BeritaPRP Tegaskan Sikap Rakyat Papua: Cabut Otsus, Tolak DOB, dan Gelar Referendum

PRP Tegaskan Sikap Rakyat Papua: Cabut Otsus, Tolak DOB, dan Gelar Referendum

JAYAPURA, SUARAPAPUA.com — Rakyat Papua tetap konsisten dengan sikap tegas menolak pemberlakuan Undang-Undang Otsus dan pemekaran tiga provinsi baru di Tanah Papua. Tuntutan saat ini adalah selenggarakan referendum sebagai solusi terbaik bagi rakyat Papua.

Hal itu ditegaskan oleh Warpo Wetipo, koordinator lapangan aksi demonstrasi Petisi Rakyat Papua (PRP), Jumat (29/7/2022) di kota Jayapura.

Wetipo menyoroti sikap pemerintah Indonesia yang sama sekali tidak pernah mau mendengar aspirasi rakyat Papua.

Sikap sama kembali diperlihatkan Jakarta dalam pengambilan kebijakan pasca berakhirnya masa implementasi Undang-undang nomor 21 tahun 2001 tentang Otsus bagi provinsi Papua pada akhir tahun lalu.

Terbukti, kata dia, proses pembahasan dan pengesahan tiga Rancangan Undang-undang (RUU) tentang pemekaran Papua maupun proses pembahasan Undang-undang nomor 2 tahun 2021 tentang perubahan kedua atas Undang-undang nomor 21 tahun 2001 dilakukan secara sepihak dan tidak melibatkan rakyat Papua maupun Majelis Rakyat Papua (MRP).

Pemerintah Indonesia menurut Wetipo tidak mempertimbangkan sedikitpun suara dari rakyat Papua, sehingga kebijakan Otsus dan pemekaran Papua hanyalah agenda sepihak Jakarta.

“Selama ini rakyat Papua sudah berkali-kali merespons kebijakan sepihak Indonesia dengan aksi demonstrasi besar-besaran baik di Papua maupun di luar Papua. Tetapi Jakarta seperti tidak punya telinga,” ujarnya.

Tidak hanya di Jayapura, Sorong, Wamena, Paniai, Dogiyai, Deiyai, Nabire, Serui, Biak, Manokwari, Merauke, dan di Yahukimo berujung jatuhnya korban jiwa.

Aksi massa di luar Papua, yakni di Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Semarang, Salatiga, Surabaya, Malang, Jember, Bali, Makassar, Ternate, Ambon, dan Kupang NTT.

Wetipo mengatakan, pemberlakuan Otsus jilid 2 yang diikuti dengan pemekaran tiga provinsi baru sudah jauh-jauh hari dirancang pemerintah Indonesia. Seluruh proses ini tanpa melibatkan rakyat Papua.

Baca Juga:  Polri akan Rekrut 10 Ribu Orang untuk Ditugaskan di Tanah Papua

“Pembahasan RUU tentang Daerah Otonom Baru disepakati secara sepihak untuk mempertahankan kekuasaan penjajahan Indonesia di West Papua. Rakyat Papua dengan sadar menolak Otsus karena ini bagian dari strategi Jakarta untuk meredam gerakan rakyat Papua menuntut kemerdekaan bangsa West Papua,” ujar Warpo.

Dia juga menyatakan, pemekaran Papua mengakibatkan polarisasi politik identitas berdasarkan warna kulit, gunung-pantai, suku, marga, hingga kelompok berdasarkan kepentingan yang berdampak buruk di kemudian hari.

“Daerah pemekaran itu juga justru semakin mempertajam persaingan dari kondisi sebelumnya. Nasib orang Papua yang jumlahnya sangat sedikit itu akan mengalami perpecahan,” ujarnya.

Selama 25 tahun Otsus di Tanah Papua, kata Warpo, keberadaan orang Papua sangat jauh dari kata sejahtera. Bahkan banyak kejadian seperti kasus gizi buruk yang terus terjadi di Papua, angka buta huruf dan buta aksara yang tinggi, termasuk di kabupaten Mimika sebagai wilayah penghasil emas terbesar di dunia.

Kondisi di kabupaten Mimika menurutnya merupakan contoh nyata tiadanya kesejahteraan rakyat meski di sana terdapat PT Freeport Indonesia.

Wetipo mengungkapkan fakta hingga hari ini orang asli Papua semakin termarginalkan di atas tanah airnya sendiri. Kata dia, kondisi tersebut akan diparah lagi dengan adanya pemekaran provinsi baru karena OAP kian sulit mengisi semua sektor yang ada seperti terjadi selama ini.

Bagi Jakarta, tegas PRP, pemekaran Papua dianggap satu alasan untuk menambah markas militer di Tanah Papua.

“Kenyataan selama puluhan tahun sejak proses aneksasi, rakyat Papua terus menerus mengalami kekerasan dari aparat Indonesia,” ujarnya sembari mengakui sudah tidak dihitung lagi berapa banyak warga sipil yang korban di ujung bedil aparat bersenjata Indonesia.

Baca Juga:  Atasi Konflik Papua, JDP Desak Pemerintah Buka Ruang Dialog

Dalam situasi begitu, PRP menilai pemekaran hanya akan menguntungkan pemodal, pemerintah dan kaki tangannya dengan mengorbankan rakyat pemilik tanah kaya raya ini.

