Oleh: Thomas Ch. Syufi)*
)* Koordinator Papuan Observatory for Human Rights (POHR) dan advokat muda Papua
Masyarakat Kebar dan Tanah Papua dirundung duka atas meninggalnya Johanes Kaprimi Jambuani (86) di Kebar, Tambrauw, Papua Barat, Selasa (30/8/2022). Ia meninggal karena sakit.
Johanes Kaprimi Jambuani adalah salah seorang tokoh senior Papua, pemimpin pasukan Organisasi Papua Merdeka (OPM) wilayah Kebar (pedalaman Manokwari), sekaligus sniper OPM yang melakukan tembakan pertama pada 26 Juli 1965 di Kebar, dua hari sebelum penyerangan markas TNI di Arfai, Manokwari, 28 Juli 1965. Inilah tembakan pertama Johanes “John” Jambuani yang menjadi babak awal dalam sejarah perjuangan politik bangsa Papua melawan pemerintah Indonesia.
Johanes Kaprimi Jambuani menabuh gong gerakan kemerdekaan Papua dimulai dari Lembah Kebar atau sebagai penyulut api revolusi, yang membakar dari “padang ilalang” Kebar hingga merembet ke Manokwari, dan menyebar ke seluruh Tanah Papua, hingga gedung PBB.
Dari Kebar untuk Papua
John memiliki beberapa nama secara adat dengan makna berbeda. Seperti ungkapan ‘nomen est omen’ (nama adalah tanda). Pria kelahiran pinggiran Kali Doremi, Watabua, Kebar, 6 Juli 1938 ini, memiliki nama asli Johanes Kaprimi. Pada masa bergerilya John dipanggil Bitia.
Nama Kaprimi dalam bahasa Mpur (bahasa asli penduduk Lembah Kebar dan Amberbaken) diambil dari nama sejenis pohon dan Bitia yang memiliki makna batu yang tajam. Bitia merupakan nama yang muncul setelah penyerangan 26 Juli 1965.
Nama Bitia hanya diketahui dan khusus dipakai oleh masyarakat Kebar dan sekitarnya, untuk menghindari incaran militer Indonesia. Sebab nama Johanes Kaprimi Jambuani telah menjadi catatan merah, sekaligus sebagai orang yang paling dicari militer Indonesia kala itu.
Nama John Jambuani memang sangat populer di kalangan orang Arfak, baik orang Kebar, Meyah, Hatam, Sow, Amberbaken, Ireres, Karon di Manokwari atau Tambrauw, maupun di Bintuni, Maybrat, dan sebagian masyarakat Papua di wilayah Kepala Burung.
Tahun 1990-an, saya masih di sekolah dasar. Biasanya saya bermain atau kumpul-kumpul bersama teman-teman. Kami sering bercerita tentang tokoh OPM yang piawai dalam menembak itu.
Padahal, kami tidak mengenalnya. Kami hanya mendengar tentang dia dari orang-orang tua, yang terlibat atau menyaksikan langsung rangkaian peristiwa tragis dan heroik, selama “Perang Jambuani-Awom” tahun 1965 hingga menyerah tahun 1971.
Nama Jambuani juga sering diglorifikasi dalam lagu dance atau tumbuk tanah (budaya sebagian masyarakat adat Domberai), termasuk nama Permenas Ferry Awom, sebagai wujud pujian dan penghormatan atas heroisme dan patriotisme perjuangan mereka untuk kemerdekaan Papua di masa lalu.
“Tembakan jambuane, tembakan awome, kekeran jambuane, kekeran awome, kiriman jambuane, kiriman awome”. Demikian penggalan lagu-lagu yang sering dinyanyikan masyarakat Kebar pada setiap momen pesta “tumbuk tanah”.
Rangkaian kata-kata dalam lagu tumbuk tanah tersebut menggambarkan bagaimana romantisme Jambuani sebagai salah seorang anak buah dari Permenas Ferry Awom, sekaligus pimpinan OPM wilayah Kebar yang sangat agresif, berani, dan jitu dalam menembak.
Pada zaman itu, ia hanya menggunakan senjata standar peninggalan Belanda, dengan amunisi yang sangat terbatas. Tetapi, tembakannya tepat sasar.
