya menolak rencana tersebut karena mereka akan kehilangan tempat berburu, berkebun dan demi masa depan anak cucu mereka.

“Kalau janji untuk pindahkan ke lokasi lain pernah disampaikan oleh kepala desa. Tetapi kami menolak rencana itu. Kalau pemerintah pindahkan, kami tidak bisa hidup lagi karena kami bercocok tanam dan melaut. Dan yang paling penting adalah masa depan anak cucu kami suram. Jadi kami menolak rencana pemerintah untuk pindahkan ke lokasi lain,” kata Marthen.

Generasi muda marga Abrauw juga menyatakan sikap menolak rencana pembangunan bandar antariksa di atas tanah adat mereka. Salah satunya diutarakan Alex Abrauw kepada Suara Papua di Biak.

“Sebagai generasi muda Abrauw di daerah ini [Saukobye], saya kira alam yang ada ini sudah cukup untuk jadi berkat bagi kami untuk mencari makan dan mendapatkan akses pendidikan itu sudah cukup. Kami tidak akan serahkan tanah adat kami karena ini  sudah jadi komitmen dari turun temurun kami punya moyang yang masih hidup sampai sudah meninggal, kami yang ada lanjutkan kami tetap satu bahasa, pemerintah mau bangun model apapun kami tolak,” tegas Alex.

Jika pemerintah berwacana untuk memindahkan mereka ke tempat lain pun Alex menolak. Sebab dia berprinsip bahwa itu hanya gula-gula (jani manis) yang diberikan pemerintah dalam pertemuan-pertemuan. Misalnya, dia mengungkapkan, dalam pertemuan-pertemuan pemerintah selalu menjajikan uang miliaran rupiah sehingga bisa beli mobil dan lain-lain.

“Kami pikir itu hanya bahasa manis-mani saja. Kami tidak mau lepaskan tanah adat kami tapi kenapa pemerintah mau paksa kami supaya bisa lepaskan tanah adat kami. Pelepasan tanah adat pun kami tidak serahkan. Kalau memang pemerintah mau fasilitasi kami, mereka harus dengar apa yang kami sampaikan. Kalau kami tidak mau ya, pemerintah tidak perluh paksa karena sama contoh dengan daera-daerah lain. Contoh Freeport saja sudah seperti begitu cukup kami lihat dari situ saja jangan kami lagi menderita,” tambah Alex.

Permenas Sermumes, Mananwir Adat wilayah Supior Amsendi  mengatakan, jika pemerintah memaksakan kehendak untuk bangun Bandar antariksa, maka akan berdampak pada lingkungan dan budaya.

“Setiap tanah itu punya tuan tanah sehingga kita menghargai mereka [hak ulayat]. Jika mereka punya hak itu diambil, kami ini berfungsi untuk bisa membantu. Artinya kerjasama dengan pemerintah untuk bisa membantu keluhan mereka. Salah satunya tapal batas tanah adat, juga persoalan sosial yang dihadapi oleh masyarakat supaya dampaknya bagus pada masyarakat itu, nyaman aman,” terang Permenas memperjelas peran serta fungsi mananwir dalam adat Byak.

Dia menyanrakan agar pemerintah kerjasama dengan lembaga adat supaya melihat akar persoalan masyarakat adat itu dengan baik. Karena data tanah itu adalah milik masyarakat adat dari turun temurun dan tidak bisa kita ambil karena itu haknya makan dan minum dari moyangnya.

“Jika pemerintah mau ambil [tanah ulayat] ya tanya kepada pemilik apakah mereka?” ujarnya.

Permenas menilai Bandar antariksa, ambil 1000 hektar berarti akan berdampak di sekiteran tanah adat berseberangan Kampung Korem, Saukobye dan Warbon.

“Jadi pemerintah ambil lalu Mereka mau hidup di mana lagi. Itu yang kami pikir. Kalau pergeseran penduduk, ini tempat ini ada marga-marga punya,” tegasnya.

