Tanah PapuaLa PagoTolak DOB dan Otsus, Rakyat Nyatakan Siap Sambut Komisaris Tinggi HAM PBB

Tolak DOB dan Otsus, Rakyat Nyatakan Siap Sambut Komisaris Tinggi HAM PBB

WAMENA, SUARAPAPUA.com — Selain menolak dengan tegas wacana pemekaran daerah otonom baru (DOB), ribuan Rakyat Papua asal wilayah adat Laapago yang turun jalan hingga lumpuhkan kota Wamena dan penuhi halaman kantor Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) kabupaten Jayawijaya, Kamis (10/3/2022), juga menyatakan siap sambut kunjungan Komisaris Tinggi Dewan HAM PBB.

Sejumlah orator dalam aksi demonstrasi damai menyikapi rencana pembentukan beberapa provinsi baru di Tanah Papua itu mengecam tindakan pemerintah yang terkesan sepihak tanpa mau mendengar aspirasi rakyat Papua.

Iche Murib, salah satu orator perwakilan perempuan Papua, menyatakan, rakyat akar rumput tetap berpegang pada komitmen menolak pembentukan DOB.

Dari hadapan massa aksi, ia bicara tegas tentang berbagai perlakuan negara melalui aparatusnya.

Pada intinya, tegas Iche, kebijakan negara Republik Indonesia tidak pernah memberi jaminan hidup, justru bertolak belakang dengan realita memilukan selama puluhan tahun sejak proses aneksasi.

“Perempuan Papua hari ini kami nyatakan sikap kepada pemerintah Indonesia bahwa kami tidak punya jaminan hidup. Anak-anak di (kabupaten) Nduga sedang dibunuh, begitupun di Intan Jaya, Pegunungan Bintang, Puncak, Puncak Jaya, Yahukimo, Maybrat dan hampir seluruh Tanah Papua. Kandungan kami kering. Kami sakit hati. Terus menerus dibunuh, baru nanti siapa yang akan warisi negeri kaya raya ini. Kami tidak mau negeri warisan nenek moyang ini diambil alih oleh orang pendatang,” bebernya dengan nada tegas.

Baca Juga:  Soal Satu WNA di Enarotali, Begini Kata Pakum Satgas dan Kapolres Paniai

Kebijakan menyenangkan sesaat termasuk pemekaran provinsi menurut Iche, tidak dibutuhkan oleh rakyat Papua. Selama kasus kejahatan negara belum pernah ditangani bahkan terus dilanjutkan, rakyat pemilik tanah emas ini akan musnah.

“Semua kebijakan Indonesia itu stop saja. Kami rakyat Papua tidak butuh DOB. Kami butuh hidup aman, nyaman dan damai seperti layaknya manusia di dunia lain dengan menyelesaikan masalah kejahatan kemanusiaan yang terjadi di atas tanah emas ini sejak tahun 60-an hingga sekarang. DOB bukan jawaban atau solusi terhadap banyak tulang belulang yang berserakan di negeri ini. Rakyat menilai DOB merupakan mesin pembunuh yang ampuh dan DOB juga bagian dari penjajahan tersistematis,” ujarnya.

Tidak hanya di wilayah adat Laapago, ia prediksi kasus pelanggaran HAM akan berlanjut di seluruh Tanah Papua seiring hadirnya provinsi dan kabupaten/kota baru. Iche khawatir dengan gencarnya perluasan wilayah seiring pembentukan DOB yang pasti akan diikuti dengan pembangunan pos-pos militer dan kemungkinan tindakan yang akan memperpanjang penderitaan orang Papua di masa mendatang.

Iche ungkapkan fakta banyak orang Papua tewas di ujung bedil, dan saat bersamaan angka populasi manusia menurun.