Jambuani bersama Awom juga memiliki pasukan yang sangat solid, disiplin, loyal, dan militan, serta mampu menguasai medan tempur dengan baik, mulai dari Manokwari sampai Sorong dan Fakfak.
Misi Perjuangan
Jambuani memang seorang altruis sejati. Ia secara total mengabdikan diri untuk perjuangan kemerdekaan Papua, tanpa memikirkan keselamatan diri dan keluarga, termasuk urusan makan-minum. Hal inilah yang membuat orang Kebar selalu mengagumi dan mengenangnya.
Jambuani adalah seorang pejuang yang berani mengangkat senjata dan jago menembak, demi membela hak-hak dasar orang Papua. Hingga di akhir hayatnya ia layak mendapat gelar “pahlawan” bangsa Papua.
Ia memperjuangkan keadilan dan kemanusiaan banyak orang (Papua) meski harus melanggar HAM atau membunuh banyak tentara atau mereka yang menentang revolusi. Menyitir tokoh revolusi Kuba asal Argentina, Ernesto “Che” Guevara (14 Juni 1928 – 9 Oktober 1968), “Kami berjuang bersama rakyat demi rakyat, ketika seseorang melakukan kesalahan dan itu merugikan perjuangan revolusi, maka eksekusi mati memang harus dilakukan, bukan kami tidak menghargai hak asasi manusia, justru kami melindungi HAM yang lebih besar.”
Tentu menurut Che Guevara, cinta tanah air adalah hukum kita (Amare patria nostrae lex). Atau meminjam Horatius Carmina III (bekas senator Romawi) yang kemudian diucapkan Ferdinand I (1503-1564), Raja Hungaria dan Bohemia (1558-1564), Dulce et decorum est pro patria mori atau hal yang manis dan mulia apabila seseorang mati atau gugur demi negeri/tanah airnya (Syufi, Bunga Rampai Indonesia, Sebuah Proposal Ringkas Papua, hal. 32).
Jambuani memang tipe pejuang yang teguh dalam pendirian dan tak mengenal kompromi, terutama terhadap pemerintah Indonesia, sejak keterlibatannya dalam gerakan OPM tahun 1965, hingga wafatnya tahun 2022.
Misi perjuangan Jambuani dengan mengangkat senjata, agar hak dan martabat orang Papua bisa dihormati dan diakui seperti bangsa-bangsa lain di dunia. Sekaligus meminimalisir apa yang Thukidides (460 SM – 395 SM) sebut “Strong will do what they can, and the weak suffer what they must” (yang kuat akan berbuat sekehendaknya dan yang lemah harus menderita).
Serangan Pertama
Sekitar pukul 10 pagi, pada 26 Juli 1965, pos Perwira Urusan Teritorial dan Perlawanan Rakyat atau Puterpra (kini Koramil) Kebar diserang oleh pasukan OPM, dengan kekuatan sekitar 408 orang (asal Ajamaru, Karon, dan Kebar) di bawah pimpinan Johanes Kaprimi Jambuani. Mereka menyerang dari arah utara, mengikuti lereng Gunung Bamsan dan Moropem yang mengapit berbagai perumahan pegawai pertanian dan kehutanan zaman Belanda, termasuk pos tentara Indonesia.
Gempuran OPM yang menggenaskan saat dilakukan upacara Sumpah Prasetya anggota Puterpra dan pegawai kehutanan, serta pegawai pertanian Kebar itu, menewaskan 45 orang tentara. Termasuk penjaga pos Koramil yang menjadi sasaran tembakan pertama Johanes Kaprimi Jambuani, sekaligus merampas 32 pucuk senjata dan amunisi, antara lain, empat senjata otomatis, satu senapan M1, granad, tiga senapan mouser, dan sepucuk senapan laras panjang milik jawatan kehutanan (Sumber: 1984-Interview/JC Jbuane/Blackwara Camp/Vanimo-CPR dan Kompasiana.com).
