Berita128 Tahun Lalu Pastor Le Cocq Merintis Karya Misi Katolik di Tanah...

128 Tahun Lalu Pastor Le Cocq Merintis Karya Misi Katolik di Tanah Papua

WAKEITEI, SUARAPAPUA.com — Tanggal 22 Mei 2022 genap 128 tahun Gereja Katolik membumi di Tanah Papua. Ini terhitung sejak misionaris pionir Pastor Cornelis Yohan Le Cocq d’Armandville, SJ, pertama kali mendarat di Sekru, Fakfak, 22 Mei 1894.

Hal itu mengemuka saat bedah buku “Bergerak Menjadi Papua” karya Pastor Alfonsus Biru Kira, Pr, Sabtu (21/5/2022) di aula Paroki Kristus Kebangkitan Kita (K3) Damabagata, Tigi Timur, Deiyai.

Kegiatan ilmiah ini diadakan kampus Sekolah Tinggi Katolik (STK) ‘Touye Paapaa’ Deiyai, dalam rangka memperingati 128 tahun karya misi Gereja Katolik di Tanah Papua.

Pastor Alfonsus dan Titus Pekei tampil sebagai pembicara pada acara bedah buku yang dihadiri para mahasiswa, dosen, umat dan sejumlah undangan lainnya.

Titus Pekei, dosen sekaligus ketua Lembaga Penjaminan Mutu (LPM) STK ‘Touye Paapaa’, mengapresiasi buku karya Pastor Biru Kira yang isinya antara lain mengangkat secara khusus empat misionaris Katolik: P. Cornelis Yohan Le Cocq d’Armandville, SJ, Mgr. Adam Charles Claessens, SJ, P. Herman Henry Anthon Maria Tillemans, MSC, dan P. Misael Kammerer, OFM. Juga mengulas dua tokoh Papua, Auki Tekege dan Moses Kilangin.

Titus mengakui semangat misionaris yang pantang menyerah dalam karya luhur mewartakan Firman Allah hingga ke Tanah Papua sejak tahun 1894 seiring hadirnya Pastor Le Cocq di Sekru, Fakfak.

“Karya misionaris baik Pastor, Bruder dan Suster dari Eropa hadir dengan multi talenta. Tercatat dalam sejarah bahwa Pastor Le Cocq d’Armandville adalah imam pertama yang tiba di Tanah Papua pada tanggal 22 Mei 1894. Pastor Le Cocq dari ordo Serikat Yesus (SJ), kemudian ordo Misionaris Hati Kudus Yesus (MSC) di Merauke (1905), Ordo Fratrum Minorum (OFM) di Jayapura (1937), Ordo Santo Agustinus (OSA) di Manokwari-Sorong (1954), dan Ordo Salib Suci (OSC) di Agats (1954),” tuturnya.

Baca Juga:  Seruan dan Himbauan ULMWP, Markus Haluk: Tidak Benar!

Sedangkan imam Projo (Pr) asli Papua, berturut-turut P. Januarius Warpopor, P. Theodorus Makai, P. Jacobus Mote, P. Natalis Gobai dan seterusnya hingga tahun 2014 Pastor Johanes Philipus Saklil, Pr ditahbiskan sebagai uskup pertama Keuskupan Timika.

“Misionaris membawa misi pewartaan Sabda Allah, juga ikut membangun pendidikan dan kesehatan masyarakat setempat. Mereka dari awal lakukan itu semua,” kata Titus Pekei.

Dari catatan sejarah, Pastor Le Cocq merupakan misionaris pertama dan Mgr. Claessens sebagai Vikaris Apostolik Batavia yang berinisiatif memperluas misi hingga ke wilayah timur sampai ke Papua. Ia diutus pimpinan Serikat Yesuit untuk memikirkan kemungkinan membuka misi di wilayah Irian Barat.

Pastor Tillemans berkarya di Paniai, kemudian 25 Juni 1950 ditugaskan ke wilayah selatan sebagai Vikaris Apostolik Merauke dan akhirnya menjadi Uskup Agung Merauke pada 15 November 1966 dan berkarya hingga 26 Juni 1972.

Pastor Kammerer juga berkarya Paniai dan menjadi pionir di Bilogai dan sekitarnya, kini wilayah kabupaten Intan Jaya.

Saat bedah buku “Bergerak Menjadi Papua” karya Pastor Alfonsus Biru Kira, Pr, di aula Paroki Kristus Kebangkitan Kita (K3) Damabagata, Tigi Timur, Deiyai, Sabtu (21/5/2022) lalu. (Markus You – SP)

Titus juga mengisahkan karya besar Pastor Le Cocq, termasuk riwayat hidupnya, sebagaimana diulas dalam makalah berjudul “Pastor Cornelis Le Cocq d’Armandville: Tantangan dalam karya misi Katolik pertama di Tanah Nieuw Guinea (Kini Tanah Papua) antara 22 Mei 1894 – 27 Mei 1896”.

“Pastor Cornelis Le Cocq d’Armandville adalah misionaris yang pertama tiba di Tanah Papua pada tanggal 22 Mei 1894. Dari situlah sejarah Gereja Katolik di Tanah Papua berawal, dan sekarang genap 128 tahun,” kata Titus Pekei, penggagas Noken Papua di UNESCO.

Cornelis Le Cocq d’Armandville, lahir di kota Delft, Belanda, 29 Maret 1846. Setelah melewati masa kecil dan remaja hingga menyelesaikan pendidikan dan ditahbiskan sebagai imam di Belanda, 8 Desember 1876.

