BeritaDikhawatirkan Sidang HAM Paniai Tidak Ungkap Unsur Komando

Dikhawatirkan Sidang HAM Paniai Tidak Ungkap Unsur Komando

JAYAPURA, SUARAPAPUA.com — Banyak kalangan menyangsikan proses persidangan kasus Paniai Berdarah 8 Desember 2014 yang mulai disidangkan hari ini, Rabu (21/9/2022) di Pengadilan Negeri Makassar, Sulawesi Selatan.

Sorotan dari berbagai pihak terutama karena proses persidangannya terkesan dipaksakan yang dicurigai demi bahan pencitraan negara di mata internasional tanpa menuntaskan kasus pelanggaran HAM berat di Indonesia dengan benar-benar adil sesuai fakta lapangan.

Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI) bahkan mengkhawatirkan sidang dugaan pelanggaran HAM berat kasus Paniai yang mulai disidangkan itu tidak mengungkap unsur komando dan pertanggungjawaban institusional.

“Kalau ini tidak ada, maka ini sama dengan pidana pada umumnya,” ujar Julius Ibrani, ketua PBHI, Selasa (20/9/2022) saat mendatangi kantor Komisi Yudisial (KY) di Jakarta.

Pengurus PBHI bersama YLBHI, KontraS, dan Amnesty International Indonesia datang ke kantor KY untuk beraudiensi terkait pemantauan persidangan pengadilan HAM kasus Paniai.

Julius Ibrani mengatakan, dari hasil pemeriksaan penyelidikan yang dilakukan Komnas HAM RI sebagaimana telah diserahkan ke Kejaksaan Agung, Koalisi Masyarakat Sipil tidak melihat adanya unsur komando termasuk pertanggungjawaban institusi atas kasus Paniai.

“Seragamnya pengadilan HAM, tetapi sebetulnya materinya tidak memenuhi unsur HAM atau memperlihatkan unsur HAM,” ujarnya, dilansir Kompas.com.

Hal tersebut terjadi akibat unsur komando dan pertanggungjawaban institusional tidak diseret atau masuk ke dalam kasus tersebut.

“Ini yang kami khawatirkan saat persidangan kasus Paniai,” kata Julius.

Dikhawatirkan juga jangan sampai majelis hakim dengan tugas utama menggali kebenaran materiil justru tidak menggali kebenaran materiil dalam konteks HAM.

Baca Juga:  Perda Pengakuan dan Perlindungan MHA di PBD Belum Diterapkan

Koalisi Masyarakat Sipil menduga bisa saja ada pelaku utama, tetapi tidak terseret atau tersentuh dalam peristiwa berdarah 2014 tersebut.

Jika kekhawatiran tersebut tidak direspons, dia menyebut ada potensi terjadinya impunitas hukum bagi pelaku dan repetisi atau keberulangan karena tidak adanya reformasi institusional.

Pengadilan Rekayasa

Dalam konferensi pers melalui kanal Youtube bertajuk “Potret Suram Penyelesaian Pelanggaran HAM Berat Paniai: Mampukah Pengadilan Menghadirkan Keadilan?”, Selasa (20/9/2022) kemarin, Julius Ibrani mengungkapkan, bagaimana caranya seolah-olah negara bertanggungjawab dalam konteks berbalut HAM, maka materinya dibuat seperti tindak pidana umum. Disidangkan di ruang pengadilan HAM.

“Ini yang kami sebut sebagai peradilan rekayasa yang menuntut unsur-unsur pokok dari pelanggaran HAM berat itu sendiri, yang bakal kita saksikan di pengadilan tidak mungkin bisa sampai mendalam mengenai siapa komando tertinggi, lalu bagaimana operasi itu berjalan dengan mekanisme rapat-rapat instansi, perintah dari bawah ke atas, penggunaan senjata laras panjang dan pendek. Kita tidak akan melihat itu, karena sedari awal kita melihat ini sengaja dikebiri dari segi awal penyelidikan,” bebernya.

Julius menilai bahkan tidak mungkin nanti berkas dakwaan tiba tiba melampaui apa yang diselidiki sejak awal. Karena itu, pihaknya menyebut ini sebuah peradilan rekayasa. Seolah olah bertanggungjawab secara HAM, padahal substansinya tidak ada sama sekali.

“Jika betul ini adalah peradilan rekayasa yang hanya untuk menyampaikan kepada publik mereka bertanggungjawab di Papua, maka ini hanya akan menjadi legitimasi politik belaka. Tidak ada yang namanya kebenaran materil yang dicari oleh majelis hakim, tidak ada keadilan bagi korban dan tidak ada penegakan HAM bagi halayak ramai utamanya masyarakat Papua,” ujarnya.

