Tanah PapuaMeepagoDipaksakan, Birokrat Papua Mesti Berpikir Baik Setujui Pemekaran DOB

Dipaksakan, Birokrat Papua Mesti Berpikir Baik Setujui Pemekaran DOB

PANIAI, SUARAPAPUA.com — Kebijakan pemerintah Republik Indonesia untuk Tanah Papua terkesan dipaksakan. Suara rakyat Papua tidak pernah didengar, apalagi mau diakomodir. Lalu, untuk siapa kebijakan tersebut?.

Bernardo Boma, ketua Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) kabupaten Dogiyai, mengungkapkan hal itu menanggapi kebijakan pemerintah memperpanjang Otonomi Khusus (Otsus) dan pemekaran daerah otonom baru (DOB) di Tanah Papua.

“Pemerintah pusat memperpanjang program Otsus dan pembentukan DOB provinsi baru di Papua dan Papua Barat yang terkesan dipaksakan itu untuk kepentingan apa dan siapa?,” ujarnya mempertanyakan.

Boma menilai kebijakan tersebut tanpa menjaring aspirasi rakyat Papua.

“Sejak tahun 2021 masyarakat Papua berhadapan dengan dua agenda pemerintah pusat yaitu perpanjangan Undang-Undang nomor 21 tahun 2001 tentang Otsus Papua dan pembentukan DOB. Dua program ini terkesan dipaksakan tanpa menjaring aspirasi sesuai aturan perundang-undangan yang berlaku,” tuturnya.

Menurut Boma, seperti terjadi dalam kunjungan ketua Komisi II DPR RI Ahmad Doli Kurnia Tanjung di kabupaten Jayawijaya dan Nabire, yang dilakukan bertujuan untuk menjaring aspirasi terkait pembentukan DOB.

Baca Juga:  Akomodir Aspirasi OAP Melalui John NR Gobai, Jokowi Revisi PP 96/2021

“Tetapi dalam pertemuannya hanya dengan para elit politik birokrat saja. Masyarakat sama sekali tidak dilibatkan.”

Masyarakat sebagai subjek dari pembangunan yang ingin diwujudkan berjalan lancar demi memajukan kesejahteraan masyarakat di segala bidang kehidupan, kata Bernardo, seharusnya dilibatkan.

“Kenyataannya tidak. Hanya melibatkan para elit politisi dan kaum profesi yang bukan representasi rakyat Papua. Ini saya sangat sesalkan karena justru masyarakat yang kita tahu adalah sebagai subjek utama pembangunan, aspirasi mereka diabaikan, tidak didengar,” ujarnya.

Ia pun mempertanyakan, lalu pemekaran DOB hendak diberikan untuk dan atas kepentingan apa dan ke siapa?. Menurutnya, sebab pembentukan DOB di Papua sendiri sudah sangat menyalahi prosedural kriteria DOB sesuai Undang-Undang nomor 23 tahun 2014 Pasal 32-33. Sebaliknya yang diberlakukan yakni Peraturan Pemerintah nomor 106 tahun 2021 terutama Pasal 93 Ayat 4 yang menyatakan menyangkut dengan pemekaran DOB di Papua seutuhnya diatur oleh pemerintah pusat tanpa harus melihat kriteria DOB.

Karena itu, pemerintah pusat diingatkan untuk tidak boleh mengambil kebijakan pemekaran DOB di Tanah Papua.

Baca Juga:  Sidang Dugaan Korupsi Gereja Kingmi Mile 32 Timika Berlanjut, Nasib EO?

“Jumlah penduduk di Papua sekarang minim sekali yang juga tidak sesuai atau bertentangan dengan kriteria DOB dalam Undang-Undang nomor 23 tahun 2014 dan Peraturan Pemerintah nomor 78 tahun 2007. Jika tetap dipaksakan, pemekaran itu untuk kepentingan apa dan mau dikasih ke siapa? Karena seluruh rakyat Papua sudah tolak,” ujarnya tegas.

Jika memakai alasan pemekaran dilakukan untuk menyerap pengangguran, ia menilai itu tidak masuk diakal. Karena nyatanya pemerintahan di Papua, mayoritas jabatan birokrasi, ASN dan honorer, imbuh Bernardo, diisi non orang Papua.

“Sekarang ini salah siapa, pemerintah pusat atau gubernur, para bupati dan walikota? Saya harap, para pemimpin birokrasi Papua harus berpikir baik dalam menyetujui pemekaran. Karena untuk soal jaring aspirasi tidak bisa patokannya dipakai dari hanya segelintir orang,” tandasnya.

Bernardo berharap, para pemimpin birokrasi Papua sebaiknya fokus kerja sesuai tugas dan tanggung jawab yang sudah dibebankan.

“Belum tentu setelah pemekaran, akan menjawab semua persoalan yang masih menumpuk.”

Terhadap pemekaran yang sedang menuai pro dan kontra, ia menawarkan pemerintah bagaimana jika gelar referendum.

Baca Juga:  Vince Tebay, Perempuan Mee Pertama Raih Gelar Profesor

“Supaya mana yang suara terbanyak, hasilnya dapat diterima semua pihak,” imbuhnya.

Apa yang disampaikan tidak didengar dan tetap memaksakan apa yang pemerintah mau dengan kucuran dana besar, menurut Bernardo, bukanlah solusi.

“Solusi dalam hal ini untuk menyelesaikan empat akar persoalan yang dikemukakan oleh LIPI, yaitu kegagalan pembangunan, marjinalisasi dan diskriminasi orang asli Papua, kekerasan negara dan tuduhan pelanggaran HAM, serta sejarah dan status politik wilayah Papua. Pemerintah pusat harus membuka ruang dialog Papua – Jakarta untuk menyelesaikan empat akar masalah ini agar kedepannya pembangunan dilakukan tanpa ada masalah antara Jakarta dan Papua,” ujar Bernardo.

Sebelumnya, Laurenzus Kadepa, anggota DPRP mengaku geram melihat sikap para kepala daerah yang terlihat sibuk urus pemekaran DOB.

“Saya geram dengan sikap dari beberapa kepala daerah atau bupati di Papua, yang bicaranya seakan tidak ada atasannya dan mengabaikan aspirasi rakyatnya,” kata Kadepa, Selasa (8/3/2022).

Pewarta: Stevanus Yogi

Terkini

Populer Minggu Ini:

Orang Mee dan Moni Saudara, Segera Hentikan Pertikaian!

0
“Kami tegaskan, jangan terjadi permusuhan sampai konflik diantara orang Mee dan Moni. Semua masyarakat harus tenang. Jangan saling dendam. Mee dan Moni satu keluarga. Saudara dekat. Cukup, jangan lanjutkan kasus seperti ini di Nabire, dan di daerah lain pun tidak usah respons secara berlebihan. Kita segera damaikan. Kasus seperti ini jangan terulang lagi,” ujarnya.

Fortnightly updates in English about Papua and West Papua from the editors and friends of the banned 'Suara Papua' newspaper.