Pemaksaan DOB di Papua Ibarat ‘Anak Minta Nasi Malah Dikasih Batu’

0
738

WAMENA, SUARAPAPUA.com — Mendukung suara tegas komponen masyarakat adat Papua, Forum Masyarakat Jayawijaya se-Pegunungan Tengah Papua (FMJ-PTP) menyatakan tetap menolak wacana pemekaran lima daerah otonom baru (DOB) di Tanah Papua yang gencar dibahas pemerintah pusat sejak tahun lalu itu.

Mully Wetipo, koordinator FMJ-PTP menegaskan, masyarakat Papua khususnya di wilayah pegunungan tengah Papua tidak pernah minta pemekaran.

“Kita mengartikan wacana pemekaran lima provinsi baru itu seperti ‘anak minta nasi malah dikasih batu’. Pemekaran ini tidak sesuai keinginan dan aspirasi masyarakat. Itu sangat jelas oleh sekelompok orang yang kalah politik pada Pilkada lalu,” ujar Mully kepada suarapapua.com baru-baru ini di Wamena, ibu kota kabupaten Jayawijaya.

Terkesan memaksakan masyarakat adat di Tanah Papua, FMJ-PTP menurutnya tetap menolak adanya pemekaran DOB yang gencar diwacanakan di Jakarta.

“Dengan tegas kami menolak upaya pemaksaan untuk mekarkan beberapa provinsi baru dari provinsi Papua. Kita lihat pemekaran itu sedang dipaksakan pemerintah pusat bersama segelintir orang berkepentingan. Padahal masyarakat di pegunungan tengah dan umumnya masyarakat Papua tidak pernah minta provinsi baru. Ini pemaksaan dari Jakarta. Seakan-akan Jakarta yang lebih tahu kebutuhan masyarakat Papua hingga pemekaran itu dianggap satu hal wajib dilakukan. Itu sangat lucu. Anak minta nasi, orang tuanya kasih batu. Itu kan sangat aneh,” tuturnya.

ads

Mully juga menilai dasar bagi pemerintah untuk mekarkan provinsi baru tersebut kabur.

“Dasarnya sangat tidak jelas. Mendagri, presiden dan DPR RI di Jakarta segera kaji ulang wacana pemekaran provinsi di lima wilayah adat itu. Sekalian dibatalkan saja.”

Bagi Mully, dua provinsi yang ada sekarang yakni Papua dan Papua Barat yang didalamnya terdapat puluhan kabupaten dan kota itu saja sudah dikuasai orang non Papua.

“Dua provinsi ini sedang dikuasai oleh pejabat luar Papua. Mau mekarkan untuk siapa lagi lima provinsi itu? Stop dengan pemekaran.”

Baca Juga:  Penyebutan Rumput Mei Dalam Festival di Wamena Mendapat Tanggapan Negatif

Fatalnya lagi, kata Mully, perekonomian di Tanah Papua didominasi non Papua. Termasuk kontraktor dan semua aspek lainnya.

Karena itu, FMJ-PTP mengingatkan pemerintah daerah bersama pemerintah pusat fokus bangun fasilitas yang dibutuhkan oleh masyarakat Papua.

“Tugas pemerintah adalah bangun dua provinsi dengan kabupaten dan kota itu, bukan lagi tambah-tambah DOB. Pemekaran provinsi dan kabupaten hanya menambah persoalan yang membawa banyak dampak negatif di tengah masyarakat Papua. Jadi, yang seharusnya diprioritaskan itu membangun sumber daya manusia, meningkatkan fasilitas kesehatan dan pendidikan yang ada di lima wilayah adat ini,” ujarnya.

Salah satu tokoh pemuda Jayawijaya itu menyebut pemekaran Papua hanyalah kepentingan sekelompok orang menghendaki kekuasaan di DOB lantaran kalah politik pada Pilkada sebelumya.

“Sudah jelas kelompok orang yang kalah politik, mau lanjut kekuasaan minta pemekaran baru. Itulah ulah orang-orang yang tidak mampu bersaing di dunia politik. Ini brengsek namanya,” kata Mully.

Ia berharap pemerintah daerah terutama pemerintah pusat melihat kembali substansi dasar persoalan di Tanah Papua.

“Bukan dengan pemekaran untuk mau penuhi kesejahteraan dan lain sebagainya. Itu tidak. Pemerintah perlu melihat prinsip-prinsip dasar kemanusiaan. Pendidikan, kesehatan dan sumber daya manusia itu yang harus difokuskan,” tandasnya.

Wetipo khawatirkan jika pemekaran dipaksakan, salah satu dampaknya adalah marginalisasi penduduk orang asli Papua. Sebab fakta saat ini sistem birokrasi pemerintahan, perekonomian dan lain sebagainya dikendalikan orang luar dan orang asli Papua kian tersingkir.

“Hal itu juga akibat dari tidak adanya regulasi yang mengikat bagaimana memprioritaskan hak-hak orang asli Papua.”

Yang berikut, imbuh Wetipo, bagaimana memprioritaskan kebutuhan-kebutuhan dasar orang asli Papua dan ditambah lagi adanya pemekaran baru tanpa ada regulasi dan lain sebagainya.

“Nantinya orang asli Papua akan jadi tamu di negerinya sendiri. Maka itu, dengan tegas kami menolak adanya pemekaran baru di provinsi Papua termasuk di wilayah pegunungan tengah Papua,” ujarnya.

