ArtikelKarya Besar Mantan Presiden Gus Dur bagi Masyarakat Papua

Karya Besar Mantan Presiden Gus Dur bagi Masyarakat Papua

Oleh: Titus Pekei)*
)* Akademisi, Peneliti, Penulis buku “Gus Dur Guru & Masa Depan Papua”

Dari berbagai fakta dapat disimpulkan bahwa Gus Dur adalah Guru Bangsa. Tokoh pluralis, humanis dan kharismatik yang selama masa kepemimpinannya telah memberikan kenangan abadi bagi masyarakat Papua. Karena itulah saya pernah menerbitkan sebuah buku berjudul “Gus Dur Guru & Masa Depan Papua”.

Guru Bangsa dari Indonesia untuk dunia itu meninggal dunia dengan tenang pada tanggal 30 Desember 2009. Gus Dur menghembuskan napas terakhir di RSCM Jakarta Pusat.

Berita kepergian Kyai Haji Abdurrahman Wahid alias Gus Dur saya dengar pada saat menyampaikan materi tentang masyarakat adat Papua dalam seminar Natal dan Tahun Baru yang diadakan oleh Ikatan Pelajar Mahasiswa Papua di Surabaya, Jawa Timur. Saya terkejut mendengar berita duka.

Sejak awal tahun 2010, saya mulai terpanggil menyusun buku kenang-kenangan dari masyarakat adat Papua. Sebagai bentuk penghargaan dan ucapan terima kasih kepada mantan Presiden Republik Indonesia yang ke-IV yang memahami sesama manusia lain semasa menjabat dan tidak menjabat presiden pun menghargai orang Papua hingga Guru Bangsa meninggal dunia.

Masyarakat adat dari tujuh wilayah adat Papua mengenang orang yang memahami sesama lain yang terpinggirkan oleh rezim pemerintahan pada masa lalu, ketika pria asal Jombang Jawa Timur kelahiran 7 September 1940 itu terpilih menjadi Presiden Republik Indonesia ke-IV menjadikan bagian dari pada dirinya tanpa memandang dan membedakan asal-usulnya.

Gus Dur bapak bangsa yang berperan utama pada masa kepemimpinan selalu menghargai keragaman latar-belakang manusia Indonesia, termasuk manusia Papua pun dihargainya.

Selama puluhan tahun masyarakat Papua merasakan terpinggir sejak adanya Trikora oleh presiden Soekarno tepat tanggal 19 Desember 1961 di Alun-alun Yogyakarta.

Trikora menjadi jalan meniadakan Negara Papua Merdeka dan memaksa Papua menjadi bagian dari Indonesia dengan tekadnya mengorbankan kemerdekaan masyarakat Papua yang disiapkan Belanda Nieuw Guinea pada 1 Desember 1961.

Setelah 19 hari kemudian, Soekarno kumandangkan Trikora dengan menyebut Irian Barat negara buatan Belanda, pada tahun 1967 kapitalisasi sumber daya alam Papua hingga PEPERA tahun 1969 menjadi jalan merobek demokrasi wadah atau tempat noken kehidupan masyarakat adat West Papua.

Noken terdaftar di lembaga kebudayaan dunia UNESCO pada 4 Desember 2012 sebagai warisan budaya takbenda berarti pengakuan identitas jati diri manusia Papua.

Keberpihakan Gus Dur sangat jelas dan terbukti. Presiden Republik Indonesia ketujuh Joko Widodo melalui Menko Polhukam Mahfud MD menyampaikan bahwa Undang-Undang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua terus berlaku, dan masih belum berakhir dan salah kalau orang katakan berakhir.

Masyarakat Papua menilai bahasa seperti itu paksakan sesuatu menurut kehendak sepihak tanpa memahami masyarakatnya, apa keinginannya.

Setelah Otonomi Khusus Papua menjadi almarhum karena sudah mati pada masa pemerintahan Megawati Soekarnoputri pengganti Presiden Gus Dur yang adalah aktor yang tetapkan dan gagalkan ‘Otonomi Khusus Papua’ dengan pemekaran provinsi Irian Jaya Barat. Diteruskan Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono menjadi provinsi Papua Barat (seperti kini), dan melakukan pemekaran DOB (Daerah Otonom Baru) secara besar-besaran dalam kamar Otonomi Khusus Papua.

