BeritaJaksa Agung RI Didesak Umumkan Alasan Tetapkan Satu Terdakwa Saja

Jaksa Agung RI Didesak Umumkan Alasan Tetapkan Satu Terdakwa Saja

JAYAPURA, SUARAPAPUA.com — Sidang Perkara Pelanggaran HAM Berat Paniai dengan hanya satu terdakwa tunggal yang digelar di Pengadilan Negeri Makassar, Rabu (21/9/2022), menuai sorotan publik. Tak terkecuali dari keluarga korban, juga aktivis HAM.

Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Papua termasuk juga yang soroti perkara ini. Terutama mempertanyakan dalil penetapan satu tersangka hingga berstatus terdakwa dalam tragedi Paniai Berdarah 8 Desember 2014.

Sidang perdana yang terdaftar dengan Register Perkara Nomor 1/Pid.Sus-HAM/2022/PN Mks menghadirkan Terdakwa Mayor Inf (Purn) Isak Sattu. Mantan Perwira Penghubung (Pabung) Komando Rayon Militer 1705-02/Enarotali itu didakwa dua Pasal.

Jaksa Penuntut Umum (JPU) membacakan Surat Dakwaan Nomor PDS-01/PEL.HAM.BERAT/PANIAI/05/2022, Terdakwa didakwa melanggar Pasal 42 ayat (1) huruf a dan huruf b Jis Pasal 7 huruf b, Pasal 9 huruf a, Pasal 37 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia (HAM), dan atau dakwaan kedua melanggar Pasal 42 ayat (1) huruf a dan huruf b Jis Pasal 7 huruf b, Pasal 9 huruf h, Pasal 40 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan HAM.

Dalam siaran pers LBH Papua dengan Nomor 011/SP-LBH-Papua/IX/2022 tertanggal 23 September 2022 yang dikirim ke Suara Papua, Emanuel Gobay, Direktur LBH Papua mengungkapkan bahwa dalam Surat Dakwaan yang dibacakan JPU terdapat nama kesatuan serta oknum-oknum Anggota yang disebutkan.

Pertama, dari Institusi Kepolisian nama-namanya adalah Saksi Kompol H selaku Wakapolres Paniai memerintahkan Kabag Ops Polres Paniai Saksi Kompol S, Kasat Sabhara Polres Paniai Saksi AKP AT, Kasat Bimas Polres Paniai Saksi AKP LRB, dan Kapolsek Paniai Timur Saksi AKP PGB.

Kedua, dari Kesatuan Raider/Timsus 753/Batalyon 753/AVT Nabire nama-namanya adalah Saksi Lettu PIB (Danki Yonif 753/AVT), dan Anggotanya sekitar 7-8 orang, Saksi Kapten (Pas) HH.

Ketiga, dari Institusi Komando Rayon Militer (Koramil) 1705-02/Enarotali namanya adalah Saksi Kapten J selaku Danramil 1705-02/Enarotali.

LBH Papua menyebutkan dengan berdasarkan tiga fakta itu, ada tiga subjek hukum institusi keamanan yang berada di Tempat Kejadian Perkara (TKP), yaitu Kepolisian Resort Paniai, Kesatuan Raider/Timsus 753/Batalyon 753/AVT Nabire, dan Koramil 1705-02/Enarotali.

“Hanya satu subjek hukum institusi keamanan yaitu Koramil 1705-02/Enarotali yang disebutkan oleh JPU dalam Surat Dakwaan itu secara langsung melahirkan pertanyaan tersendiri. Sebab dalam kronologis singkat yang disebutkan JPU telah menunjukkan peran dari masing-masing institusi keamanan di TKP, baik di Ipakiye Gunung Merah pada tanggal 7 Desember 2014 dan di Lapangan Karel Gobai Enarotali pada tanggal 8 Desember 2014. Secara spesifik, peran dari ketiga subjek hukum institusi keamanan sangat jelas terlihat pada tanggal 8 Desember 2014 di lapangan Karel Gobai yang berujung dengan fakta tertembaknya empat orang pelajar atas nama Alpius Youw, Alpius Gobay, Yulian Yeimo, dan Simon Degey,” bebernya.

Adapun keterangan singkat kronologi yang dibuat oleh JPU dalam Surat Dakwaan kasus pelanggaran HAM Berat Paniai, memuat dua kronologi.