Dampak nyata bermanfaat untuk semua masyarakat umum bahkan negara. Tapi  dampak negatifnya pada masyarakat akar rumput yang memakai lahan itu jadi persoalan. Pemilik tanah adat itu mau dikemanakan? Ini persoalan yang harus dipikirkan secara bijak.

Permenas menambahkan, jika pemerintah tetap ingin lanjutkan pembangunan bandara antariksa, pemilik hak ulayat yang hanya masyarakat kecil akan merana nasib hidupnya.

“Kalau dia [Negara] dengarkan tangisan kami, ya, terima kasih. Kurang dari itu kami tidak punya apa-apa. Tapi kalau dipaksa, kami mau bikin apa, kami tinggal mencucurkan air mata dengan hak kami. Kami tidak berdaya,” katanya.

Pandangan dan Sikap Gereja  

Gerson Abrauw, Ketua Klasis Biak Utara Gereja Kristen Injili di Tanah Papua (GKI-TP) mengatakan, manusia dan alam semesta saling berhubungan dan erat kaitannya, demikian juga hubungan antara manusia dengan tanah.

“Ketika itu [saat penciptaan] tanah diberi roh oleh Allah lalu menjadikan manusia,  kemudian Tuhan Allah menyediakan  tanah lebih dulu dengan segala sumber dayanya lalu menempatkan manusia,” jelasnya.

Tuhan menciptakan Manusia dan memberikan tanah kepada masing-masing suku, bangsa serta marga untuk mengelolah dan memanfaatkannya dalam kelangsungan hidup manusia.

“Berkaitan dengan hal itu, kami merasa bahwa pembangunan dengan skala besar ini akan membuat manusia meninggalkan sumber hidupnya dan tanahnya. Pemilik hak ulayat tidak akan mungkin mengambil tanahnya kembali. Itu susah bagi pemilik hak ulayat.”

“Apalagi kalau dikaitkan dengan masyarakat adat Papua yang punya hak ulayat, batasan-batasan dan dia [pemilik ulayat] tidak mungkin pergi dan masuk di areal tanah adat orang lain. Itu sudah sama dengan bertindak sewenang-wenang, juga membuat orang lain merasa tidak nyaman,” katanya.

Dalam konteks kehidupan orang asli Papua, lanjut Pdt. Gerson, tanah dipandang sebagai identitas. Tanah sangat erat dengan kehidupan orang asli Papua sebagai identitas, ibu yang memberikan sumber kehidupan.

“Kalau tanah adatnya sudah tidak ada, identitasnya sebagai orang adat sudah tidak ada.

Karena identitas diri orang orang asli Papua adalah tanah. Jadi kalau ada tanah yang dilalihkan maka dia sendiri sebenarnya kehilangan identitasnya yang tidak mungkin punya tempat di situ. Dalam konteks ini marga Abrauw diperhadapkan dalam ancaman hilangnya identitas,” jelasnya.

Pdt. Gerson berpandangan, jika tanah diambil alih untuk kepentingan pembangunan Bandar antariksa, maka masyarakat lokal yang hidup turun-temurun disitu akan kehilangan sumber hidup, hak tanah, lokasi berkebun, tempat mencari dan sebagainya.

“Walaupun ada alasan bahwa tempat itu akan menjadi lapangan kerja, itu artinya ada sumber pengganti. Tetapi kalau dilihat dari teknologi yang dibangun dengan keahlian yang dimiliki masyarakat, mereka sebenarnya tidak mungkin mereka bisa bekerja di situ sebagai tenaga kerja. Berapa banyak sumber daya kita yang saat ini yang punya pengetahuan luar angkasa dengan teknologi yang baik dan mereka tinggal di sini, sama sekali tidak ada,” terangnya.