Gencar pula pembukaan badan usaha dan kegiatan di Merauke, yang secara brutal badan usaha membumihanguskan ratusan ribu hektar hutan hujan tropis Papua. Tanpa menghargai untuk melindungi hutan tropis Papua, tidak mengindahkan pemberlakuan Otsus Papua sampai 21 November 2021.

Ironisnya, pemerintah Indonesia tidak pernah memperhatikan untuk melaksanakan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua. Ini identik dengan pembunuhan secara sadar karena ditetapkan oleh pemerintah Indonesia, tetapi digagalkan oleh pemerintah Indonesia juga.

Presiden Republik Indonesia ke-VII pun berasal dari masyarakat sipil seperti Gus Dur, tetapi justru pendekatan kebijakan persis infiltrasi dari masa orde lama, orde baru dan masa transisi tanpa memahami dan mengenal keberpihakan Presiden Gus Dur terhadap rakyatnya.

Presiden Jokowi meneruskan kejahatan pelanggaran HAM (Hak Asasi Manusia) terhadap masyarakat sipil dengan mengedepankan militer dan proyek bantuan uang secara merata di Tanah Papua.

Proyek pembangunan jalan dan jembatan di pedalaman pun tidak ketahui masyarakat Papua membutuhkan jalan atau sebaliknya tidak seperti proyek itu. Anehnya, ciptakan menjadi lahan militer baru yang berpusat di pedalaman ala presiden Jokowi di Papua.

Presiden ke-VII secara sadar hidupkan lahan pelanggaran HAM, ketika korban bagi masyarakat sipil dan melalui pekerja kemanusiaan mengadukan solusi damai, namun presiden tampak apatis, sepelekan korban berjatuhan ketika konstitusi UUD 1945 mengatur presiden adalah panglima tertinggi.

Paket Otonomi Khusus pun sudah kembalikan ke Jakarta di pusat pemerintahan Indonesia. Masyarakat Papua menilai tidak ada manfaat, tidak layak dengan adanya Otsus Papua.

Baca Juga:  Musnahnya Pemilik Negeri Dari Kedatangan Bangsa Asing

Keberpihakan Gus Dur sudah dibunuh secara sadar, sistematis dan terstruktur oleh pemerintah pusat sampai daerah, pakai uang yang tidak menyelamatkan masa depan masyarakat adat Papua. Itu gencar terjadi hingga di masa presiden ke-VII ini di Tanah Papua.

Menteri Koordinator Politik Hukum dan HAM dikaderkan oleh Presiden Gus Dur, tetapi tampaknya masih belum paham jalan pikiran presiden ke-IV itu hingga sampaikan akan evaluasi Otsus Papua tentang keuangan untuk diperpanjang bahkan kemudian secara marathon dibahas dan disahkan oleh DPR RI.

Presiden Jokowi bersama kabinet Indonesia Kerja mesti memahami kondisi masyarakat adat Papua.

Semangat pelopor Otonomi Khusus yakni Presiden Gus Dur bukan ukuran material uang atau berapa banyak harta yang dimilikinya, tetapi hidup nyaman dan saling menghargai, menghormati dan memberi ruang dan waktu bagi kaum termarginalkan selama ini.

Otonomi Khusus Papua adalah jawaban atas segala keadaan dan kehidupan masyarakat Papua selama itu, jauh dari kebijakan pemerintah pusat.

Keadaan masa Irian yang tidak berdaya dan bersaing, tetapi atas kehendak Gus Dur tanpa paksa kehendak dirinya, dan rakyatnya di Tanah Papua. Presiden Gus Dur tidak menilai politis, tetapi manusiawi.

Gus Dur ketika itu sampaikan maaf atas terjadinya pelanggaran HAM selama ini, sejak Papua integrasi hingga 1 Januari 2000.

Instrumen khusus bagi Papua dapat diatur menjadi tuan di negeri sendiri dan bukan patokan kaya atau miskin dengan ukuran banyak sedikitnya uang bagi Papua, tetapi memahami manusia Papua.

Lantas bagaimana keadaan Papua hari ini?

Presiden Joko Widodo bersama para menteri kabinetnya sudah sejauhmana “melihat” Papua?

