BeritaEmpat Saksi Berbeda Keterangan di PN Makassar, Peluru Milik Siapa?

Empat Saksi Berbeda Keterangan di PN Makassar, Peluru Milik Siapa?

PANIAI, SUARAPAPUA.com — Empat orang saksi dihadirkan dalam sidang lanjutan kasus pelanggaran HAM Berat Paniai 8 Desember 2014 di Pengadilan Negeri Makassar Makassar, Kamis (6/10/2022).

Dua diantaranya, Kapolres Paniai AKBP (Purn) Daniel T Prionggo, dan Wakapolres Paniai Kompol Hanafi.

Keduanya memberi kesaksikan di Ruang Bagir Manan PN Makassar.

Berturut-turut dua saksi lainnya, Kepala Distrik Paniai Timur Pius Gobay, dan Ketua Dewan Adat Paniai John NR Gobai.

Dalam sidang kasus pelanggaran HAM Berat yang menjerat eks perwira penghubung (Pabung Komando Distrik Militer 1705/Paniai, Mayor Inf (Purn) Isak Sattu, Hanafi mengaku saat di TKP pertama pada pagi hari itu sempat mendengar suara letusan senjata dari arah perbukitan.

Wakapolres juga menceritakan kejadiannya berawal dari dugaan pemukuluan terhadap anak-anak di pondok Natal Gunung Merah (Togokotu). Itu setelah Hanafi mendapat laporan langsung dari Pius Gobay di rumah dinasnya.

Baik pada kejadian pertama (7 Desember 2014) maupun pada kejadian kejadian yakni penembakan dan penikaman (8 Desember 2014), Hanafi mengaku bahwa Kapolres AKBP (Purn) Daniel T Prionggo sedang bertugas luar dari Polda Papua. Dia pejabat tertinggi di Polres Paniai saat itu.

Di TKP pertama Hanafi mengaku melihat kerumunan orang sebelum bergerak sambil waita ke lapangan Karel Gobay. Dia juga mengaku melihat sejumlah orang membawa kapak dan batu.

Lanjut Hanafi, ketika kondisi semakin memanas, personel yang ada di Polsek Paniai Timur diperintahkan untuk ambil senjata.

“Saya perintahkan ambil senjata, karena mendengar suara tembakan dari atas bukit,” katanya.

Dalam kesaksiannya, Hanafi mengaku tidak melihat secara langsung terjadinya penembakan di Koramil 1705-02/Enarotali.

Dia hanya mendapatkan laporan kalau ada penembakan di Koramil karena massa tidak terkontrol.

“Tidak tahu siapa yang melakukan penembakan. Informasi dari anggota, ada suara tembakan dari arah Koramil,” kata Hanafi.

Sering menjawab tidak tahu terkait kasus HAM berat yang diduga dilakukan oleh terdakwa, Hanafi dicecar berbagai pertanyaan dari majelis.

Saksi dengan background intelijen, hakim anggota Siti Noor Laila merasa tidak puas dengan penjelasan Hanafi. Apa saja upaya pencegahan yang dilakukan aparat kepolisian sehubungan dengan situasi di TKP pertama hingga terjadi peristiwa berdarah.

“Tadi sudah disinggung oleh majelis hakim lain ini bahwa kenapa banyak tidak tahunya. Apakah memang kepolisian pada saat itu tidak bisa mengendalikan massa di lapangan yang melakukan kekerasan, yang melakukan anarki?” tanya Laila.

Sempat tersudut dengan pertanyaan tersebut, Hanafi mengatakan, massa dalam situasi tidak terkendali dan rentetan kejadiannya sangat berdekatan.

“Massa tidak bisa dikendalikan lagi karena situasi cepatnya itu. Kami sulit memprediksi yang mulia. Kecepatan peningkatan eskalasi tempramen daripada massa tadi,” jawab Hanafi.

Hanafi juga sebelumnya dicecar hakim anggota Robert Pasaribu.

Robert Pasaribu bahkan sampai tensi tinggi karena berulang kali saksi menjawab tidak tahu soal insiden Paniai berdarah.