Kronologi pertama: “Pada saat Saksi Kompol H melakukan negosiasi, dari arah bawah ujung jalan ke arah lapangan Karel Gobai terdengar rentetan tembakan sekitar 5 sampai dengan 6 kali, sehingga massa mengejar ke sumber suara tembakan tersebut dan merusak satu unit kendaraan roda empat SUV Toyota Rush yang digunakan oleh Saksi Lettu PIB (Danki Yonif 753/AVT) dan Anggotanya serta massa berupaya merebut senjata, sehingga Anggota Satgas Yonif 753/AVT melakukan tembakan peringatan ke atas Prasenta Imanuel Bangun agar massa mundur. Selanjutnya Saksi Kompol H berjalan ke arah sumber tembakan dan bertemu dengan anggota TNI yang berasal dari Kesatuan Raider/Timsus 753/Batalyon 753/AVT Nabire (berjumlah sekitar 8-12 orang) yang dipimpin oleh Saksi Lettu Inf PIB dan sekaligus meminta untuk tidak melakukan tembakan”, sebagaimana termuat pada halaman 3 dan halaman 7 Surat Dakwaan tersebut.

Baca Juga:  Raih Gelar Doktor, Begini Pesan Aloysius Giyai Demi Pelayanan Kesehatan di Papua

Kronologi kedua: “Sesampainya di lapangan Karel Gobai, massa bersama-sama melakukan tarian perang (Waita) saat melewati Markas Koramil 1705-02/Enarotali, kemudian Terdakwa Mayor Inf (Purn) Isak Sattu memerintahkan Anggota Koramil 1705-02/Enarotali untuk tutup pagar agar massa tidak masuk, sehingga Anggota Koramil 1705-02/Enarotali menutup pagar dan Terdakwa Mayor Inf (Purn) Isak Sattu selaku Pabung dan Perwira Menengah yang menyandang pangkat tertinggi di Koramil 1705-02/Enarotali oleh karena Saksi Kapten J selaku Danramil 1705-02/Enarotali tidak berada di tempat, terdakwa melihat dan membiarkan Anggota Koramil 1705-02/Enarotali mengambil senjata api dan peluru tajam dari gudang senjata dengan tidak mencegah atau menghentikan perbuatan tersebut. Selain itu, Anggota Koramil 1705-02/Enarotali juga meminta massa yang memanjat pagar untuk turun, namun tidak membuat massa menurutinya bahkan ada salah seorang dari massa melakukan perlawanan dengan mengatakan, “tembak sudah saya, karena itu senjata bukan milik kalian, tetapi milik negara”, yang selanjutnya Anggota Koramil 1705-02/Enarotali melakukan tembakan peringatan sambil berteriak kepada Terdakwa Mayor Inf (Purn) Isak Sattu selaku Perwira Penghubung, “Komandan, kami mohon petunjuk, kantor kita sudah diserang” dan pada saat itu anggota Koramil 1705-02/Enarotali melakukan penembakan ke arah massa dan juga melakukan pengejaran serta penikaman dengan menggunakan sangkur”, sebagaimana termuat pada halaman 3 – halaman 4 dan halaman 7 – halaman 8 Surat Dakwaan tersebut.

Dari fakta hukum tersebut, kata Emanuel, secara langsung menunjukkan posisi peristiwa yang dilakukan secara berbeda baik oleh Saksi Kompol Hanafiah dari institusi Kepolisian Resort Paniai dan Kesatuan Raider/Timsus 753/Batalyon 753/AVT Nabire (berjumlah sekitar 8-12 orang) yang dipimpin oleh Saksi Lettu Inf PIB di arah bawah ujung jalan ke arah Lapangan Karel Gobai dan Terdakwa Mayor Inf (Purn) Isak Sattu dan Anggota Koramil 1705-02/Enarotali di Markas Koramil 1705-02/Enarotali terletak di depan Lapangan Karel Gobai.

“Atas dasar kesimpulan itu semakin menguatkan pertanyaan terkait mengapa hanya Terdakwa Mayor Inf (Purn) Isak Sattu selaku perwira menengah yang menyandang pangkat tertinggi di Koramil 1705-02/Enarotali yang dijadikan Terdakwa, sementara subjek hukum dari institusi keamanan lainnya yang juga ada di sekitar TKP tepatnya di Lapangan Karel Gobai Enarotali pada tanggal 8 Desember 2014 tidak ditetapkan menjadi Terdakwa,” Emanuel mempertanyakan.

Jauh sebelum perkara ini diperiksa di Pengadilan Hak Asasi Manusia Makasar, kata Gobay, Komnas HAM Republik Indonesia melalui Ketua Tim Ad Hoc, M Choirul Anam menyatakan bahwa peristiwa Paniai berdarah sudah memenuhi unsur kejahatan kemanusiaan. Kata Anam, terdapat unsur pembunuhan dan tindakan penganiayaan, sistematis, meluas dan ditujukan pada penduduk sipil dalam kasus Paniai, sehingga peristiwa tersebut dapat dikategorikan sebagai pelanggaran HAM berat.

