Berita10 Seruan Dewan Gereja Papua, Hentikan Kasus Haris – Fatiah Maulidiyanti dan...

10 Seruan Dewan Gereja Papua, Hentikan Kasus Haris – Fatiah Maulidiyanti dan HAM di TP

Salib yang kami pikul masih berbeban berat, jalan yang kami lalui masih tertatih-tatih, penuh duri di tubuh kami. Karena itu kami tetap membutuhkan solidaritas dan dukungan seluas-luasnya.

JAYAPURA, SUARAPAPUA.com— Melihat peliknya situasi Papua yang menjadi situs kekerasan negara dan demi menyelamatkan umat Tuhan di tanah Papua, ditengah masa pra Paskah, menjelang perayaan kisah sengsara, penyaliban dan kebangkitan Yesus Kristus, Dewan Gereja Papua menyampaikan sepuluh poin keprihatinan dan seruan gereja.

Termasuk, kekecewaan dan kemarahan Dewan Gereja Papua karena pemerintah Indonesia tidak jujur menyampaikan kondisi sebenarnya yang terjadi di tanah Papua menjawab pertanyaan Pelapor Khusus PBB untuk HAM di tanah Papua.

“Kami mengutuk sikap pemerintah Indonesia melalui Kementrian Luar Negeri yang terus-menerus menyangkal fakta adanya pembunuhan kilat, penyiksaan, pengungsian dan penghilangan yang dilakukan TNI dan Polri terhadap umat Tuhan di tanah Papua. Khususnya fakta terakhir terlihat dalam situasi umat Tuhan di 6 wilayah konflik, Kabupaten Nduga, Puncak Papua, Intan Jaya, Maybrat, Yahukimo dan Pegunungan Bintang,” tukas Pdt. Benny Giyai, Moderator Dewan Gereja Papua di Sentani, Senin (21/3/2022).

Berikut 10 poin seruan Dewan Gereja Papua menyikapi situasi HAMdi Tanah Papua;