Dua hari setelah kejadian itu, pukul 4 dini hari pada 28 Juli 1965, terjadi penyerangan terhadap markas TNI Yonif 641 Cenderawasih 1 di Arfai, Manokwari oleh pasukan OPM pimpinan Permenas Ferry Awom, panglima tentara Papua atau Korps Relawan Papua (Papoea Vrijwilliger Korps/PVK) yang dibentuk 21 Februari 1961 oleh Belanda, untuk membantu UNTEA mempertahankan koloni Nederlands Nieuw Guinea (Irian Barat) dari infiltrasi pasukan Indonesia.
Penyerangan di Kebar merupakan gerakan kolektif dari konsensus para petinggi OPM di Manokwari, seperti John Ariks (tokoh senior Papua, yang berasal dari Kebar seperti Jambuani), Permenas Ferry Awom, Terianus Aronggear, Irogi Meidodga, Barend Mandacan, Lodwik Mandacan, Watofa, Tarran, Arumisore, dan Elky Bemey.
Tembakan Terukur
Serangan Jambuani di Kebar merupakan perintah atau tanggung jawab yang diberikannya, sebagai salah satu komandan operasi yang dipilih dalam rapat di Manokwari. Penyerangan di Kebar itu dinilai sebagai agresi prematur, karena dilakukan pada 26 Juli, sebelum hari puncaknya, yakni 28 Juli 1965.
Setelah mendapat mandat dan mengangkat sumpah sebagai komandan operasi di daerah Kebar, Jambuani berjalan kaki dari Manokwari ke Kebar, demi melakukan komunikasi dan konsolidasi kekuatan dengan pasukannya, untuk mempersiapkan penyerangan terhadap pos tentara Kebar secara serempak dengan penyerangan markas tentara di Arfai, Manokwari, 28 Juli 1965.
Setelah tiba di Kebar, Jambuani tidak masuk kampung. Ia bersama pasukannya tinggal di hutan, di daerah Moropiem dan Bamsan yang tak jauh dari kampung Anjai, ibu kota Distrik Kebar, yang menjadi tempat penyerangan.
Namun, kehadiran Jambuani di daerah Kebar sudah tercium oleh mayoritas masyarakat Kebar, termasuk seorang guru Katekis non-Papua yang mengajar di sekolah dasar, di suatu kampung di bagian barat Kebar. Diduga guru Katekis tersebut mendengar informasi dari masyarakat, bahwa kelompok OPM di bawah pimpinan Johanes Jambuani tengah berada di Kebar, dan mereka berencana menyerang pos tentara di Kebar.
Ia pun segera membuat catatan dalam secarik kertas, yang ditujukan kepada komandan pos tentara di Kebar sebagai informasi (laporan) bahwa akan terjadi penyerangan dari kelompok OPM di bawah pimpinan Johanes Jambuani. Surat tersebut diisi dalam kotak korek api kayu dan dititipkan kepada dua siswa dari SD, dimana guru Katekis itu mengajar, untuk mengantar ke Kebar, dengan berjalan kaki sekitar 9-10 jam perjalanan.
Mendekati Injai, ibu kota Distrik Kebar (sekitar daerah Musi Lama), kedua anak itu bertemu dengan masyarakat (pasangan suami-istri) yang hendak bepergian ke kebun.
Begitu berpapasan, kedua anak itu ditanya, “Kamu dua dari mana dan mau kemana?”
Kemudian kedua anak itu menjawab bahwa mereka ke Kebar untuk mengantar korek api ke pos tentara.
Di situ muncul perasaan mencurigakan, hingga masyarakat pun meminta izin kepada kedua anak itu, untuk memperlihatkan korek api tersebut.
Mereka meraih korek api dari tangan kedua anak itu, lalu membukanya. Dan ternyata secarik kertas dilipat rapi, dengan alamat tujuan pos tentara Kebar.
Dalam surat tersebut berisi pesan bahwa kelompok OPM pimpinan Johanes Jambuani telah berada di Kebar dan akan segera menyerang pos tentara Kebar pada 28 Juli 1965.
Sepasang suami-istri itu pun mencekal surat itu. Mereka mengatakan kepada kedua anak itu agar surat tersebut dititipkan kepada mereka, agar mereka mengantarnya ke pos tentara di Kebar.