Saksi menurut hakim tidak ada upaya pencegahan sejak awal sebelum kasus berdarah itu terjadi. Upaya negosiasi dengan warga agar bisa tenang dan tidak berlanjut jalan kaki ke lapangan Karel Gobai. Fungsi intelijen kepolisian membaca situasi saat jalan diblokade dan ketika warga melakukan ‘waita’ jalan, dianggap tidak dilakukan untuk mencegah terjadinya tindakan anarkis.

Baca Juga:  Pelaku Penyiksaan Harus Diadili, Desakan Copot Pangdam Cenderawasih Terus Disuarakan

“Walaupun eskalasi waktunya tinggi, apakah tidak bisa membaca situasi bahwa ini nanti kalau seperti ini (dicegah ke depan Koramil) akan berpotensi (ricuh), apalagi katanya sudah memahami karakteristik orang Papua itu seperti apa,” ujar Robert.

Menurut Hanafi, masyarakat memalang jalan untuk meminta pelaku pemukulan yang menurut warga dilakukan oknum TNI itu dihadirkan. Tetapi Hanafi mengaku tidak tahu siapa pelakunnya.

“Ya saya tidak tahu (pelaku pemukulan). Itu saya tidak tahu kenapa bergeser ke situ (dari lokasi blokade jalan berpindah ke depan Koramil),” jawab Hanafi.

Hakim Robert dengan nada mulai meninggi kembali mencecar saksi bahwa hal tersebut harusnya tetap dapat diprediksi dan dicegah.

“Tidak ada analisis intelijennya Polres?” tanyanya.

Hanafi menjawab pertanyaan itu dengan mengatakan tidak ada intelijen kepolisian saat itu karena kejadiannya benar-benar di luar dugaan.

“Tidak, tidak ada. Tidak tahu. Ini diluar dugaan semua,” katanya.

Jawaban itu bikin Hakim Robert terus mencecar dengan suara terdengar makin tinggi.

“Iya, tapi walaupun di luar dugaan, biasanya ada katakanlah kerumunan massa, biasanya kan aparat kepolisian ada yang memantau, pokoknya kan tidak tinggal diam,” cecar Robert.

“Kalau ini kan kesannya kan. Apalagi saudara tadi katakan banyak tidak tahunya. Kesannya kan aparat keamanan ini, khususnya aparat kepolisian ya tidak mau tahu,” sambungnya.

Robert juga menyinggung pengakuan Hanafi sempat dihalangi pihak lain untuk melihat ke luar setelah insiden di depan Koramil.

“Jangan-jangan juga agak sungkan dengan pasukan lain misalnya dan lain sebagainya. Kesannya aparat kepolisian ini kan banyak tidak tahunya,” kata Robert.

Sementara, Daniel T Prionggo mengaku tidak mengetahui awal kejadian hingga terjadi tragedi berdarah di lapangan Karel Gobay. Saat kejadian dia sedang tugas luar daerah dari Polda Papua.

Daniel mengaku tahu ada kejadian itu setelah mendapat laporan dari Kepala Staf Kodim (Kasdim) dan Wakapolres Paniai.

Dia baru turun melakukan penyelidikan setelah tanggal 8 Desember 2014.

“Saat tiba saya langsung ke rumah sakit dan lanjut ke TKP,” kata Daniel.

Saat itu, kata Daniel, kondisi Paniai Timur sudah berangsur kondusif.

Tetapi saat itu belum tahu secara pasti jumlah korban meninggal dan luka-luka.

“Saya tidak tahu itu. Murni pencarian selongsong tadi,” katanya.

Kepada Daniel juga sempat ditanya penasihat hukum terdakwa soal aturan menembak di saat kondisi genting. Daniel bilang, penggunaan senjata api diatur dalam Peraturan Kapolri Nomor 1 Tahun 2019.

“Secara prosedural, ada tahapan apabila massa anarkis, anggota diserang, (senjata) diarahkan pinggang ke bawah. Dilumpuhkan, bukan dimatikan,” jelasnya.