Adik kandung Gus Dur, ibu Lily Chodidjah Wahid yang saat itu Anggota DPR RI periode 2009-2014, sambut baik kehadiran buku Gus Dur adalah pertama dan setelahnya pasti muncul banyak buku tentang Gus Dur. Ini karena orang asli Papua menulis atas jasa Gus Dur Guru Bangsa.

“Maka, sambutan saya bukan sebagai adik kandung, tetapi sebagai warga dari presiden Gus Dur. Tulisan menurut fakta, adalah rindu politik keberpihakan dan pendekatan kemanusiaan di Tanah Papua,” kata ibu Lily pada 22 Oktober 2012.

Sambutannya setelah 11 tahun Otonomi Khusus Bagi Papua berlaku, yang kemudian berakhir tahun 2021.

Bagaimana keadaan dan tanggapan masyarakat adat Papua yang masih aktif, dan duduk di kursi eksekutif, legislatif, denominasi agama, mahasiswa dan masyarakat Papua mengatakan gagal, dan sudah almarhum simbol kotak peti mati, tanda otonomi khusus sudah mati di pangkuan ibu pertiwi.

Dalam buku kenangan masyarakat Papua berjudul “Gus Dur Guru dan Masa Depan Papua”, saya membuka wacana dengan tujuan warga Indonesia khususnya dan warga Papua dapat membaca komentar ibu Lily Wahid yang ternyata tidak meleset, tidak ada perbedaan, namun nyata, dan faktual.

Ketika pemerintahan presiden Indonesia ke-VII tidak pernah ada, miliki kata rindu politik keberpihakan dan pendekatan kemanusiaan, justru membangun jalan dan jembatan keamanan bagi Papua, kekerasan terus meningkat tanpa terkendalikan.

Komentar adik kandung Gus Dur, “Memiliki keberpihakan terhadap orang yang terpinggirkan sangat membutuhkan nyali.”

Tidak mudah mencari orang yang akan selalu membusungkan dada untuk memberikan jaminan hak terhadap mereka yang terpinggirkan.

Nyali dan resiko berjalan seiringan karena membela dan berpihak kepada yang terpinggirkan berarti sedang melawan arus besar bahkan kekuasaan.

Gus Dur merupakan salah satu orang yang memilih jalan hidupnya untuk selalu berhias dengan isu-isu kaum marginal, minoritas dan hak-hak warga negara yang terabaikan.

Mengapa Gus Dur sangat dekat dan concern dengan isu-isu tersebut?

Gus Dur sangat memahami dan menghayati bahwa karakter dan jati diri bangsa yang beragam harus diletakkan dalam kerangka multikulturalisme yang mengacu pada pemenuhan hak-hak kewarganegaraan (civic rights).

Itulah kerangka berpikir yang melandasi setiap tindakan dan kebijakan Gus Dur baik ketika jauh dari kekuasaan atau ketika berada dalam kekuasaan.

Pengakuan terhadap keragaman dan pemenuhan terhadap hak-hak kewarganegaraan merupakan dua sisi mata uang yang tidak bisa dipisahkan.

Selain corak multikulturalisme yang menjadi khas jalan berpikirnya, Gus Dur dalam melakukan segala kebijakan tersebut selalu dilandasi oleh semangat rekonsiliasi dan perdamaian.

Mengapa rekonsiliasi dan jalan damai dipilih oleh Gus Dur? Memang Gus Dur sangat paham lintasan sejarah perjalanan bangsa ini yang sangat diwarnai dengan berbagai kebijakan diskriminatif, intimidatif dan kekerasan kolektif di masa lalu yang telah mengabaikan keragaman identitas kultural, etnik, dan kesukuan.

Butuh suatu cara memotong luka lama dan siklus kekerasan tersebut dengan cara mengajak seluruh komponen anak bangsa untuk memaafkan, merajut persaudaraan, dan melapangkan jalan damai.

Itulah titik tolak bagaimana cara memahami jalan pikir Gus Dur melalui kebijakan-kebijakannya selama menjadi Presiden Republik Indonesia.

Baca Juga:  Adakah Ruang Ekonomi Rakyat Dalam Keputusan Politik?