Sekalipun ada pembangunan jalan, berbagai infrastruktur termasuk aset vital lainnya yang dibutuhkan untuk mendukung percepatan proses angkut barang mentah dari Papua, PRP menyebut tidak berdampak positif bagi rakyat Papua.

“Dalam sejarah Papua, kehadiran Freeport McMoran di Tanah Papua dengan kepentingan besarnya menjadi dasar semangat pencaplokan Papua ke dalam NKRI, yang dilakukan sepihak dan secara paksa. Itu akar masalah bagi rakyat West Papua,” tegas Warpo.

Dalam aksi yang kesekian kalinya itu, PRP membacakan pernyataan sikap sebagai berikut:

  1. Cabut Undang-Undang Otonomi Khusus Jilid II.
  2. Segera hentikan upaya pemekaran provinsi di wilayah West Papua.
  3. Elit Papua stop mengatasnamakan rakyat Papua untuk kepentingan kekuasaan.
  4. Buka akses jurnalis seluas-luasnya di West Papua.
  5. Tarik militer organik dan non-organik dari West Papua.
  6. Stop perampasan tanah adat serta stop kriminalisasi masyarakat adat di West Papua.
  7. Tutup Bandar Udara Antariksa di Biak West Papua.
  8. Bebaskan tahanan politik West Papua tanpa syarat.
  9. Tolak pengembangan Blok Wabu dan tutup semua perusahaan nasional juga multinasional di seluruh wilayah West Papua.
  10. Tangkap, adili, dan penjarakan jenderal-jenderal pelanggar HAM.
  11. Hentikan rasisme dan tangkap pelaku politik rasial.
  12. Hentikan operasi militer di Nduga, Intan Jaya, Puncak Jaya, Pegunungan Bintang, Maybrat, dan seluruh wilayah West Papua lainnya.
  13. PBB harus bertanggungjawab serta terlibat aktif secara adil dan demokratis dalam proses menentukan nasib sendiri, pelurusan sejarah, dan penyelesaian pelanggaran HAM yang terjadi terhadap bangsa West Papua.
  14. Mendesak rezim Jokowi-Ma’ruf untuk memberikan akses seluas-luasnya kepada Komisi HAM PBB untuk meninjau situasi HAM di West Papua secara langsung.
  15. Jaminan kebebasan informasi, berekspresi, berorganisasi, dan berpendapat bagi bangsa West Papua.
  16. Kami mendukung perjuangan rakyat Wadas dan Jomboran melawan tambang yang merugikan.
  17. Kami mendukung perjuangan rakyat Indonesia menolak Omnibus Law.
  18. Menolak RUU KUHP.
  19. Hentikan perampasan tanah milik masyarakat adat Tambrauw oleh PT Nuansa Lestari Sejahtera, dan tutup semua perusahaan sawit yang beroperasi di seluruh Tanah Papua.
  20. Bupati Jayapura, Mathius Awoitauw dan Gubernur Papua, Lukas Enembe segera mencabut izin operasi perusahaan perkebunan kelapa sawit PT Permata Nusa Mandiri di atas tanah adat milik masyarakat adat Grime Nawa di kabupaten Jayapura.
  21. Stop militerisasi kampus, Rektor Universitas Cenderawasih, Apolo Safanpo segera menghentikan MoU dengan Korem 172/PWY, gratiskan biaya pendidikan, dan aktifkan perkuliahan tatap muka.
  22. DPR Papua segera gelar sidang paripurna ‘Cabut Otsus dan DOB Papua’.
  23. Berikan hak menentukan nasib sendiri sebagai solusi demokratis bagi bangsa West Papua.

Untuk menyampaikan aspirasi dan pernyataan sikap, sudah enam kali rakyat Papua difasilitasi PRP turun aksi demonstrasi damai. Tiga kali aksi nasional digelar serentak di Papua dan Indonesia, juga luar negeri, pada Jumat 3 Juni, Kamis 14 Juli dan Jumat 29 Agustus 2022. Tiga tuntutan utama yang diusung adalah cabut kembali pemberlakuan Otsus Papua, hentikan pemekaran DOB, dan segera referendum di seluruh West Papua.

Baca Juga:  PGGY Kebumikan Dua Jasad Pasca Ditembak Satgas ODC di Dekai

Tergabung dalam PRP sedikitnya 122 organisasi gerakan akar rumput, pemuda, mahasiswa dan rakyat Papua serta 718.179 suara rakyat Papua yang tersebar di seluruh Tanah Papua dan Indonesia telah menandatangani petisi.

REDAKSI

Terkini

Populer Minggu Ini:

ULMWP: Aneksasi Papua Ke Dalam Indonesia Adalah Ilegal!

0
Tidak Sah semua klaim yang dibuat oleh pemerintah Indonesia mengenai status tanah Papua sebagai bagian integral dari Negara Kesatuan Republik Indonesia, karena tidak memiliki bukti- bukti sejarah yang otentik, murni dan sejati dan bahwa bangsa Papua Barat telah sungguh-sungguh memiliki kedaulatan sebagai suatu bangsa yang merdeka sederajat dengan bangsa- bangsa lain di muka bumi sejak tanggal 1 Desember 1961.

Fortnightly updates in English about Papua and West Papua from the editors and friends of the banned 'Suara Papua' newspaper.