Aniaya Delapan Anak

Pius Gobay yang saat kejadian menjabat sebagai kepala distrik Paniai Timur, dalam kesaksiannya mengungkapkan awal kejadian dari tindakan penganiayaan sadis menggunakan senjata terhadap delapan anak di pondok Natal Togokotu, Minggu (7/12/2014) malam.

Baca Juga:  Pilot Selandia Baru Mengaku Terancam Dibom Militer Indonesia

Adanya kasus penganiayaan itu Pius Gobay terima dari anaknya sendiri, atau Marselina Gobay.

“Sebelum anak-anak dipukul, ada dua motor yang datang gelap-gelap, tidak pakai lampu. Setelah itu ada datang pasukan, langsung pukul dan tendang,” katanya menceritakan.

Jaksa kemudian mencoba mendalami pelaku pemukulan. Saksi Pius Gobay tidak dapat mengidentifikasinya.

“Saya bertanya ke anak saya, pendatang kah orang asli? Anak saya bilang, pendatang. Waktu itu pakai pakaian preman. Semua bawa senjata. Anak-anak korban dipukul pakai senjata,” bebernya.

Pius merinci korban berjumlah 8 anak. Semuanya ditendang, dipukul. Kepala mereka benjol.

“Yang ke rumah sakit hanya 3 orang. Benyamin, Julian, satu lagi anak saya tetapi lukanya tidak parah jadi ambil obat saja. Yang berat itu Julian. Dia belum sadar. Waktu itu mereka bersihkan rambut, di kepalanya benjol-benjol.”

Menurut Pius Gobay, insiden pemukulan itu terjadi sekitar Pukul 20.00 WIT.

Melaporkan kasus tersebut ke polisi, namun dia mengaku Wakapolres Paniai Kompol Hanafi mengarahkan korban ke rumah sakit. Tetapi tidak minta keterangan kepada korban. Hanya tiga dari total delapan korban dibawa ke rumah sakit karena mengalami luka berat.

“Waktu itu kami dengan Wakapolres ke rumah sakit saja. Saya dengan beliau, perintah dia saya antar korban ke rumah sakit berobat,” katanya.

Tidak jelasnya pelaku penganiayaan pada malam itu, warga memalang jalan di depan pondok Natal. Pagi hari, aparat kepolisian datang ke lokasi, tetapi tidak diketahui pelakunya.

Situasi tidak kondusif, semua orang termasuk Pius Gobau mengamankan diri. Ratusan orang langsung menuju ke lapangan Karel Gobay.

Situasi dan kejadian di lapangan Karel Gobay menurut Pius Gobay tidak diketahui karena memilih tinggal di rumah.

Termasuk  mengatakan dirinya tak ada di lokasi saat massa dari lapangan Karel Gobay menggeruduk Kantor Koramil Enarotali. Saksi juga mengaku tak ada di lokasi saat jatuh korban jiwa akibat penembakan dan penikaman oknum Koramil.

Informasi mengenai adanya korban nyawa dan luka tembak itu Pius Gobay setelah beberapa saat kemudian.

Peluru Milik Siapa?

Sebuah video berisi situasi massa saat lewat depan kantor Polsek Paniai Timur dan rentetan bunyi senjata dalam tragedi Paniai Berdarah diputarkan di persidangan ini.

Video tersebut diputarkan saat ketua Dewan Adat Paniai John NR Gobai sebagai saksi hadir memberikan keterangan.

Jaksa menjelaskan, saksi telah menyerahkan barang bukti berupa flashdisk yang isinya berupa sebuah video yang menggambarkan situasi saat peristiwa Paniai berdarah itu terjadi.

Hakim kemudian mempersilakan video tersebut diputarkan.

Saat video ditayangkan, John NR Gobai menjelaskan letak posisi bangunan-bangunan yang terlihat di video.

Menurut John, video tersebut didapat dari masyarakat setempat tanggal 11 Desember 2014 atau tiga hari setelah setelah kejadian. Beberapa rekaman video pendek yang didapatnya tidak berurutan.

Baca Juga:  Pembagian Selebaran Aksi di Sentani Dibubarkan

Video yang diputar di ruang sidang tersebut diambil warga dari dekat Polsek Paniai Timur.