Mencabut larangan untuk merayakan hari Imlek, memperbolehkan simbol-simbol etnis Tionghoa bertebaran di ruang publik, mengembalikan nama Papua dan memperbolehkan simbol kultural Bintang Kejora sebagai atribut adat serta yang tidak kalah kontroversialnya adalah upaya mengembalikan hak-hak politik generasi bangsa yang dipasung oleh kebijakan anti PKI.

Tentu saja, kebijakan-kebijakan itu tidak populer pada zamannya karena banyak sekali elite-elite yang kebakaran jenggot dengan berbagai kebijakan tersebut.

Apa yang sebenarnya ingin dilakukan oleh Gus Dur adalah memberikan rekognisi eksistensial agar hak-hak dasar mereka sebagai warga negara tidak terabaikan dalam kerangka besar Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Kebijakan lama yang sangat Jakarta sentrisme diluruskan kembali dengan melihat dan menghargai keragaman di luar pusat.

Gus Dur dikenang oleh orang Papua. Pertanyaannya, mengapa orang Papua sangat memuja sosok Gus Dur? Inilah yang dibahas dalam buku kenang-kenangan dari masyarakat adat Papua terhadap tokoh kharismatik Gus Dur Guru Bangsa.

Papua adalah tanah surga yang menyimpan kekayaan alam yang sangat luar biasa. Tetapi sayangnya kekayaan alam itu justru tidak berbanding lurus dengan terciptanya dampak kesejahteraan bagi pemilik tanah leluhurnya.

Buktinya adalah sekian lama masyarakat Papua hidup dalam tingkat kesejahteraan yang tidak merata. Kekerasan dan konflik sosial mudah terjadi.

Sementara itu, pengakuan akan identitas, simbol dan sejarah sebagai bagian dari harkat martabat orang Papua dihilangkan.

Memasuki era reformasi, ketika kebebasan bersuara dan berpolitik terbuka, seluruh kejenuhan untuk selalu dipaksa diam dan bisu terekspresikan.

Pada saat itu, gejolak politik yang terjadi di Timor Timur seakan menjadi cermin dari bagaimana seharusnya masyarakat Papua ingin menuntut haknya.

Lepasnya Timor Timur dari deretan pulau-pulau Nusantara seakan menjadi cambuk bagi seluruh masyarakat Indonesia.

Eskalasi politik dan gerakan menuntut kemerdekaan di Tanah Papua pun semakin menggelegar.

Dalam konteks itu, Gus Dur naik sebagai orang nomor satu di negeri ini pada saat gerakan-gerakan di Tanah Papua semakin kencang.

Apa yang dilakukan Gus Dur pada saat itu tidak dengan memerintahkan dan mengirimkan penambahan aparat keamanan untuk mengamankan dan meredam gejolak politik tersebut.

Desember 1999 setelah dilantik sebagai presiden, Gus Dur langsung memberikan perhatian penuh terhadap persoalan Papua dengan berkunjung ke Papua untuk pertama kalinya.

Dengan pendekatan kemanusiaan, Gus Dur menyapa masyarakat Papua dengan dialog untuk mendengarkan aspirasi dan kemauan masyarakat yang telah lama tidak bersuara.

Dan untuk pertama kalinya dalam sejarah masyarakat Papua tanggal 1 Januari 2000 Gus Dur menyatakan, “mulai hari ini, negeri dan rakyat di sini kembali mendapat nama Papua”.

Itulah momentum yang tidak bisa dilupakan oleh segenap masyarakat Papua.

Tidak hanya sekadar pergantian nama, kembalinya nama Papua bagi masyarakat Papua merupakan momen titik balik dan lembar baru bagi pengakuan eksistensi dan harkat martabatnya.

Kebijakan pengembalian nama Papua adalah serangkaian dari kebijakan-kebijakan Gus Dur lainnya dalam memberikan hak-hak dan keadilan di Tanah Papua, seperti mengizinkan pengibaran bendera Papua “Bintang Kejora” di samping bendera Merah Putih dan penyelenggaraan Kongres Rakyat Papua ke-II.

Jabatan Gus Dur sebagai kepala negara memang sangat singkat. Tetapi ingatan masyarakat, khususnya mereka yang terabaikan oleh sistem, terhadap sosok Gus Dur tidak pernah hilang.

