ArtikelPraktik Mutilasi dan TNI yang Lost Control di Papua

Praktik Mutilasi dan TNI yang Lost Control di Papua

Oleh: Simon Banundi)*
)* Aktivis Hak Asasi Manusia, bekerja di Lembaga Penelitian Pengkajian dan Pengembangan Bantuan Hukum (LP3BH)

Saya mau memulai tulisan kritik ini dengan menyebut “Mutilasi dan TNI yang lost control”, untuk merujuk pada kasus yang melibatkan terduga delapan prajurit TNI dari Brigif Raider 20/IJK 3/Kostrad Timika yang terjadi antara tanggal 22 sampai 23 Agustus 2022. Kasus ini menimpa empat orang korban warga sipil, Arnold Lokbere (29), Irian Nirigi (38), Lemaniol Nirigi (29) dan Atis Tini (23).

Terminologi mutilasi sendiri adalah kegiatan memotong bagian tubuh mayat atau jasad manusia. Beberapa sumber referensi membagi praktik (kasus) mutilasi ke dalam dua jenis: defensive mutilation, dan offensive mutilation.

Pemahaman mengenai mutilasi defensif (defensive mutilation) dalam sebuah kasus disebut sebagai pemotongan atau pemisahan anggota tubuh dengan tujuan menghilangkan jejak setelah pembunuhan terjadi, motif rasional dari pelaku adalah menghilangkan tubuh korban sebagai barang bukti untuk penghalangan identifikasi ketika potongan tubuh berhasil ditemukan.

Mutilasi ofensif (offensive mutilation) adalah tindakan irasional yang dilakukan dalam keadaan mengamuk “frenzied state of mind”. Mutilasi kadang dilakukan sebelum korban meninggal dunia.

Mengutip kriminolog, Romy Niti Baskara, menyebut tiga latar belakang orang melakukan kriminal mutilasi, yaitu gangguan kejiwaan atau sering disebut sebagai psikopat, orang melakukan mutilasi juga sebagai peringatan ke organisasi kriminal atau bagian dari teror antar geng kriminal dan orang melakukan mutilasi sebagai upaya menghilangkan identitas, dari diri pelaku yang panik dan takut ketahuan.

Baca Juga:  Musnahnya Pemilik Negeri Dari Kedatangan Bangsa Asing

Saat ini, kasus mutilasi di Timika tengah diselidiki motif dan latar belakang pelaku, meskipun Polri mengungkap ke media adanya motif ekonomi. Baik, tetapi sangat prematur di sini untuk langsung menyebut mutilasi dalam kasus ini mengarah pada jenis dan latar belakang yang mana dari perspektif ahli diatas.

Kasus mutilasi di Timika paling tidak membutuhkan ahli expert untuk membangun analisa dan kajian yang lebih mendalam dalam penegakan hukum. Kapasitas expert tentu diperlukan untuk memastikan penerapan pasal-pasal pemidanaan yang tepat kepada para pelaku dan keadilan bagi keluarga korban.

Dalam kasus ini, praktik mutilasi yang melibatkan prajurit tempur raider merupakan sebuah kejahatan bilamana itu dilaksanakan terhadap warga sipil. Hukum perang (humaniter) yang berbasis pada statute Roma pasal 8 ayat (2) c melarang setiap bentuk pembunuhan, pengudungan (mutilasi), perlakuan kejam dan penganiayaan baik terhadap hors de combat kombatan ataupun orang sipil.

Mencermati kasus ini, diduga peristiwa terjadi dalam gelar operasi militer selain perang (OMSP) dengan nama sandi Operasi Damai Cartenz, operasi yang menggantikan sandi Operasi Nemangkawi yang telah berakhir pada Januari 2022 lalu. Bagi masyarakat sipil Papua, belum ada kejelasan mengenai hubungan prajurit TNI dan Polri dibalik Operasi Damai Cartenz, misalnya kapan operasi ini berakhir, apakah ini penegakan hukum atau penumpasan separatis?.

