Rilis PersDAW Meepago Pertanyakan Urgensi DOB, Paguyuban Non OAP di Papua Wajib Netral

DAW Meepago Pertanyakan Urgensi DOB, Paguyuban Non OAP di Papua Wajib Netral

Siaran Pers Dewan Adat Wilayah VII Meepago

JAYAPURA, SUARAPAPUA.com — Dewan Adat Wilayah VII Meepago mempertanyakan deklarasi provinsi Papua Tengah oleh bupati Mimika Eltinus Omaleng pada Rabu (15/6/2022), karena aspirasi pemekaran daerah otonom baru (DOB) Papua Tengah tidak muncul di tengah masyarakat di wilayah Meepago.

Pernyataan ini disampaikan Marko Pekei selaku ketua Dewan Adat Wilayah Meepago dalam siaran pers yang diterbitkan pada hari Sabtu, 18 Juni 2022.

“Tidak ada fakta di lapangan yang menunjukkan adanya aspirasi yang muncul di tengah masyarakat yang meminta atau menyampaikan kepada DPRD atau DPRP tentang pemekaran kabupaten ataupun provinsi di wilayah Meepago. Sama halnya kepada MRP ketika menjaring pendapat di wilayah Meepago, tidak pernah ada penyampaian oleh masyarakat untuk mengusulkan atau meminta pemekaran. Karena itulah kami mempertanyakan deklarasi Papua Tengah itu. Apa tolok ukurnya, selain aspirasi rakyat berdasarkan kedaulatan yang dimiliki dalam hidup berbangsa dan bernegara,” tutur Marko Pekei.

Dalam siaran pers yang dikirim ke redaksi Suara Papua, dia akui bahwa kenyataan selama ini mayoritas masyarakat menolak adanya pemekaran DOB.

“Jika kita ingin berbicara jujur berdasarkan fakta di lapangan, maka justru mayoritas masyarakat menolak daerah otonom baru. Faktanya kita lihat dari berbagai demonstrasi di beberapa kabupaten yang menolak DOB. Selain itu, disampaikan juga melalui pernyataan-pernyataan kepada publik oleh beberapa kalangan masyarakat,” ujarnya.

Sikap tolak dari mayoritas masyarakat menolak pembentukan DOB, kata Pekei, tentu dengan berbagai alasan dan salah satunya adalah tidak adanya partisipasi masyarakat dalam proses pembangunan di daerah.

“Semestinya kita bertanya, mengapa mayoritas masyarakat menolak DOB? Atau pertanyaan lainnya, mengapa setiap kali muncul ide pemekaran, masyarakat menolak? Apa alasannya sehingga menolak? Salah satu alasan adalah selama ini para elit politik mengabaikan partisipasi rakyat. Rakyat tidak pernah dimintai pendapatnya, padahal rakyat selaku subyek pembangunan semestinya dibuka ruang jajak pendapat agar masyarakat bisa menyampaikan pendapat. Tetapi hal itu tidak pernah terjadi selama ini di wilayah Meepago dan bahkan di seluruh Papua,” tuturnya.

Baca Juga:  Kemenparekraf Ajak Seluruh Pelaku Usaha Kreatif di Indonesia Ikut AKI 2024

Pekei kemudian mempertanyakan lagi, “Kapan dan dimana para elit politik tanya kepada masyarakat? Jika disediakan ruang jajak pendapat untuk jaring aspirasi, maka para elit politik bisa tanya kepada masyarakat bahwa kami mau mengusulkan pemekaran kepada pemerintah pusat, jadi apakah kamu mau pemekaran atau tidak? Apabila ruang ini ada dan mayoritas masyarakat mau dan menyetujuinya, maka tentu tidak menjadi masalah untuk pemekaran sebuah wilayah. Sebab pemekaran daerah pun tujuannya untuk pembangunan daerah yang tentunya masyarakat sebagai subyek pembangunan.”

Persoalannya, kata dia, para elit mengambil jarak dengan masyarakat dan tidak pernah membuka ruang jajak pendapat.

“Keinginan pemekaran muncul di kalangan elit, prinsip kesetaraan antara para elit politik dan masyarakat untuk dibicarakan bersama diabaikan. Akibatnya, prinsip representasi yang wajib diperhatikan pun dipertanyakan. Hal itu karena rakyat dianggap tidak perlu dimintai pendapat, padahal dalam hidup berbangsa di negara demokrasi, kedaulatan rakyat harus dijunjung dan diutamakan dalam berbagai kebijakan pemerintah.”

Ketua DAW Meepago menegaskan, “Jangan rakyat dijadikan ibarat ‘sapi perah’ yang bisa digiring kemana saja oleh tuannya, para elit. Justru cara berpikir inilah yang hendaknya diperbaiki, sebab keinginan dan aspirasi DOB semestinya muncul dari bawah (rakyat), bukan dari atas (elit). Lantaran itu apa yang terjadi adalah penolakan dari bawah (rakyat).”