Baca Juga:  PTFI Bina Pengusaha Muda Papua Melalui Papuan Bridge Program

Penyataan tersebut sebagaimana telah diberitakan oleh Kompas.com, bahwa berdasarkan hasil penyelidikan, tim menyimpulkan bahwa anggota TNI yang bertugas pada medio peristiwa tersebut, baik dalam Struktur Komando Kodam XVII/Cenderawasih sampai Komando Lapangan di Enarotali, Paniai, diduga sebagai pelaku yang bertanggungjawab.

Menurut Anam, “Tim Ad Hoc telah melakukan penyelidikan kepada para saksi sebanyak 26 orang, meninjau dan memeriksa TKP di Enarotali, Kabupaten Paniai, memeriksa berbagai dokumen, melakukan diskusi dengan beberapa ahli, dan mengumpulkan informasi yang menunjang pengungkapan peristiwa.”

Dengan dasar pernyataan Komisioner Komnas HAM RI serta fakta hanya satu terdakwa, Emanuel Gobay menyatakan bahwa ada dugaan kejanggalan dalam proses penyidikan yang dilakukan oleh tim Jaksa Agung.

“Berdasarkan pada kesimpulan Komnas HAM RI terkait struktur komando Kodam XVII/Cenderawasih sampai komando lapangan di Enarotali diduga sebagai pelaku yang bertanggungjawab saat penyelidikan, tetapi mengapa hanya satu tersangka saja?” tanyanya.

LBH Papua membedah kejanggalan tersebut masih terus terlihat hingga proses penuntutan sebagaimana tercermin dalam proses penyusunan Surat Dakwaan yang hanya menetapkan Mayor Inf (Purn) Isak Sattu sebagai terdakwa, sementara yang lainnya ditempatkan pada posisi saksi.

Dengan kesimpulan tersebut, LBH Papua mendesak kepada Komnas HAM RI dengan menggunakan kewenangannya sesuai ketentuan “Komisi Nasional Hak Asasi Manusia sewaktu-waktu dapat meminta keterangan secara tertulis kepada Jaksa Agung mengenai perkembangan penyidikan dan penuntutan perkara pelanggaran hak asasi manusia yang berat”, sebagaimana diatur pada Pasal 25 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan HAM, segera meminta keterangan secara tertulis kepada Jaksa Agung untuk menjelaskan alasan hanya menetapkan Mayor Inf (Purn) Isak Sattu sebagai tersangka dalam proses penyidikan dan dilanjutkan dengan status terdakwa dalam proses penuntutan, sementara institusi keamanan lainnya tidak.

“Ketua Komnas HAM RI segera meminta keterangan secara tertulis kepada Jaksa Agung mengenai perkembangan penyidikan dan penuntutan perkara pelanggaran hak asasi manusia yang berat sebagaimana diatur pada Pasal 25 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia,” ujarnya.

Selain itu, mencermati dua kronologi dalam surat dakwaan itu secara langsung juga melahirkan kecurigaan adanya dugaan kejanggalan tertentu yang bersumber dari adanya kepentingan-kepentingan terselubung, sehingga terkesan mengartikan fakta hukum yang terjadi secara subjektif.

Oleh karena itu, LBH Papua menyarankan Komisi Kejaksaan Republik Indonesia menjalankan tugasnya dalam mengawasi kinerja JPU Kasus Pelanggaran HAM Berat Paniai sesuai perintah ketentuan “Melakukan pengawasan, pemantauan dan penilaian terhadap kinerja dan perilaku Jaksa dan/atau pegawai Kejaksaan dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya yang diatur dalam peraturan perundang-undangan dan kode etik”, sebagaimana diatur pada Pasal 3 huruf a Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2011 Tentang Komisi Kejaksaan Republik Indonesia. Sebab melalui kejanggalan-kejanggalan di atas menunjukkan adanya dugaan pelanggaran ketentuan “menggunakan jabatan dan/atau kekuasaannya untuk kepentingan pribadi dan/atau pihak lain dan merekayasa fakta-fakta hukum dalam penanganan perkara”, sebagaimana diatur pada Pasal 4 ayat (1) dan ayat (2) Peraturan Jaksa Agung Nomor PER-067/A/JA/07/2007 Tentang Kode Perilaku Jaksa.

“Ketua Komisi Kejaksaan Republik Indonesia dapat menjalankan tugasnya melakukan pengawasan, pemantauan dan penilaian terhadap kinerja Jaksa Penuntut Umum dalam Kasus Pelanggaran HAM Berat Paniai sesuai ketentuan Pasal 3 huruf a Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2011 Tentang Komisi Kejaksaan Republik Indonesia,” tegasnya.