Baca Juga:  Desak Pelaku Diadili, PMKRI Sorong Minta Panglima TNI Copot Pangdam Cenderawasih

Menumpang kapal Torrington, Pastor Le Cocq d’Armandville bersama Pastor Kolfschoten menuju ke Hindia Belanda (Indonesia). 1 Februari 1879 tiba di Batavia, kini Jakarta. Selanjutnya ditugaskan sebagai pastor pembantu di Semarang, Jawa Tengah.

April 1881 dikirim ke Maumere, Nusa Tenggara Timur (NTT). Tiga tahun kemudian, tahun 1884, ia dipindahkan ke Sikka, NTT, dan berkarya selama tujuh tahun.

Tanggal 17 Juni 1891, Pastor Le Cocq menerima surat tugas lagi dari atasannya untuk melayani umat di pulau Seram. Ia tiba di Seram 1 Januari 1892.

Dari Seram dengan menumpang kapal asap, Pastor Le Cocq di usia 48 tahun tiba di Sekru tanggal 22 Mei 1894. Sekru terletak di bagian barat Fakfak.

Hari pertama di Sekru ia baptis 8 anak menjadi umat Katolik. Selama sembilan hari berkarya, ia terus menjalin komunikasi dengan masyarakat setempat hingga membaptis 65 orang.

Berkat kedekatan dengan masyarakat setempat, Pastor Le Cocq diberi tanah cukup luas untuk kepentingan gereja, pastoran dan sekolah. Dari sana pula ia sering melayani umat di Bomfia dan Seram.

Kemudian bergerak ke Kapaur yang dihuni banyak penduduk dibandingkan Sekru. Dirikan pastoran berukuran 150 meter, Pastor Le Cocq memulai karya pelayanan dan berhasil baptis 85 anak di stasi Kapaur.

Nasib naas menimpanya saat perjalanan ke arah timur dalam rangka penyebaran Injil, 27 Mei 1896. Pastor Le Cocq meninggal ditelan ganasnya gelombang air lautan selatan Papua.

Titus Pekei yang juga penulis buku ‘Cermin Noken Papua’ itu menggarisbawahi sikap hidup, keberanian untuk melintasi benua, sikap hidup dan kerelaan menerima hal-hal yang hidup dalam masyarakat yang ditunjukkan para misionaris, sekaligus hendak menempatkan martabat hidup masyarakat yang dikunjungi dan dilayaninya.

Baca Juga:  Sikap Mahasiswa Papua Terhadap Kasus Penyiksaan dan Berbagai Kasus Kekerasaan Aparat Keamanan

“Hasilnya, sampai saat ini iman umat Katolik bertumbuh dengan baik hingga orang Papua merasa berhak hidup untuk saling menghormati martabatnya di atas tanah leluhurnya.”

Titus optimis bila penghargaan terhadap martabat hidup manusia terus dirayakan sebagai satu anugerah ilahi, maka tidak ada lagi tetesan darah dan air mata yang membasahi muka bumi Papua.

Ketua bersama staf dosen dan para mahasiswa Sekolah Tinggi Katolik (STK) ‘Touye Paapaa’ Deiyai foto bareng usai acara bedah buku “Bergerak Menjadi Papua” karya Pastor Alfonsus Biru Kira, Pr, di aula Paroki Kristus Kebangkitan Kita (K3) Damabagata, Tigi Timur, Deiyai, Sabtu (21/5/2022) lalu. (Markus You – SP)

Membedah isi buku karya Pastor Biru Kira, Titus sempat menyinggung peran Weyakebo Mote setelah jumpa Pastor Tillemans di Modio. Weyakebo Mote atau Itani Mote mengundang segenap kerabat Mote dari empat klan yakni Giyaikoto, Bidau, Umagopa, dan Adagopa, bercerita tentang kisah leluhur mereka, Woniwode Mote.

“Buahnya adalah Pastor Jack Mote, Pr dari klan Giyaikoto dan Pastor Yulianus Mote, Pr dari klan Bidau. Mereka dua pembuka jalan bagi Mote karena menerima Injil dan ini catatan bagi Gereja Katolik Papua,” imbuh Titus.

Sebelumnya, Sabtu 22 Mei 2021, STK ‘Touye Paapaa’ mengadakan seminar sehari menyibak sejarah Gereja Katolik di Tanah Papua bertepatan dengan peringatan 127 tahun Pastor Le Cocq memulai karya pewartaan dari Sekru hingga Mimika. Hubertus Takimai dan Titus Pekei sebagai pemateri, mencoba menggali sejarah mula-mula para misionaris Katolik menjangkau Tanah Papua.

Pada 21-22 Maret 2022, perwakilan umat Katolik dari lima keuskupan di Tanah Papua —Keuskupan Agung Merauke, Keuskupan Jayapura, Keuskupan Manokwari-Sorong, Keuskupan Agats, dan Keuskupan Timika— berkumpul di Kota Jayapura bahas sejarah masuknya Gereja Katolik. Sebuah semiloka bertajuk “Sejarah Masuknya Gereja Katolik di Papua” diadakan di aula Paroki Kristus Terang Dunia, Waena, Keuskupan Jayapura.

Pewarta: Markus You

Terkini

Populer Minggu Ini:

20 Tahun Menanti, Suku Moi Siap Rebut Kursi Wali Kota Sorong

0
"Kami ingin membangun kota Sorong dalam bingkai semangat kebersamaan, sebab daerah ini multietnik dan agama. Kini saatnya kami suku Moi bertarung dalam proses pemilihan wali kota Sorong," ujar Silas Ongge Kalami.

Fortnightly updates in English about Papua and West Papua from the editors and friends of the banned 'Suara Papua' newspaper.