ArtikelSaya Menulis Untuk Membangun Kesadaran Rakyat Indonesia Tentang Persoalan Kemanusiaan dan Ketidakadilan...

Saya Menulis Untuk Membangun Kesadaran Rakyat Indonesia Tentang Persoalan Kemanusiaan dan Ketidakadilan di Tanah Papua

Oleh: Gembala Dr. Socratez Yoman, MA)*
)* Presiden Persekutuan Gereja-gereja Baptis West Papua, Anggota Dewan Gereja Papua (WPCC), Konferensi Gereja-Gereja Pasifik (PCC), dan Baptist World Alliance (BWA)

“Kalau saja setiap orang mau menuliskan pengalamannya, aku yakin tidak menunggu lama waktu setahun lagi pemerintah kolonial bakal tumbang. Kita akan memilih jalan perjuangan tidak dengan kata-kata, tetapi dengan pena” (Mayon Soetrisno, 2001: 163, 254).

“Negara boleh memutarbalikan fakta dengan kebohongan dan kejahatan mereka, tapi, mereka tidak akan mengendalikan pikiran dan hati saya.”

Pada 7 Juli 2022, saya bertelepon dengan seorang adik pendeta. Adik pendeta ini sampaikan kepada saya seperti ini:

“Kakak doktor Yoman, saya bertemu dengan beberapa orang anggota TNI dari BIN dan Kopassus. Mereka sampaikan dua hal, yaitu pertama, pengaruh Dewan Gereja Papua (WPCC) sangat besar. Kedua, tulisan dari doktor Socratez Sofyan Yoman selama ini juga berpengaruh. Tetapi, semua itu tidak mempengaruhi kebijakan negara Indonesia tentang Papua.”

Jawaban saya kepada adik pendeta ini: “Saya menulis buku selama 23 tahun sejak 1999, bukan untuk mengubah kebijakan negara Indonesia. Saya menulis dengan tujuan membangun kesadaran bangsaku dan membangkitkan ideologi dan nasionalisme bangsaku Papua Barat. Dan juga kesadaran rakyat Indonesia, terutama generasi muda Indonesia dan mengubah cara pandang mereka tentang Papua dari perspektif kami orang Papua sendiri.”

“Dewan Gereja Papua (WPCC) adalah rumah, honai dan perahu untuk seluruh rakyat Papua. Wajar kalau WPCC sangat berpengaruh karena Gereja didirikan oleh Tuhan Yesus sendiri di atas batu karang yang teguh dan ada kuasa atau kunci Kerajaan Sorga (Matius 16:13-20). Dewan Gereja Papua (WPCC) anggota resmi Konferensi Gereja-gereja Pasifik (PCC). WPCC juga ada relasi dan bekerjasama dengan Dewan Gereja Dunia (WCC) sebagai satu tubuh Yesus Kristus.”

Yang jelas dan pasti, bahwa kekuatan apapun, termasuk kekuatan negara, tidak  meruntuhkan dan merusak hubungan antara Gereja yang didirikan dan dibangun di atas dasar  Kasih dan di dalam nama Tuhan Yesus Kristus sebagai Kepala Gereja-Nya.

Saya menulis terus juga dengan misi untuk mendidik rakyat Indonesia supaya mereka dapat membandingkan informasi dari pihak penguasa kolonial modern Indonesia selama ini dan informasi dari rakyat yang menjadi korban pendudukan dan penjajahan sejak 19 Desember 1961 sampai sekarang. Dari informasi yang diperoleh dari dua pihak, mereka dapat menilai dan mengambil kesimpulan dan keputusan sendiri berdasarkan informasi yang diperoleh dari penguasa dan juga dari bangsa Papua.

Pada 1 November 2018, saya mendapat tanggapan dari salah satu generasi muda Indonesia yang berinisial RT, sebagai berikut:

“Terima kasih untuk pencerahan ini pak Socratez, perlahan-lahan saya mulai memahami karena selama ini saya hanya menduga-duga dari berita-berita saya baca” (Sumber: Melawan Rasisme & Stigma Di Tanah Papua: Yoman, 2020: 207).