Baca Juga:  Yakobus Dumupa Nyatakan Siap Maju di Pemilihan Gubernur Papua Tengah

Lanjut Ibrani, “Kami membayangkan ini action seperti kasus Ferdy Sambo, dia ramai dengan sidang etik dan lainnya, tetapi kita tidak bisa mendengar suaranya, termasuk apa yang disampaikan. Dan kami menduga persidangan Pelanggaran HAM Berat Paniai bakal seperti itu.”

Dikhawatirkan juga,Majelis Hakim tidak akan berani menggali lebih jauh di luar daripada materi yang disampaikan oleh Jaksa Penuntut Umum.

“Itu akan membenarkan apa yang disampaikan Mahfud MD, mereka kongkalikong, merekayasa suatu perkara bukan untuk tujuan kebenaran materil dan keadilan bagi korban, tetapi untuk kepentingan belaka,” ujar Ibrani.

Bahkan menurut Pdt. Matheus Adadikam, direktur ELSHAM Papua, sidang perkara Paniai Berdarah akan sama dengan pengadilan sebelumnya yang juga berkaitan dengan kasus pelanggaran HAM Berat.

Kasus Paniai didorong segera disidangkan dengan sangat cepat seakan dipaksakan. Apalagi terdakwa hanya satu saja makin menguat dugaan persidangannya formalitas belaka.

“Dugaan kami ini adalah tekanan khusus yang menyebabkan negara mengangkat citranya di mata internasional tentang janji penyelesaian kekerasan dan pelanggaran HAM masa lalu bisa berjalan,” kata Adadikam.

Negara dinilai sedang berusaha untuk mencari citra baik seakan sedang serius menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat di Indonesia khususnya di Tanah Papua.

Baca Juga:  KKB Minta Komisi Tinggi HAM Investigasi Kasus Penyiksaan OAP

“Peristiwa Paniai Berdarah membuktikan kepada kita semua bahwa upaya yang dilakukan tidak serius, buktinya keluarga korban menarik diri dan ada protes. Negara juga tidak serius menangani kasus-kasus pelanggaran HAM lain yang terjadi Tanah Papua ini,” ujarnya.

Pernyataan keras datang dari Usman Hamid, direktur eksekutif Amnesty International Indonesia.

Usman menilai proses pengadilan HAM kasus Paniai akan menjadi ujian berat terutama dengan proses hukum sebelumnya. Hasil persidangannya apakah akan memberi keadilan bagi keluarga korban dan masyarakat Papua atau tidak.

Hal ini karena penetapan terdakwa hanya satu, sementara hasil proses penyelidikan sebelumnya menyatakan kasus Paniai Berdarah sebagai pelanggaran HAM Berat. Kategori pelanggaran HAM Berat tidak pernah pelakunya hanya satu orang.

“Biasanya lebih, dilakukan terstruktur dan tersistematis sesuai garis komando. Bagaimana mungkin satu orang mau mengungkapkan seluruh kronologi kejadian. Siapa pemberi komando, siapa pelaksana. Satu orang tidak bisa mewakili seluruhnya. Bagaimana jaksa mau mengkonstruksi dakwaannya di pengadilan, apalagi satu terdakwa saja yang di lapangan dilakukan banyak pelaku,” tuturnya.

Pesimis dengan hal itu, ia mendesak keseriusan negara menegakkan hukum dan keadilan.

Terdakwa Mayor Inf (Purn) IS dihadirkan dalam sidang perdana kasus pelanggaran HAM Berat Paniai di PN Makassar, Rabu (21/9/2022). Sidang dengan nomor perkara 1/Pid.Sus-HAM/2022/PN.Mks itu dipimpin Sutisna Sawati sebagai ketua majelis didampingi Abdul Rahman Karim, Siti Noor Laila, Robert Pasaribu, dan Sofi Rahma Dewi, masing-masing sebagai hakim anggota.

REDAKSI

Terkini

Populer Minggu Ini:

20 Tahun Menanti, Suku Moi Siap Rebut Kursi Wali Kota Sorong

0
"Kami ingin membangun kota Sorong dalam bingkai semangat kebersamaan, sebab daerah ini multietnik dan agama. Kini saatnya kami suku Moi bertarung dalam proses pemilihan wali kota Sorong," ujar Silas Ongge Kalami.

Fortnightly updates in English about Papua and West Papua from the editors and friends of the banned 'Suara Papua' newspaper.