  1. Kami mengapresiasi surat permintaan klarifikasi kepada Pemerintah Indonesia yang disampaikan oleh para Pelapor Khusus PBB untuk Hak Asasi Manusia dalam Bidang, Penghilangan Paksa, Penyiksaan dan Pengungsian. Demikian juga surat pernyataan terbuka Dewan HAM PBB pada Februari 2022, sehubungan dengan penyiksaan kepada 7 orang anak di Kabupaten Puncak Papua. Sebagai tindaklanjutnya, kami mendesak Komisioner Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia berkunjung ke tanah Papua, guna melakukan investigasi secara langsung dan menyeluruh atas situasi Hak Asasi Manusia di tanah Papua.
  2. Berangkat dari pengalaman sejarah hidup bersama Indonesia selama 59 tahun (1 Mei 1963), kami menyampaikan kekecewaan, kesedihan, kemarahan kami atas sikap pemerintah Indonesia yang tidak jujur dan objektif dalam menjawab pertanyaan dari para Pelapor Khusus PBB untuk Hak Asasi Manusia, tentang situasi HAM di tanah Papua. Kami mengutuk sikap pemerintah Indonesia melalui Kementrian Luar Negeri yang terus-menerus menyangkal fakta adanya pembunuhan kilat, penyiksaan, pengungsian dan penghilangan yang dilakukan TNI dan Polri terhadap umat Tuhan di tanah Papua, khususnya fakta terakhir terlihat dalam situasi umat Tuhan di 6 wilayah konflik, Kabupaten Nduga, Puncak Papua, Intan Jaya, Maybrat, Yahukimo dan Pegunungan Bintang.
  3. Kami menyampaikan keprihatinan yang mendalam dan turut berduka cita kepada keluarga 7 orang anak korban penyiksaan (1 orang meninggal dunia), yang dilakukan oleh anggota TNI di Kabupaten Puncak Papua. Turut berduka cita kepada keluarga dari 2 orang yang meninggal ditembak aparat dalam aksi demonstrasi damai di Dekai, Kabupaten Yahukimo. Kami juga menyampaikan turut berduka cita yang mendalam kepada keluarga 8 orang korban tewas yang diduga dilakukan oleh Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB).
  4. Kami mengikuti bahwa akhir-akhir ini ada upaya negara untuk mengambil langkah-langkah resolusi konflik di tanah Papua dengan mendorong proses pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR), Pengajuan berkas kasus Paniai Berdarah 2014 ke Kejaksaan Agung, dan pernyataan kesediaan untuk berdialog dengan TPNPB yang sedang diupayakan oleh Komnas HAM Republik Indonesia. Wacana dialog harus mendapat dukungan dari masyarakat sipil, apabila tidak, proyek dialog dari Komnas HAM RI dinilai sebagai cara untuk mengalihkan opini publik dari sorotan dunia internasional terhadap Pemerintah Indonesia terkait pelanggaran HAM di Papua. Dan kami juga menilai langkah-langkah Komnas HAM ini ditempuh dalam rangka politik pencitraan negara Indonesia.
  5. Wacana Komnas HAM tentang dialog antara OPM dan Pemerintah; menurut kami harus diawali dengan langkah-langkah berikut: (a). penarikan aparat militer dari tanah Papua, termasuk menghentikan penambahan pasukan yang terus-menerus didatangkan, dan program petinggi TNI untuk membangun Kodim-Kodim baru. (b). Mendesak pemerintah untuk mengembalikan pengungsi lokal yang berjumlah lebih dari 60.000 orang ke kampung halaman mereka masing- masing. (c). Menghentikan proses hukum terhadap Haris Azhar dan Fatia Maulidiyanti dan menghentikan kriminalisasi terhadap pegiat HAM lainnya di Indonesia yang bersolidaritas dengan memperjuangkan HAM di tanah Papua.
  1. Kami meminta Presiden RI, Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan, Menteri Dalam Negeri, Badan Intelijen Negara dan Komisi II DPR RI untuk menghentikan semua manuver rencana politik pemekaran 4 Provinsi Baru di tanah Papua tanpa aspirasi rakyat Papua.
  2. Kami meminta supaya gubernur, para bupati dan walikota se-tanah Papua dan berbagai kelompok kepentingan seperti pihak universitas dan akademisi di Indonesia dan di Papua, tokoh masyarakat Papua, tokoh pemuda Papua, tokoh perempuan, dan juga LSM yang menjalankan kepentingan agenda politik Jakarta untuk segera menghentikan semua manuver dan upaya pemekaran provinsi di tanah Papua.
  3. Kami juga meminta kepada para Kapolda dan Pangdam untuk menghentikan segala tindakan represif kepada rakyat yang menyampaikan aspirasi penolakan Otonomi Khusus dan pemekaran provinsi baru, seperti yang terjadi selama 2021. Sekali lagi kami menyaksikan tindakan aparat TNI dan Polri yang sewenang-wenang dalam menghadapi warga sipil yang melakukan demonstrasi damai menolak pemekaran propinsi baru di Dekai, Yahukimo pada 15 Maret 2022. Tindakan represif tersebut mengakibatkan 2 orang mati tertembak, 8 orang mengalami luka tembak; 3 orang kritis, dan 5 orang rawat jalan, 2 orang ditahan di Polres Yahukimo.
  4. Untuk menyelesaikan konflik berkepanjangan di tanah Papua, kami tetap konsisten mendesak dilakukannya Dialog antara Pemerintah Indonesia dengan ULMWP (United Liberation Movement for West Papua), seperti yang telah dilakukan pemerintah Indonesia dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dalam penyelesaian konflik Aceh.
  5. Kami menyampaikan terima kasih kepada semua umat dan pemimpin gereja, politisi, adat, akademisi, media massa di Indonesia, Melanesia, Asia, Pasifik, Australia, Aotearoa-Selandia Baru, Uni Afrika, Karibia, Uni Eropa, Amerika Serikat yang telah menjadi Simon dari Kirene, berjalan bersama kami memikul salib Bangsa Papua. Salib yang kami pikul masih berbeban berat jalan yang kami lalui masih tertatih-tatih, penuh duri di tubuh kami, karena itu kami tetap membutuhkan solidaritas dan dukungan seluas-luasnya.
Baca Juga:  KPU Papua Terpaksa Ambil Alih Pleno Tingkat Kota Jayapura

 

Pewarta: Elisa Sekenyap

Terkini

Populer Minggu Ini:

Parpol Harus Terbuka Tahapan Penjaringan Bakal Calon Bupati Tambrauw

0
SORONG, SUARAPAPUA.com --- Forum Komunikasi Lintas Suku Asli Tambrauw mengingatkan pengurus partai politik di kabupaten Tambrauw, Papua Barat Daya, untuk transparan dalam tahapan pendaftaran...

Fortnightly updates in English about Papua and West Papua from the editors and friends of the banned 'Suara Papua' newspaper.