Baca Juga:  Musnahnya Pemilik Negeri Dari Kedatangan Bangsa Asing

Pada 18 Juni 2022, ada seorang teman berinisial SM, setelah membaca artikel saya dan berkomentar sebagai berikut:

“Semoga sukses Pak Pendeta Socratez. Perjalanan Bangsa Israel juga tak mudah dan berliku. Satu hal yang harus dilakukan, semangat itu harus tetap disuburkan. Terutama kepada generasi muda. Jika tidak, tak akan pernah terealisasi. Dari gaya menulis Bapak, saya yakin, kita sesama pengagum Pramudya Ananta Toer… saya yakin. Kalau ada buku Pram yang Bapak belum baca, semoga saya bisa membantu. Sayangnya, Pak Pendeta Socratez, Belanda “mendayagunakan” kraton-kraton untuk menindas rakyatnya sendiri. Itulah yang terjadi dengan pemekaran, menciptakan kraton-kraton baru di Papua…”

Pada 19 Juni 2022, ada teman berinisial HS yang membaca artikel saya dan berkomentar demikian:

“Ya  saya sependapat dengan tulisan ini. Pemerintah berupaya sedemikian rupa menawarkan rupa-rupa pendekatan, iming-iming atau rayuan untuk menghentikan keinginan rakyat Papua yang menuntut hak yang sesungguhnya, hak sebagai manusia yang merdeka dan berdaulat menempuh kehidupannya sendiri.Tapi, anehnya, perlakuan yang membuat rakyat Papua menderita, ditempatkan sebagai manusia kelas kedua dan ketiga masih berlangsung hingga kini.”

“Tulis semua yang kau tahu tentang bangsamu. Bangsa tertindas yang selama berabad-abad membisu. Tulis! Sebuah tulisan, tidak akan berarti apa-apa bila tidak diumumkan. Tulisan itu menjadi suara hanya bila telah disebarluaskan, karena itu jangan ragu-ragu untuk mengumumkan tulisan. Tulisan kaum pergerakan menjadi kekuatan sesudah dibaca orang. Karena itu jangan ragu-ragu umumkan tulisanmu. Kau akan menumbuhkan suatu kekuatan tak terduga.” (Sumber: Mayon Sutrisno: Arus Pusaran Soekarno: Roman Zaman Pergerakan: 2001: 203, 214).

Berjuang menulis dengan fakta dan data. Karena, “Perjuangan dengan jalan menulis merupakan kekuatan yang melebihi dan melampaui batas-batas kekuatan senjata. Mulailah menulis. Anda mampu dan sanggup taklukkan kolonial NKRI hanya dengan ujung pena, bukan dengan moncong senjata. Perjuangan melalui jalan menulis, banyak informasi gelap, kelam dan tersembunyi dapat terungkap atau dibuka ke publik.”

“Melalui pena mampu dan sanggup menghancurkan dan memporak-porandakan sebuah negara sekuat apapun. Ujung pena mampu dan sanggup membawa perubahan dalam sebuah negara, masyarakat dan dalam diri seseorang. Ujung pena mampu menghancurkan tembok-tembok keangkuhan dan kejahatan, maka kita dalam menulis itu harus disampaikan informasi, data, dokumen, fakta, dan realitas dengan benar, adil, jujur dan tulus.”

Berjuang dengan jalan mengumumkan persoalan-persoalan berbasis nilai kebenaran, kejujuran, keadilan, ketulusan, proporsional, akurat, kita dapat dan mampu meyakinkan para pembaca dan semua orang. Melalui menulis, kita mendidik orang yang berbeda paham dengan kita. Tadinya musuh atau lawan tapi bisa berbalik menjadi sahabat dan kawan kita, karena kita menulis yang benar, jujur, dan bukti-bukti akurat. (Sumber: Melawan Rasisme dan Stigma Di Tanah Papua: Yoman, 2020: 199, 200).