Mereka lalu menyuruh kedua anak itu pulang ke kampung dan menyampaikan kepada gurunya, bahwa suratnya sudah diserahkan ke pos Koramil Kebar.
Saat itu juga suami-istri ini membatalkan perjalanan ke kebun dan pulang ke rumah. Mereka menyampaikan hal tersebut secara diam-diam kepada beberapa masyarakat di Kebar.
Surat itu diteruskan kepada Jambuani dan pasukannya bahwa rahasia tentang rencana penyerangan ke pos Kebar sudah di pihak lawan.
Setelah mendapat informasi tersebut, Jambuani bersama pasukannya bergegas mengubah sikap dan rencana penyerangan serempak tanggal 28 Juli 1965, dengan mendahului menyerang Pos Koramil Kebar pada 26 Juli 1965. Artinya, OPM menyerang lebih awal agar informasi keberadaan dan tujuan mereka tidak tersebar luas dan diketahui TNI.
Setelah serangan di pos tentara Kebar dan markas Arfai, Kebar menjadi medan perang OPM vs TNI–yang diterjunkan setelah beberapa hari informasi penyerangan di Kebar sampai ke kuping pejabat militer di Manokwari dan Markas TNI di Jakarta.
Gelombang penyisiran dan operasi militer pun terjadi. Masyarakat Kebar mengungsi ke hutan, sebagian ditangkap, disiksa, dibunuh, dan ditembak oleh tentara.
Salah seorang korban atas nama Waniopi, yang ditangkap di kampung Anjai, lalu dipaksa untuk mengaku atau memberitahu tempat persembunyian Johanes Jambuani dan pasukannya. Ia dipaksa untuk berjalan di depan dan mengantar para tentara untuk mencari gerombolan OPM. Setelah mereka sampai di sebuah kebun, dia hendak melewati pagar yang mengapit kebun tersebut, ia ditembak dari belakang.
Itulah kisah pilu dan romantika seorang tokoh OPM Johanes Kaprimi Jambuani, dengan melakukan tembakan pertama di Kebar pada 26 Juli 1965.
Rasa-rasanya pas juga Jambuani diberi nama Bitia atau batu yang diidentikkan dengan benda yang keras, kuat, dan teguh. Batu juga memiliki simbolisme dari sebuah kekuatan yang mampu bertahan dari gempuran ombak, buih arus air, dan gelombang.
Batu tetap meluncur tanpa hambatan alias tidak terapung ketika ditenggelamkan. Hingga sampai kapan pun, batu tetap pada posisinya, tidak berpindah tempat atau lapuk.
Ombak atau gelombang air seringkali digunakan sebagai metafora kekuatan alam yang dapat merusak, menghancurkan, dan meluluhlantakkan apa pun yang diterjangnya. Semua bisa hancur dan berantakan, tetapi sangat jarang menghancurkan batu yang teguh, kecuali karena tetesan air yang berulang kali.
Dan seorang Johanes Jambuani telah mengarungi medan perang yang dahsyat di semenanjung Kepala Burung. Ia berdiri teguh seperti batu karang. Ia bahkan tidak hanya berdiri di tepian gelombang sejarah, tetapi juga ikut membuat sejarah.
John berperan sebagai peselancar yang mampu menaklukkan ombak ganas. Dan ia telah menjadi seperti apa yang dikatakan Marcus Aurelius (121-180 SM), kaisar dari Romawi, bersikaplah kukuh seperti batu karang yang tidak putus-putusnya dipukul ombak. Ia tidak saja tetap berdiri kokoh, bahkan ia menentramkan amarah ombak dan gelombang.
Totalitas
Kesetiaan Johanes Kaprimi Jambuani dalam perjuangan kemerdekaan Papua, dapat diperlihatkan sebagai pemimpin OPM yang paling terakhir bersama pasukannya yang menyerah kepada pemerintah Indonesia di kampung Senopi, bagian barat Kebar pada tahun 1971, setelah digelar Pepera 1969.
Keabsahan Pepera 1969 masih digugat oleh mayoritas rakyat Papua, karena dinilai penuh kecurangan dan manipulatif. Pepera tidak dilaksanakan menurut Perjanjian New York 15 Agustus 1962, yakni satu orang satu suara (One man one vote).