Di saat kondisi Papua kini yang tidak kunjung kondusif, jalan menuju perdamaian terlalu terjal dan berliku-liku, harapan akan ketenangan di tanah surga yang penuh dengan kekayaan alam itu semakin pudar, orang-orang Papua akan kembali mengingat dan mengandaikan seandainya Gus Dur masih ada.

Jalan Perdamaian

Satu prinsip yang dikedepankan oleh Gus Dur adalah jika Anda ingin menginginkan perdamaian, maka Anda harus bekerja untuk keadilan.

Ya, benar. Keadilan akan menyuburkan perdamaian karena orang yang hidup dalam ketidakadilan akan cenderung melakukan kekerasan dan pemberontakan.

Karena itulah, pemberontakan tidak bisa didekati dengan kekerasan baru dan proses sekuritisasi.

Gus Dur memilih jalan dengan menyentuh jantung persoalan di Papua, yakni keadilan. Dalam pandangannya, ketidakadilan telah lama dirasakan oleh masyarakat Papua sejak proses integrasi ke NKRI.

Silih berganti persoalan dan konflik sosial terus bergulir di Papua. Kekayaan alam yang melimpah terus digerus, sementara kesejahteraan dan mimbar kebebasan sangat sulit didapatkan.

Dengan mengarahkan pada jantung persoalan di Papua, Gus Dur dengan berani mengembalikan hak-hak masyarakat Papua yang telah lama hilang.

Memperbolehkan masyarakat Papua untuk memakai kembali nama Papua setelah sekian lama dihilangkan dalam memori kolektif masyarakat Papua adalah bentuk pengakuan terhadap hak-hak dasar mereka.

Memberikan ruang bagi masyarakat Papua untuk menyelenggarakan Kongres Rakyat Papua II semata-mata ingin memberikan ruang kebebasan politik untuk menumpahkan aspirasinya setelah sekian lama dipasung.

Baca Juga:  Kura-Kura Digital

Lambang-lambang kultural pun dipersilakan berkibar sebagai penanda pendekatan baru yang lebih bersifat kultural dalam mengangkat martabat rakyat Papua.

Pendekatan kemanusiaan, people to people dan dialog dilakukan untuk menyapa secara hangat masyarakat Papua.

Keadilan dikedepankan dalam rangka menyusun arah dan jalan baru menuju Papua yang damai, bebas dari suasana yang mencekam, dan pembersihan dari segala aspek kekerasan yang bernuansa militeristik.

Separatisme tidak lagi dijadikan momok yang sangat menakutkan dan seringkali dijadikan tabir untuk melakukan berbagai tindakan represif di Tanah Papua.

Luka rakyat Papua sudah cukup lama, sehingga penderitaan harus segera diakhiri.

Pendekatan baru yang lebih memanusiakan masyarakat Papua itu telah menyentuh hati masyarakat Papua. Sehingga gejolak masyarakat Papua mulai reda karena faktor dasar keadilan dan pemenuhan hak-hak sedikit demi sedikit telah tercapai.

Sayang sekali, rintisan kebijakan dan pola pendekatan yang dibangun oleh Gus Dur tidak bisa dilanjutkan oleh pemerintahan sesudahnya bahkan saat ini.

Politik keberpihakan yang dikedepankan oleh Gus Dur dilanjutkan dengan politik pembiaran yang berlarut-larut. Pendekatan sipil dan jalan damai yang dirintis oleh Gus Dur dirubah dramatis dengan pola militeristik.

Sementara itu, pendekatan kemanusiaan sebagai cara menyapa orang Papua diubah menjadi pendekatan keamanan dan separatisme. Pengibaran bendera Bintang Kejora pun menjadi tabu dan selalu distigma dengan gerakan makar.

Otonomi Khusus yang diamanatkan oleh Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 seakan menjadi lumpuh dan gagal total. Apalagi sejak awal, keberadaan Undang-Undang ini seakan hanya menjadi obat penenang untuk meredam konflik, tetapi tidak menyentuh akar persoalan.

Dewasa ini, perdamaian yang diimpikan oleh seluruh masyarakat Papua belum sepenuhnya terwujud, bahkan lebih buruk dari masa sebelumnya.