Baca Juga:  Kura-Kura Digital

Tulisan ini juga melawan salah satu contoh pernyataan negara melalui Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam), Prof. Dr. Mahfud MD, pada 29 April 2021 yang melabelkan rakyat dan bangsa Papua Barat “teroris”.

Pernyataan negara melalui Mahfud MD sebagai berikut:

“Pemerintah menganggap bahwa organisasi dan orang-orang di Papua yang melakukan kekerasan masif dikategorikan sebagai teroris.”

Sebaliknya, “rakyat dan bangsa Papua Barat menganggap bahwa pemerintah Indonesia, TNI dan Polri yang menduduki dan menjajah serta melakukan kekerasan secara sistematis, terstruktur, terlembaga, masif dan kolektif yang berbasiskan rasisme dan ketidakadilan yang menyebabkan pelanggaran HAM sejak 1 Mei 1963 hingga memasuki tahun 2021 dikategorikan sebagai teroris.” (Dikutip dari sumber buku: “Kami Bukan Bangsa Teroris”, karya Dr. Socratez S. Yoman, 2021: 23).

Penguasa kolonial firaun modern Indonesia  yang berwatak teroris, barbar, kriminal dan rasis ini akan runtuh atau hancur hanya dengan satu jalan bermartabat dan damai, yaitu mendidik generasi muda Indonesia dengan menulis tentang kekejaman negara terhadap orang asli Papua sejak 1 Mei 1963 sampai  saat sekarang. Maka, mari, tulis, tulis, tulis, dan tulis, karena mayoritas rakyat Indonesia belum tahu tentang sejarah gelap dan tragedi kemanusiaan di Papua selama lebih dari lima dekade.

Biarkan pejabat OAP yang lain telah kehilangan martabatnya kemanusiaan dan menjadi sama seperti binatang sapi atau hewan kerbau yang ditusuk moncongnya dan dikendalikan orang lain yang memecahbelah rakyat dan bangsanya sendiri dengan dikotomi atau provokasi orang gunung dan pantai. Ingat! Bangsa yang dibangun di atas kebohongan dan kekerasan serta ketidakadilan selalu kehilangan sebagian wilayahnya atau runtuh dan porak-poranda serta hanya tinggal kenangan dalam catatan sejarah.

Saya menulis untuk rakyat dan bangsaku. Saya menulis untuk kemuliaan dan kehormatan bangsaku. Saya menulis untuk martabat bangsaku.

Saya menulis untuk sampaikan pesan tentang penderitaan bangsaku kepada siapa saja. Saya menulis untuk nyalakan cahaya lilin kecil untuk bangsaku. Saya menulis untuk umumkan secara terbuka kepada semua orang tentang krisis dan tragedi kemanusiaan berkepanjangan yang dialami bangsaku selama 58 tahun sejak 1 Mei 1963.

Saya menulis dengan visi kebangsaan. Saya menulis dengan tujuan. Saya menulis digerakkan dengan kekuatan visi, tujuan, dan target. Saya menulis dengan keadaan sadar.

Saya menulis apa yang saya tahu. Saya menulis apa yang saya mengerti. Saya menulis apa yang saya lihat. Saya menulis apa yang saya saksikan. Saya menulis apa yang saya alami. Saya menulis apa yang saya pikir. Saya tulis apa yang saya rasakan.

Baca Juga:  Indonesia Berpotensi Kehilangan Kedaulatan Negara Atas Papua

Saya menulis menyuarakan yang tak bersuara. Saya menulis untuk bangsaku yang tertindas dan terjajah. Saya menulis untuk bangsaku yang terabaikan. Saya menulis untuk bangsaku yang dibuat tidak berdaya. Saya menulis untuk bangsaku yang terpinggirkan dari tanah leluhur mereka.