Penyerangan di Arfai dan Kebar juga merupakan akumulasi kekecewaan atas aneksasi Indonesia terhadap hak kemerdekaan rakyat Papua yang diberikan oleh Belanda pada 1 Desember 1961. Hal itu disabotase oleh pemerintah Indonesia melalui Tri Komando Rakyat (Trikora) 19 Desember 1961, hingga peralihan dari Badan Pemerintahan Sementara PBB (United Nations Temporary Executive Authority/UNTEA) yang berkuasa sejak 1 Oktober 1962 ke pemerintah Indonesia pada 1 Mei 1963.
Bahkan rumusan instrumen hukum tentang pelaksanaan Pepera 1969 yang dilakukan secara sepihak di New York, AS, 15 Agustus 1962 juga tanpa melibatkan orang Papua sebagai pemilik “Bumi Cenderawasih” yang berhak menentukan masa depan politiknya sendiri.
Kurun 1960-1963, militer Indonesia makin represif dan melancarkan operasi militer di seluruh Tanah Papua. Orang Papua tidak memiliki kebebasan untuk menyuarakan hak kemerdekaannya yang sedang diinspirasikan oleh Indonesia, Belanda, dan Amerika Serikat.
Ini sebagai buah diplomasi Soekarno yang mengobral isu komunisme yang kian merebak di Asia Tenggara kala itu kepada Presiden Amerika Serikat John F Kennedy, agar membantu menekan Belanda untuk menuruti kemauan Indonesia merebut Papua. Orang Papua dilarang mengibarkan bendera Bintang Kejora, menyanyikan lagu ‘Hai Tanahku Papua’, dan membungkam segala aktivitas politik orang Papua.
Kebebasan berekspresi rakyat Papua direspons dengan kekerasan militer, baik pengejaran, penangkapan, pemenjaraan, dan pembunuhan semena-mena.
Padahal Indonesia tidak memiliki kewenangan resmi untuk melakukan berbagai praktik kenegaraan, apalagi tindakan kekerasan dan pembunuhan di luar hukum terhadap orang Papua. Hingga tidak dapat dibenarkan dan itu merupakan skandal kemanusiaan yang menjadi sejarah kelam dalam Memoria Passionis orang Papua ke depan, sebab sejarah itu mengajarkan (Historia docet).
Alasan inilah yang membuat tokoh-tokoh Papua yang berpendidikan mulai bersekutu dan membangun kesadaran politik kepada masyarakat Papua, dengan mencetuskan OPM di Manokwari tahun 1963. Dua tahun kemudian, 26 Juli 1965, untuk melawan berbagai konspirasi, intrik, dan manuver politik pemerintah Indonesia untuk menguasai Tanah Papua, pasukan OPM menyerang Markas TNI di Arfai, Manokwari, termasuk Kebar, Manokwari, Irai, Anggi, dan.Manokwari (4-6 Maret 1968), Sausapor, Sorong/Tambrauw (2 Februari 1968), dan Makbon, Sorong (21 Januari 1968), untuk merampas senjata dan terus melancarkan perang yang lebih masif di seluruh Tanah Papua. Sekaligus menunjukkan eksistensi perlawanan rakyat Papua kepada pemerintah Indonesia dan masyarakat internasional, bahwa orang Papua menolak segala upaya pemerintah Indonesia untuk mengokupasi Papua, termasuk rencana pelaksanaan Pepera 1969.
Setelah menyerah tahun 1971, Jambuani yang di zaman Belanda adalah seorang inspektur polisi (1959-1962) yang ditugaskan di detasemen kepolisian Sorong ini tetap konsisten dalam perjuangannya untuk kemerdekaan Papua. Ia bersama kawan-kawannya dikirim ke Jawa untuk mengikuti latihan militer dan kembali bertugas sebagai anggota TNI di Batalyon 753 Sentani, Jayapura, tetapi ia membelot.