Baca Juga:  Kura-Kura Digital

Faktanya beberapa kasus besar penghilangan nyawa warga sipil sudah melibatkan prajurit TNI, kurang dari dua tahun terakhir ini, seperti kasus penembakan Rony Wandik dan Eden Bebari, Timika (April 2020), penembakan Pendeta Yeremia Zanambani, Intan Jaya (September 2020), seorang bayi Nopelinus Sondegau (2) meninggal dunia di Intan Jaya setelah tertembak pasukan gabungan (TNI/Polri) di Sugapa (Oktober 2021), dan terbaru mutilasi empat warga Nduga di Timika dan pembunuhan Bruno Kimko di Mapi oleh Yon Raider Modang, Agustus 2022.

Terjadinya deretan kasus diatas menimbulkan pertanyaan sejauhmana gelar deployed operasi di Papua dan kontrol tepat terhadap pasukan keamanan atas nama misi Operasi Damai Cartenz. Berulangkali petinggi Polri dan TNI menerangkan bahwa Operasi Damai Cartensz mengedepankan pengendalian sosial berwujud tindakan prefentif dan persuasif, namun di lapangan justru sebaliknya yakni perlakuan represif yang mengakibatkan kematian warga sipil.

Lantas, sejauhmana tanggungjawab komando dalam misi prefentif dan persuasif yang menghilangkan nyawa warga sipil? Tanggungjawab komando tidak dibenarkan hilang begitu saja, sebab khususnya prajurit militer, komandan wajib mengambil langkah untuk mencegah dan mampu menghalangi atau dia sendiri bisa dijatuhi hukuman seolah-olah dia sendiri pelaku dalam berbagai kasus diatas.

Jika operasi ini diletakan pada bahu komando, sebuah operasi memungkinkan adanya efisiensi, tepat, menurut rencana dan berdasarkan kebutuhan. Berbagai kasus diatas selama ini menunjukkan pertanggungjawaban individu prajurit militer, sehingga kesimpulan sementara yang dapat ditarik yaitu adanya lost control operasi di Papua. Sayangnya, lembaga-lembaga sipil di Papua jarang mengoreksi bagian ini.

Baca Juga:  Vox Populi Vox Dei

Kasus mutilasi semestinya menjadi momentum kesadaran aparatur keamanan dan sipil ketika berkehendak mewujudkan damai. Evaluasi pengendalian keamanan pada sebuah operasi paling diperlukan, sehingga prajurit militer kembali berada dalam pengendalian komando.

Seperti apa pengendalian ini bermanfaat:

Pengendalian terhadap pasukan untuk memastikan terhindarnya diskresi, salah satunya diskresi stigma terhadap masyarakat sipil Papua sebagai pelaku atau kelompok kriminal dan separatisme.

Pengendalian terhadap pasukan juga untuk memastikan tidak adanya employed pasukan untuk kegiatan mencari kerja (bisnis pribadi dan kelompok) dalam diri prajurit di tempat penugasan operasi di Papua.

Pengendalian terhadap pasukan sebagai wujud penghormatan terhadap hukum humaniter dan hak asasi manusia di wilayah damai. Pengendalian terhadap pasukan tentu untuk memastikan penyelidikan hukum berbagai kasus di atas dapat terungkap secara transparan, penuh tanggungjawab dan menyediakan rasa adil terhadap keluarga korban. Pengendalian terhadap pasukan memungkinkan tidak adanya lost control terhadap prajurit TNI di Papua.

Dan terakhir, pengendalian terhadap pasukan untuk memastikan gelar pasukan non-organik atau BKO tidak lagi diperlukan dalam misi prefentif dan persuasif di Papua. (*)

Terkini

Populer Minggu Ini:

Orang Mee dan Moni Saudara, Segera Hentikan Pertikaian!

0
“Kami tegaskan, jangan terjadi permusuhan sampai konflik diantara orang Mee dan Moni. Semua masyarakat harus tenang. Jangan saling dendam. Mee dan Moni satu keluarga. Saudara dekat. Cukup, jangan lanjutkan kasus seperti ini di Nabire, dan di daerah lain pun tidak usah respons secara berlebihan. Kita segera damaikan. Kasus seperti ini jangan terulang lagi,” ujarnya.

Fortnightly updates in English about Papua and West Papua from the editors and friends of the banned 'Suara Papua' newspaper.