“Ini pertama gedung kantor Polsek, sebelahnya kantor Distrik, dan yang terakhir sana itu kantor Koramil,” jelas John

Jaksa bertanya, video tanggal 8 Desember 2014 itu diambil pada jam berapa?

Kata John, video diambil sekitar pukul 09.30 WIT.

Di video tersebut terdengar dengan jelas bunyi rentetan tembakan senjata.

Jaksa kemudian bertanya, suara rentetan senjata itu berasal dari arah mana?

John jawab, dari keterangan masyarakat, suara tembakan berasal dari arah Polsek dan Koramil.

Jaksa bertanya lagi, dari arah mana suara tembakan pertama kali terdengar?

Menurut John, tidak diketahui secara pasti dari mana lebih duluan.

Selain saat masyarakat sedang menuju ke lapangan Karel Gobay, video dan foto dan video yang diperlihatkan menunjukkan anggota TNI keluar dari Koramil dan membawa senjata. Juga situasi setelah kejadian, dan selongsong peluru yang ditemukan di beberapa lokasi.

John juga membantah kesaksian Kompol Hanafi yang mengaku tidak tahu banyak soal tragedi pelanggaran HAM berat Paniai. Kata John, Kompol Hanafi sempat memungut selongsong peluru pascainsiden yang menewaskan 4 orang dan puluhan lainnya luka-luka.

“Kami memperoleh informasi dari masyarakat, memang ada fotonya saudara Wakapolres Kompol Hanafi memungut selongsong peluru di pinggiran lapangan pasca penembakan,” kata Jhon.

Saksi kemudian mempertanyakan keberadaan selongsong peluru yang dipungut Wakapolres Paniai. Sampai sekarang tidak pernah dijelaskan.

“Ini jadi pertanyaan saya, selongsong yang diambil Wakapolres ada dimana? Itu kan bisa memperjelas peluru siapa yang mengenai tubuh korban,” ujarnya.

“Ataukah peluru siapa yang menyebabkan 17 warga sipil terkena tembakan yang memang tidak membuat mereka meninggal dunia, tapi mereka terluka peluru.”

John juga mengaku, almarhum bupati Paniai Hengky Kayame pernah memberikan selongsong peluru terkait kasus pelanggaran HAM Berat itu ke Mabes Polri.

Hasil penelitian terhadap selongsong peluru itu dipertanyakan, karena hingga kini belum pernah dilaporkan ke publik.

“Saya mendapat informasi bahwa almarhum bupati Kayame telah menyerahkan selongsong peluru kepada tim dari Mabes Polri,” lanjut John, “Ini juga yang selama ini menjadi pertanyaan kami, mana hasil penelitian atau hasil investigasi dari Mabes Polri karena kami selama ini dari masyarakat Paniai sampai hari ini tidak tahu. Ini akan memperjelas siapa pelakunya.”

Menanggapi pertanyaan JPU tentang selongsong peluru lain, termasuk dari seorang dokter bernama Agus, John mengaku, “Saya belum mendapatkan selongsong dari dokter Agus. Tetapi pada tahun 2016, saya membantu Komnas HAM untuk memfasilitasi mereka, dokter Agus menyerahkan hasil visum kepada Tim Ad Hoc Komnas HAM. Kalau selongsong dari dokter Agus, saya tidak terima.”

Sidang dimulai majelis hakim sejak Pukul 10.00 WITA dan berakhir Pukul 20.48 WITA. Sidang berikut, Senin (10/10/2022) pekan depan. Agendanya sama, mendengarkan keterangan saksi.

 

REDAKSI

 

Terkini

Populer Minggu Ini:

KPK Menang Kasasi MA, Bupati Mimika Divonis 2 Tahun Penjara

0
“Amar Putusan: Kabul. Terbukti Pasal 3 jo Pasal 18 UU PTPK jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP Jo Pasal 64 ayat (1) ke-1 KUHP. Pidana penjara 2 tahun dan denda Rp200 juta subsidair 2 tahun kurungan,” begitu ditulis di laman resmi Mahkamah Agung.

Fortnightly updates in English about Papua and West Papua from the editors and friends of the banned 'Suara Papua' newspaper.