Pada tahun 1984, Jambuani dan rekan-rekannya membentuk wadah taktis bernama Sonek 84 yang dipimpin oleh mendiang Mayor Marthen Luther Prawar, untuk menyerang dan menduduki Jayapura. Hingga pada tahun yang sama, 1984, Jambuani mengungsi dengan berstatus sebagai asylum (pencari suaka politik) ke Papua Nugini (PNG) dan menetap di Kamp Blackwara.
Setelah 17 tahun tinggal di PNG, Jambuani akhirnya memilih pulang ke kampung halamannya di Kebar, Manokwari, atas kebijakan Presiden Abdurrahman Wahid atau Gus Dur melalui gelombang repatriasi pengungsi ke Papua yang disponsori oleh Komisioner Tinggi PBB untuk Urusan Pengungsi (UNHCR). Jambuani tahu bahwa hujan emas di negeri orang tidak sama dengan hujan batu di negeri sendiri.
Kepulangannya ke Papua bukan karena ia menghitung hari di masa tuanya dan jiwanya disandera ringkikan badani, bukan lelah, bosan, atau ciut nyalinya dalam berjuang. Tetapi, Jambuani ingin mengubah perjuangannya yang dahulu berorientasi kekerasan dengan pendekatan dialog konstruktif yang adil, damai, dan demokratis.
Artinya, perjuangan zaman dahulu yang mengedepankan metode kekerasan harus dihadapi dengan kekerasan tak relevan lagi di zaman sekarang. Juga pendekatan kekerasan tidak pernah menyelesaikan masalah. Itu justru memperpanjang rantai kekerasan, mendatangkan destruksi, dan meninggalkan reruntuhan kemanusiaan di Tanah Papua.
Meski sudah sepuh dan berstatus repatrian, Jambuani tetap aktif dalam memberi penyadaran politik kepada generasi muda Kebar dan Manokwari. Ia juga sudah beberapa kali menghadiri forum pertemuan Masyarakat Adat Sedunia (Indigenous People) di Jenewa, Swiss (2012), dan tahun 2016 di New York, AS (meski tengah sakit, didorong dengan kursi roda).
Sebagaimana dikatakan oleh seorang pengungsi tahun 1984 dan tokoh pejuang Papua di Port Moresby, PNG, Constantinopel Ruhukail, bahwa Johanes Jambuani adalah orang hebat. Ia cakap berbahasa Belanda dan merupakan seorang penembak jitu yang sangat disegani oleh pihak musuh ketika ia mengangkat perang di hutan wilayah Kepala Burung, tepatnya di daerah Kebar hingga Ayawasi, dan bagian utara di Sausapor, serta Amberbaken.
Kemahirannya dalam menembak juga dibuktikan saat bertugas sebagai anggota TNI Yonif 753 Sentani Jayapura. Ia adalah penembak misterius dari Bumi Cenderawasih yang diikutsertakan dalam lomba tembak nasional di Jawa Barat, dan Jambuani keluar sebagai pemenang juara satu dalam lomba tembak benang.
Johanes Jambuani juga salah satu tokoh nasionalis Papua yang sangat serius dan tegas menolak kebijakan Otonomi Khusus Jilid II dan pemekaran di Papua jika tidak diawali dengan dialog Jakarta-Papua yang adil, damai, dan bermartabat.
Menurut Jambuani, konflik Papua bukan persoalan kesejahteraan atau pembangunan semata. Tetapi, persoalan Papua adalah persoalan sejarah penyatuan Papua ke dalam Indonesia yang penuh dengan rekayasa, manipulatif dan pemaksaan, serta kekerasan yang berakhir pada pelanggaran HAM.
Jadi, pemerintah Indonesia harus membuka ruang dialog untuk pelurusan sejarah status politik Papua dalam NKRI, sekaligus menyiapkan jalan bagi penyelesaian berbagai kasus pelanggaran HAM di Papua sejak Trikora 19 Desember 1961 hingga sekarang. Sebab dialog tidak membunuh siapa pun.
Dialog dilakukan agar tidak ada lagi beban sejarah dan konflik yang dapat menginterupsi berbagai akselerasi pembangunan yang terus digenjot oleh pemerintah Indonesia untuk kesejahteraan rakyat Papua, juga mewujudkan Papua tanah damai. (*)