Baca Juga:  Kadis PUPR Sorsel Diduga Terlibat Politik Praktis, Obaja: Harus Dinonaktifkan

“Sudah banyak orang mati di atas Papua. DPRD tidak bicara, bupati tidak bicara. Seluruh pejabat asali Papua sedang diam, tidak mau bicara masalah kematian orang Papua. Angka kematian meningkat, angka kelahiran menurun. Terus, pemekaran itu untuk siapa? Stop dengan gula-gula politik,” tegasnya.

Karena itulah perempuan Papua dari sembilan kabupaten yang ada di wilayah adat Laapago menyatakan sikap menolak pemekaran provinsi, kabupaten dan kota di kawasan Laapago.

“Tanah kami adalah tanah adat. Wajib mendapat izin dari masyarakat adat sebagai pemilik dan pemegang hak ulayat atas tanah adat. Negara tidak punya hak untuk datang merampas, merampok tanah-tanah adat.”

Kabar kunjungan Komisaris Tinggi HAM PBB ke Tanah Papua menurutnya sangat dinantikan seluruh elemen masyarakat dengan harapan dari dekat bisa pantau rentetan fakta-fakta mengerikan selama puluhan tahun.

Untuk itu, pemerintah Indonesia diminta membuka akses seluas-luasnya agar rencana kunjungan ke Papua terwujud.

Perwakilan dari sembilan kabupaten di wilayah adat Laapago dan seluruh elemen masyarakat, mahasiswa serta ormas menyampaikan orasi secara bergantian dalam aksi damai ini.

Dano Tabuni, penanggungjawab aksi penolakan pemekaran DOB, menyatakan, seluruh komponen masyarakat Papua satu hati menolak kebijakan pemekaran yang sedang disiapkan pemerintah pusat.

Baca Juga:  Kepala Suku Abun Menyampaikan Maaf Atas Pernyataannya yang Menyinggung Intelektual Abun

Pemerintah juga diminta batalkan pertemuan Kemendagri bersama para bupati se-pegunungan tengah Papua membahas pemekaran DOB.

“Kami masyarakat Laapago dengan tegas menolak DOB yang juga merupakan mesin pembunuh orang Papua,” ujarnya.

Dano juga menyatakan, rakyat Laapago sebagai bagian dari Papua besar ini siap menyambut kedatangan Komisaris Tinggi HAM PBB.

“Pemekaran dan induknya Otsus sudah rakyat Papua tolak. Karena itu bukan solusi yang tepat untuk mengatasi persoalan Papua, tetapi justru membawa malapetaka bagi orang Papua,” ujarnya.

Dano menegaskan, rakyat Papua tidak pernah menyampaikan aspirasi tentang pemekaran DOB, termasuk kelanjutan Otsus. Pemerintah Indonesia bersama elit-elit Papua yang punya kepentingan dengan harta dan kekuasaan yang memaksakan kehendaknya.

Dalam aksi damai dipajang pula beberapa pamflet dan spanduk.

Di sana tertulis pokok tuntutan yang diusung massa aksi.

“Kami rakyat menolak pemekaran DOB di Papua dan Papua Barat”.

“Kami rakyat Lapago menolak rencana pertemuan yang akan dilakukan pada tanggal 11 Maret 2022 di Jakarta”.

“Kami menuntut dengan tegas bahwa Indonesia segera membuka akses untuk jurnalis asing dan Komisaris Tinggi HAM PBB ke West Papua”.

“Kami rakyat Lapago Papua yang siap menyambut kunjungan Komisaris Tinggi HAM PBB ke Tanah Papua”.

Pewarta: Onoy Lokobal
Editor: Markus You

Terkini

Populer Minggu Ini:

ULMWP Himbau Rakyat Papua Peringati 1 Mei Dengan Aksi Serentak

0
“ULMWP sebagai wadah koordinatif gerakan rakyat, siap bertanggung jawab penuh atas semua rangkaian aksi yang dilakukan dalam bentuk apa pun di hadapkan kolonialisme Indonesia dan dunia Internasional.”

Fortnightly updates in English about Papua and West Papua from the editors and friends of the banned 'Suara Papua' newspaper.