Kekerasan, aksi penembakan misterius, dan kondisi yang selalu mencekam terus mewarnai kehidupan masyarakat. Kebebasan dan mimbar aspirasi seakan dibatasi dengan dalih mengantisipasi gerakan separatisme.

Justru dalam konteks itu, keinginan dan aspirasi akan kemerdekaan bukan hal sepele yang bisa saja terjadi apabila berbagai praktek kekerasan dan pelanggaran HAM selalu diabaikan.

Konflik yang berlarut-larut akan mudah dimainkan kepentingan asing untuk memainkan instabilitas dan opini kegagalan negara dalam membangun Papua. Hal itu tentu saja sangat berbahaya bagi keutuhan NKRI.

Seharusnya sudah patut menyesali lepasnya Timor Timur dari pangkuan Nusantara dan tidak ingin mengulangi kesalahan yang sama untuk kedua kalinya. Karena itulah pemerintah seharusnya perlu memberikan porsi yang lebih dalam memerhatikan persoalan Papua.

Perdamaian jelas tidak mungkin terwujud dengan pola sekuritisasi dengan semakin menambah pasukan TNI baik organik maupun non-organik.

Pendekatan kemanusiaan dengan membuka dialog yang lebih terbuka dengan melibatkan seluruh anak-anak bangsa Papua adalah sebuah keniscayaan.

Labelisasi separatisme yang berlebihan, stigma-stigma pemberontak, dan gerakan-gerakan kemerdekaan tidak seharusnya menjadi cara pandang tunggal dalam melihat persoalan Papua.

Semuanya itu hanya riak-riak dari arus utama yang bernama ketidakadilan sistemik yang berlangsung lama di Tanah Papua. Maka, harus ada formula baru dalam melihat dan memandang Papua dengan tidak sekedar dari sudut separatisme versus keamanan.

Gus Dur paling tidak telah mampu memberikan formula yang lebih humanis dengan cara memberikan keberpihakan dan pendekatan kemanusiaan dalam menyapa orang Papua di masa pemerintahannya.

Kenapa hal itu juga tidak bisa diteruskan oleh pemerintah saat ini?

Masa pemerintahan Gus Dur yang sangat singkat, namun memberikan bekas yang sangat luar biasa dan pujian dari rakyat Papua yang tidak pernah berakhir hingga kini.

Sebagaimana tergambar dalam uraian dan curahan hati dalam buku “Gus Dur Guru dan Masa Depan Papua” ini, sesungguhnya tidak semata memberikan ingatan pembaca terhadap sosok Gus Dur sebagai tokoh yang dekat dan selalu berpihak terhadap masyarakat Papua, tetapi juga ada ungkapan kerinduan dari penulis yang mewakili masyarakat tujuh wilayah adat Papua terhadap politik keberpihakan, pendekatan kemanusiaan dan penegakan keadilan yang pernah dirintis Gus Dur dalam menyapa masyarakat Papua.

Dengan kata lain, buku ini tidak sekedar ingin mengenang “Sang Guru Papua”, tetapi lebih jauh lagi sebuah protes akan kerinduan untuk melihat Papua yang damai, tenteram, makmur, berkeadilan sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari NKRI, tanpa harus mendesak, dan memaksakan Indonesia. Begitu kata ibu Lily Wahid.

Tidak sekadar memberikan kenangan masyarakat adat Papua akan sosok Gus Dur, tetapi juga sebagai pengetuk hati terhadap pemerintah Indonesia saat ini untuk masa depan lebih berpihak dan menyapa kembali masyarakat Papua dengan pendekatan kemanusiaan dan keadilan tanpa pendekatan keamanan dan kekerasannya yang seolah tiada berujung. (*)

 

Terkini

Populer Minggu Ini:

HRM Melaporkan Terjadi Pengungsian Internal di Paniai

0
Pengungsian internal baru-baru ini dilaporkan dari desa Komopai, Iyobada, Tegougi, Pasir Putih, Keneugi, dan Iteuwo. Para pengungsi mencari perlindungan di kota Madi dan Enarotali. Beberapa pengungsi dilaporkan pergi ke kabupaten tetangga yakni, Dogiyai, Deiyai, dan Nabire.

Fortnightly updates in English about Papua and West Papua from the editors and friends of the banned 'Suara Papua' newspaper.