Baca Juga:  Hilangnya Keadilan di PTTUN, Suku Awyu Kasasi ke MA

Penegasan ketiga dialamatkan kepada Jaksa Agung Republik Indonesia untuk mengungkapkan alasan penetapan satu orang tersangka hingga statusnya terdakwa dalam kasus pelanggaran HAM Berat Paniai.

“Jaksa Agung Republik Indonesia segera berikan keterangan tertulis terkait alasan penetapan satu orang tersangka dalam penyelidikan dan satu orang terdakwa dalam kasus pelanggaran HAM Berat Paniai kepada Komnas HAM RI,” ujarnya lagi.

Desakan tersebut disampaikan LBH Papua menggunakan kewenangan yang diberikan berdasarkan ketentuan “Setiap orang, kelompok, organisasi politik, organisasi masyarakat, lembaga swadaya masyarakat, atau lembaga kemasyarakatan lainnya, berhak berpartisipasi dalam perlindungan, penegakan, dan pemajuan hak asasi manusia” sebagaimana diatur pada Pasal 100 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang HAM.

Tidak Ungkap Unsur Komando

Meskipun Komnas HAM RI berdasarkan hasil penyelidikannya yang telah diserahkan ke Kejaksaan Agung RI terdapat unsur komando termasuk pertanggungjawaban institusi atas kasus Paniai berdarah, dalam perkembangannya hal itu tidak terlihat dengan terbukti penetapan hanya satu tersangka tunggal yang kini sedang diadili di PN Makassar.

Kekhawatiran itu dikemukakan Julius Ibrani, ketua Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI), saat bersama pengurus PBHI, YLBHI, KontraS, dan Amnesty International Indonesia mendatangi kantor Komisi Yudisial (KY) di Jakarta untuk beraudiensi terkait pemantauan persidangan pengadilan HAM kasus Paniai, Selasa (20/9/2022) lalu.

Unsur komando dan pertanggungjawaban institusional dalam kasus pelanggaran HAM Berat Paniai tidak diseret, ujar dia, tidak lebih dari pidana umum.

“Kalau ini tidak ada, maka ini sama dengan pidana pada umumnya,” ujar Julius.

Lanjut Julius, “Seragamnya pengadilan HAM, tetapi sebetulnya materinya tidak memenuhi unsur HAM atau memperlihatkan unsur HAM.”

Saat konferensi pers melalui kanal Youtube bertajuk “Potret Suram Penyelesaian Pelanggaran HAM Berat Paniai: Mampukah Pengadilan Menghadirkan Keadilan?”, Selasa (20/9/2022), Julius Ibrani menyatakan, bagaimana caranya seolah-olah negara bertanggungjawab dalam konteks berbalut HAM, maka materinya dibuat seperti tindak pidana umum dn disidangkan di ruang pengadilan HAM.

“Ini yang kami sebut sebagai peradilan rekayasa yang menuntut unsur-unsur pokok dari pelanggaran HAM berat itu sendiri, yang bakal kita saksikan di pengadilan tidak mungkin bisa sampai mendalam mengenai siapa komando tertinggi, lalu bagaimana operasi itu berjalan dengan mekanisme rapat-rapat instansi, perintah dari bawah ke atas, penggunaan senjata laras panjang dan pendek. Kita tidak akan melihat itu, karena sedari awal kita melihat ini sengaja dikebiri dari segi awal penyelidikan,” bebernya.

Julius menilai bahkan tidak mungkin nanti berkas dakwaan tiba-tiba melampaui apa yang diselidiki sejak awal. Karena itu, pihaknya menyebut ini sebuah peradilan rekayasa. Seolah-olah bertanggungjawab secara HAM, padahal substansinya tidak ada sama sekali.

“Jika betul ini adalah peradilan rekayasa yang hanya untuk menyampaikan kepada publik mereka bertanggungjawab di Papua, maka ini hanya akan menjadi legitimasi politik belaka. Tidak ada yang namanya kebenaran materil yang dicari oleh majelis hakim, tidak ada keadilan bagi korban dan tidak ada penegakan HAM bagi khalayak ramai utamanya masyarakat Papua,” ujarnya.

REDAKSI

Terkini

Populer Minggu Ini:

Jurnalis Senior Ini Resmi Menjabat Komisaris PT KBI

0
Kendati sibuk dengan jabatan komisaris BUMN, dunia jurnalistik dan teater tak pernah benar-benar ia tinggalkan. Hingga kini, ia tetap berkontribusi sebagai penulis buku dan penulis artikel di berbagai platform media online.

Fortnightly updates in English about Papua and West Papua from the editors and friends of the banned 'Suara Papua' newspaper.