Baca Juga:  Komnas HAM RI Didesak Selidiki Kasus Penyiksaan Warga Sipil Papua di Puncak

Selain itu, FMJ-PTP mengimbau kepada seluruh lapisan masyarakat Papua khususnya di wilayah adat Lapago agar tidak jual tanah.

“Tanah adalah mama yang menghidupkan kita. Orang Papua bisa hidup tanpa uang. Tetapi, tanpa tanah sama sekali tidak bisa hidup. Jadi, stop jual tanah,” tegas Wetipo.

Markus Haluk, aktivis Papua yang juga direktur ULMWP Dalam Negeri, menganggap rencana pemerintah mekarkan beberapa provinsi baru di Tanah Papua merupakan siasat politik jahat.

“Pemekaran itu siasat untuk mempercepat pendudukan Indonesia di Tanah Papua yang berakhir terjadinya genosida, etnosida, dan ekosida Papua.”

Haluk menegaskan, rakyat Papua tidak pernah tuntut minta pemekaran kabupaten/kota maupun provinsi.

“Kebijakan pemekaran bukan jawaban atas persoalan Papua. Hanya orang tidak waras yang mendukung rencana jahat pemerintah kolonial ini,” ujarnya.

Kebijakan pemekaran tersebut menurut Pdt. Dr. Socrates Sofyan Yoman, presiden Persekutuan Gereja-gereja Baptis West Papua, bagian dari rancangan operasi militer dengan tujuan menjadikan sebagai rumah bagi militer dan orang Melayu (Indonesia).

“Lima provinsi ini dengan tujuan utama untuk membangun lima Kodam, lima Polda, puluhan Kodim dan puluhan Polres serta basis berbagai kesatuan. Tanah Melanesia akan dijadikan rumah pasukan militer dan orang-orang Melayu,” ujar Yoman.

Dampak dari banyaknya DOB, ia prediksi orang asli Papua akan kehilangan tanah akibat dikuasai untuk bangun gedung-gedung kantor pemerintah, markas militer, dan lainnya.

“Pasti manusianya disingkirkan, dibuat miskin, tanpa tanah dan tidak punya masa depan, bahkan dibantai dan dimusnahkan seperti hewan dengan cara wajar atau tidak wajar seperti yang kita alami dan saksikan selama ini.”

Yoman bahkan mengungkapkan fakta genosida dilakukan penguasa kolonial modern di era peradaban tinggi.

Baca Juga:  Kepala Suku Abun Menyampaikan Maaf Atas Pernyataannya yang Menyinggung Intelektual Abun

“Kejahatan sudah terungkap di depan publik. Tahun 1969 setelah West Papua diintegrasikan ke dalam Indonesia, jumlah populasi OAP sekitar 809.337 jiwa. Sedangkan PNG berkisar 2.783.121 jiwa. Saat ini pertumbuhan penduduk asli PNG sudah mencapai 8.947.024 juta jiwa, sementara jumlah OAP cuma 1,8 juta jiwa. Ini fakta kolonial modern yang menduduki dan menjajah rakyat West Papua.”

Sofyan mengutip isi buku ‘16 Pahlawan Perdamaian Yang Paling Berpengaruh’ karya Eddy Sutrisno, pemerintah Indonesia mengulangi pengalaman penguasa kolonial Apartheid di Afrika Selatan. Tahun 1978, Peter W Botha menjadi Perdana Menteri, menjalankan politik adu-domba dengan memecah belah persatuan rakyat Afrika Selatan dengan mendirikan negara-negara boneka yakni Ciskei, Venda, Bophuthatswana, dan Transkei.

Dugaan tersebut menurut Sofyan terbukti dengan adanya sejumlah dokumen negara sangat rahasia.

“Dokumen tersebut diantaranya Departemen Dalam Negeri, Ditjen Kesbang dan Linmas: Konsep rencana operasi pengkondisian wilayah dan pengembangan jaringan komunikasi dalam menyikapi arah politik Irian Jaya (Papua) untuk merdeka dan melepaskan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sumber data Nota Dinas nomor 578/ND/KESBANG/D IV/VI/2000 tanggal 9 Juni 2000 berdasarkan radiogram gubernur (caretaker) Irian Jaya nomor BB.091/POM/060200 tanggal 2 Juni 2000, dan nomor 190/1671/SET tanggal 3 Juni 2000 terkait tuntutan penentuan nasib sendiri orang asli Papua.”

Adapun data lainnya, sebut Sofyan, dokumen dari Dewan Ketahanan Nasional tertanggal 27 Mei 2003 dan 28 Mei 2003 tentang strategi penyelesaian konflik berlatarbelakang separatisme di provinsi Papua melalui pendekatan politik keamanan.

“Lembaga-lembaga yang melaksanakan operasi ini yakni Departemen Dalam Negeri, Departemen Pertahanan dan Keamanan, Departemen Luar Negeri, khusus untuk operasi diplomasi, Kepolisian Indonesia, Tentara Nasional Indonesia (TNI), Badan Koordinasi Intelijen Negara (BAKIN), Badan Intelijen Strategis (BAIS), Kostrad, dan Kopassus,” bebernya.

Pewarta: Onoy Lokobal
Editor: Markus You

Artikel sebelumnyaVideo: Pemain Belitong FC Asal Papua jadi Korban Rasial Pendukung Persikota Tangerang
Artikel berikutnyaUsai Bungkam Persipura Jayapura 4 – 1, Bali United Pimpin Klasemen Liga 1