Baca Juga:  PTFI Bina Pengusaha Muda Papua Melalui Papuan Bridge Program

Dengan fakta adanya penolakan rakyat, para elit politik tidak bisa memaksa rakyat atas dasar pemikiran “rakyat tinggal ikut”.

“Ini cara berpikir yang tidak dapat dibenarkan dan diterima dalam sebuah negara demokrasi, sebab kedaulatan ada di tangan rakyat, bukan ada di tangan para elit politik. Berasaskan kedaulatan rakyat, semestinya kaum elit memperbanyak ruang jaring aspirasi agar tidak selalu menjadi potensi konflik antara masyarakat dan para elit di Papua,” ujarnya.

Menyikapi kondisi pro kontra atas DOB di wilayah Meepago dan bahkan seluruh Papua, maka setelah Dewan Adat Wilayah Meepago berkoordinasi dengan Dewan Adat Daerah menyampaikan beberapa hal sebagai berikut:

Pertama: Para elit politik di Papua dan khususnya di wilayah Meepago menghentikan upaya mendorong dan menerapkan DOB, karena telah muncul konflik di tengah masyarakat dan ke depan pun DOB berpotensi terjadinya konflik kekerasan baik di kalangan masyarakat sipil maupun di kalangan bersenjata.

Kedua: Pemerintah daerah di wilayah Meepago sebaiknya fokus pada tugas pokok untuk pembangunan demi kemajuan daerah dan kesejahteraan rakyat, sebab DOB pun tujuannya sama.

Ketiga: Apabila saudara Eltinus Omaleng ingin menjadi gubernur, maka sebaiknya mencalonkan diri sebagai calon gubernur di provinsi Papua agar bisa ikut serta dalam Pilkada Pemilu Serentak 2024. Karena itu, jangan lagi membuat sensasi politik di pentas publik untuk kepentingan pribadi demi merebut kekuasaan provinsi.

Baca Juga:  TETAP BERLAWAN: Catatan Akhir Tahun Yayasan Pusaka Bentala Rakyat 2023

Dewan Adat juga mengingatkan kepada seluruh paguyuban non OAP yang ada di Tanah Papua agar harus bersikap netral dalam menyikapi dukungan dan lain-lain. Memang pembangunan sangat dibutuhkan oleh semua komponen masyarakat dan itu merupakan kewajiban pemerintah untuk membangun seluruh wilayah termasuk Papua.

Dengan tujuan pembangunan itulah pemerintah menerapkan Undang-undang nomor 21 tahun 2001 tentang otonomi khusus bagi provinsi Papua, yang berlaku bagi dua provinsi setelah pemekaran yaitu provinsi Papua dan Papua Barat. Setelah diberlakukan selama 21 tahun, kini menjadi masalah tersendiri dalam proses perubahannya.

Menyimak adanya dukungan terhadap keinginan pemekaran DOB, Dewan Adat Wilayah VII Meepago menyampaikan bahwa:

Pertama: Masyarakat di Papua yang wajib menyampaikan pendapat atas pemekaran daerah adalah masyarakat asli Papua yang notabene orang setempat yang memiliki kedaulatan atas tanahnya, bukan masyarakat non orang asli Papua.

Kedua: Masyarakat Papua non asli Papua tidak berhak menentukan kebijakan publik di provinsi Papua dan bahkan di Tanah Papua, maka masyarakat Papua non asli Papua stop bersuara mendukung DOB apalagi melakukan aksi-aksi yang sudah ditunjukkan kepada publik pada beberapa hari terakhir sebagai aksi ketidaksadaran.

Ketiga: Paguyuban masyarakat Papua non orang asli Papua yang telah menyatakan sikap mendukung DOB agar segera mencabut pernyataan yang sudah disampaikan kepada publik dan menyampaikan permohonan maaf kepada publik sebelum masyarakat non OAP yang lain menjadi korban, sebab Papua masih berstatus daerah konflik dan di beberapa tempat masih terjadi konflik kekerasan bersenjata. (*)

 

REDAKSI

Terkini

Populer Minggu Ini:

Partai-Partai Oposisi Kepulauan Solomon Berlomba Bergabung Membentuk Pemerintahan

0
"Kelompok kami menanggapi tangisan dan keinginan rakyat kami untuk merebut kembali Kepulauan Solomon dan mengembalikan kepercayaan pada kepemimpinan dan pemerintahan negara kami," kata koalisi tersebut dalam sebuah pernyataan.

Fortnightly updates in English about Papua and West Papua from the editors and friends of the banned 'Suara Papua' newspaper.