Saya menulis untuk melindungi bangsaku yang merasa ketakutan. Saya menulis untuk menyelamatkan bangsaku yang sedang dimusnahkan oleh penguasa Indonesia sebagai Firaun dan Goliat modern.

Saya menulis tentang sejarah bangsaku. Saya menulis tentang harga diri dan identitas bangsaku. Saya menulis pengalaman bangsaku. Saya menulis tentang harapan masa depan bangsaku.

Saya menulis untuk bebaskan bangsaku dalam rasa ketakutan. Saya menulis untuk sadarkan bangsaku yang sudah dilumpuhkan kesadaran oleh bangsa kolonial Indonesia. Saya meneguhkan dan menguatkan bangsaku yang ragu-ragu, kecewa dan bimbang.

Menulis merupakan pertanggungjawaban iman dan ilmu pengetahuan serta panggilan hati nurani untuk rakyat dan bangsaku Melanesia di West Papua.

Tugas dan kewajiban saya dengan jalan menulis dapat mengubah cara pandang dan berpikir orang Melayu Indonesia, terutama penguasa, TNI-Polri yang menduduki dan menjajah bangsaku.

Saya senang dan suka mengutip komentar ini dalam beberapa tulisan saya. Kutipan ini menginspirasi saya untuk menulis dan menulis dan terus menulis untuk martabat bangsaku.

“Sukmatari, kau sudah melangkah. Jangan mundur. Tulis sebanyak-banyaknya tentang bangsamu. Bangsa tertindas yang selama berabad-abad membisu. Tulis, umumkan, jangan sampai tak melakukan perlawanan. Ingat gadis Jepara itu, ingat Multatuli, ingat Hatta, ingat Suwardi Suryoningrat, Douwes Dekker, Tjipto Mangunkusumo, semua menggoncangkan sendi-sendi pemerintah kolonial dengan tulisan. Ya, dengan tulisan! Menulis dan menulis sangat berbeda, ada orang menulis untuk klangenan, ada orang menulis untuk memperjuangkan sesuatu. Dan semua patriot yang kusebut, mereka menulis untuk memperjuangkan asas. Menulis hanya sebuah cara! Tulis Sukma. Tulis semua yang kau ketahui mengenai bangsamu. Tulis semua gejolak perasaanmu tentang bumi sekitarmu. Karena dengan menulis kau belajar bicara. …” (Mayon Sutrisno: Arus Pusaran Sukarno, Roman Zaman Pergerakan: hal. 201).

Bagi saya, Papua Barat Merdeka itu urutan paling terakhir. Tetapi, urutan paling utama adalah menulis dan menulis tentang sejarah penderitaan bangsa Papua serta umumkan dan sebarkan kepada semua orang tanpa batas. Itulah hakekat perjuangan untuk mewujudkan doa, harapan, cita-cita dan impian untuk Papua Barat Merdeka. Tulislah apa yang dilihat, didengar dan diketahui dan dipikirkan tentang penderitaan bangsamu rakyat dan bangsa Papua Barat.

Doa dan harapan saya, tulisan ini membuka wawasan untuk mendapat perspektif baru tentang persoalan ketidakadilan dan pelanggaran HAM berat di Tanah Papua selama 61 tahun sejak 19 Desember 1961.

Selamat membaca. Tuhan memberkati. (*)

Ita Wakhu Purom, Sabtu, 9 Juli 2022

Terkini

Populer Minggu Ini:

Jurnalis Senior Ini Resmi Menjabat Komisaris PT KBI

0
Kendati sibuk dengan jabatan komisaris BUMN, dunia jurnalistik dan teater tak pernah benar-benar ia tinggalkan. Hingga kini, ia tetap berkontribusi sebagai penulis buku dan penulis artikel di berbagai platform media online.

Fortnightly updates in English about Papua and West Papua from the editors and friends of the banned 'Suara Papua' newspaper.