Gereja ikut prihatin kalau suara dan jeritan masyarakat yang terus ditekan dan tidak mau bersuara karena orang lain, dan memaksakan diri untuk menerima keadaan itu demi meninggalkan sumber hidup orang lain.

“Penderitaan masyarakat, bagi saya itu penderitaan Gereja karena dalam pemahaman Gereja kami, umat ini yang disebut Gereja bukan Organisasi Gereja. Tapi Umat yang percaya kepada Kristus sebagai Tuhan dan Juruselamat, mereka itu yang dinamakan Gereja.”

“Jadi kalau Gereja yang ada ini, umat yang ada ini merasa menderita, merasa tersingkir dan kehilangan sumber hidup sebetulnya itu adalah penderitaan Gereja. Karena itu Gereja ikut bersuara untuk menolong mereka menyampaikan keluh kesah dan kekhawatiran mereka. Itu yang ada pada Gereja,” jelasnya.

Dalam konteks pembangunan Bandar antariksa, lanjut dia, gereja sudah menyurai pemerintah, LAPAN dan negara karena menyalahi adat. Pihaknya sebagai Pimpinan Gereja juga sudah menyoroti Pemerintah Kabupaten Biak Numfor namun sejauh ini belum indahkan.

“Gereja sudah berusaha, tapi yang terjadi di Kabupaten Biak Numfor ini soal orang bilang demokrasi, suara banyak didengar dibanding suara sedikit. Jadi yang yang mempunyai hak milik ini mereka sedikit, suara mereka kecil. Mereka kumpulkan begitu banyak orang mengatakan ia, dan yang suara kecil ini seperti tidak didengar,” terangnya.

Pemerintah Abaikan Suara Gereja

Pdt. Gerson mngatakan, sereja sudah berusaha untuk menyampaikan ini semua supaya dibicarakan dari awal dengan baik tetapi tidak pernah dihiraukan. Apalagi ketua Klasisnya yang juga adalah pemilik hak ulayat di situ, akhirnya pandangan yang diberikan pemerintah pun negatif berkaitan dengan penyampaian yang tadi, atas nama gereja dan berbicara soal hak hidup masyarakat. Lalu dinilai wah dia sama dengan mereka yang menolak, untuk apa berdiskusi soal ini.

Dia Berharap, mendengar suara rakyat kecil tidak dituduh dengan opini negatif oleh pihak terkait. Pdt. Gerson meminta Pimpinan Pemeritah, Gereja, Dewan Adat serta Aparat keamanan bersatu menerima aspirasi masyarakat atau umat dan mendengarkan pemilik hak ulayat. Kalau mereka menolak, tidak boleh memaksa.

Gereja Kristen di tanah Papua selalu mengingatkan para hamba Tuhan untuk menjaga manusia dan menjaga alam semesta, menjaga manusia dengan sumber-sumber hidupnya, menjaga tanah, hutan, dan sumber daya karena tidak ada tanah yang kosong di atas Tanah Papua. Ketika Tuhan Allah menciptakan langit dan bumi ini semua sumber daya ini telah disiapkan, baru Tuhan menempatkan manusia di atas tanahnya.

“Soal mau dipandang negatif atau objektif atau positif, saya tidak perlu untuk menilainya. Tapi saya tetap bersuara untuk sesuatu yang benar. Karena di dalam Alkitab juga mengatakan, bela lah hak orang-orang kecil bela lah hak orang-orang tertindas, berarti tidak ada alasan bagi Gereja untuk bersuara bagi mereka yang merasa tertekan, yang merasa dirugikan dan itu harus. Itu keharusan yang ada dalam firman Allah,” tegasnya.

 

Pewarta: Atamus Kepno
Editor: Arnold Belau 

 

Artikel sebelumnyaPemerintah Harus Proaktif Menindaklanjuti Putusan Sanksi Pencabutan Izin Perusahaan
Artikel berikutnyaSikap MRP dan Konsekwensi Hukum Pembangunan Bandar Antariksa di Biak (3/3)