BeritaSidang Pelanggaran HAM Berat Paniai: Akan Ada Keadilan?

Sidang Pelanggaran HAM Berat Paniai: Akan Ada Keadilan?

JAYAPURA, SUARAPAPUA.com — Sorotan tajam dari organisasi masyarakat sipil terus mengemuka tidak hanya setelah sidang kasus pelanggaran HAM Berat Paniai mulai digulirkan di Pengadilan Negeri Makassar sejak Rabu (21/9/2022) lalu. Dari sejumlah kejanggalan dalam proses penyidikan hingga penetapan hanya satu tersangka, ditambah dengan keterangan dari beberapa saksi, menyisakan tanda tanya besar dari proses persidangan perkara HAM ini. Apakah keadilan akan ditegakan?.

Sidang perkara dengan nomor perkara 1/Pid.Sus-HAM/2022/PN.Mks dengan terdakwa tunggal Mayor Infanteri (Purn) Isak Sattu sudah digelar empat kali. Pada saat peristiwa Paniai Berdarah, terdakwa menjabat sebagai Perwira Penghubung (Pabung) Komando Distrik Militer (Kodim) 1705/Paniai.

Dalam tiga kali sidang terakhir beragendakan mendengar keterangan dari saksi-saksi. Sedikitnya 11 orang dihadirkan sebagai saksi dalam tiga kali sidang.

Pada sidang kedua, Rabu (28/9/2022), Jaksa Penuntut Umum (JPU) hadirkan empat saksi yang nota bene anggota Polri dari Polres Paniai. Antara lain, Briptu Andi Richo Amir, Briptu Abner Onesimus Windesi, Bripka Riddo Bagaray, dan Aipda Haile ST. Wambrauw.

Di sidang ketiga, Senin (3/10/2022), JPU hadirkan tiga saksi di Ruang Bagir Manan PN Makassar. Yakni Kompol (Purn) Petrus Gawe Boro (Kapolsek Paniai Timur), Kompol Sukapdi (Kabag Ops Polres Paniai), dan AKP H Mansur (Kasat Reskrim Polres Paniai).

Sidang keempat yang digelar Kamis (6/10/2022), empat orang saksi dihadirkan JPU. Masing-masing AKBP (Purn) Daniel T Prionggo (Kapolres Paniai), Kompol Hanafi (Wakapolres Paniai), Pius Gobay (Kepala Distrik Paniai Timur), dan Ketua Dewan Adat Paniai John NR Gobai.

Majelis hakim memeriksa setiap saksi dengan berbagai pertanyaan. Dalam kesaksian masih terdapat keterangan yang agak keliru, bahkan mengaku sudah lupa mengingatnya. Sampai-sampai berulang kali bilang “tidak tahu”. Ini bikin hakim marah hingga mencecarnya dengan banyak pertanyaan lanjutan.

Tragedi Paniai Berdarah 8 Desember 2014 merenggut nyawa empat pelajar dan 21 orang luka-luka, sehingga Komnas HAM RI menetapkan sebagai Pelanggaran HAM Berat.

Tim Ad Hoc Komnas HAM RI yang turun ke Enarotali, kabupaten Paniai, melakukan penyelidikan kepada sedikitnya 26 orang saksi, meninjau dan memeriksa TKP, memeriksa berbagai dokumen, mengadakan diskusi dengan beberapa ahli, hingga mengumpulkan informasi yang menunjang pengungkapan Paniai Berdarah.

Jauh sebelum perkara ini diperiksa di Pengadilan HAM Makassar, Komnas HAM RI melalui ketua Tim Ad Hoc, M. Choirul Anam menyatakan, “Peristiwa Paniai berdarah sudah memenuhi unsur kejahatan kemanusiaan. Terdapat unsur pembunuhan dan tindakan penganiayaan, sistematis, meluas dan ditujukan pada penduduk sipil dalam kasus Paniai, sehingga peristiwa tersebut dapat dikategorikan sebagai pelanggaran HAM Berat.”

Baca Juga:  Teror Aktivis Papua Terkait Video Penyiksaan, Kawer: Pengekangan Berekspresi Bentuk Pelanggaran HAM

Berdasarkan hasil penyelidikan, tim menyimpulkan bahwa anggota TNI yang bertugas pada medio peristiwa tersebut, baik dalam Struktur Komando Kodam XVII/Cenderawasih sampai Komando Lapangan di Enarotali, diduga sebagai pelaku yang bertanggungjawab.

Rekomendasi dari hasil penyelidikan Komisioner Komnas HAM RI berbeda dengan penetapan satu terdakwa. Koalisi Masyarakat Sipil Pemantau Paniai 2014 soroti hal itu karena menduga ada kejanggalan dalam proses penyidikan yang dilakukan oleh tim Jaksa Agung RI.

Dalam siaran pers 20 September 2022, Koalisi mempertanyakan mengapa hanya satu tersangka saja?. Sementara, Paniai Berdarah dinyatakan sebagai pelanggaran HAM Berat yang telah memenuhi unsur kejahatan kemanusiaan, dengan element of crimes adanya tindakan pembunuhan dan penganiayaan lewat serangan yang bersifat sistematis atau meluas yang dilakukan oleh aparat gabungan TNI-Polri, di mana dengan unsur kebijakan negara dan pengerahan kekuatan yang berskala besar niscaya dapat terjadi dengan keterlibatan berbagai aktor, mulai dari pemegang komando teratas sampai pelaku lapangan terbawah.

“Dakwaan dari Kejaksaan Agung dengan hanya mengungkap satu orang terdakwa jelas menunjukkan wajah ketidakmampuan sekaligus ketidakmauan untuk mengusut tuntas serta menyeret aktor yang terlibat dalam Peristiwa Paniai yang menewaskan empat orang dan 21 orang luka-luka,” ujarnya.

Koalisi terdiri dari gabungan organisasi masyarakat sipil yang ada di Jakarta, Makassar dan Papua. Beberapa diantaranya Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI), Komite untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Amnesty International Indonesia, LBH Makassar, Bersatu Untuk Keadilan (BUK), Elsham Papua, dan lain-lain.

Terus memberikan perhatian serius terhadap jalannya proses penuntasan kasus pelanggaran HAM Berat Paniai, karena bagi Koalisi, proses ini menjadi penting guna melihat sejauh mana negara memiliki tekad untuk menghentikan impunitas bagi para pelaku pelanggaran HAM di Tanah Papua.

Dari berbagai keganjilan proses penyidikan, keluarga korban menyangsikan bahwa keadilan akan benar-benar ditegakkan secara substansial. Keluarga korban pun menilai jikalau persidangan Pengadilan HAM nantinya hanya akan menjadi proses pengadilan sandiwara atau pencitraan.

Selain tidak dilibatkan secara berarti, keluarga korban menilai penyidikan Jaksa Agung dianggap tidak sesuai fakta lapangan, dimana korban tewas dan mengalami luka-luka akibat penganiayaan terjadi setidaknya pada tiga lokasi berbeda, yang melibatkan lebih dari satu orang penembak dan tindakan kekerasan secara massal oleh aparat keamanan.

Baca Juga:  Ini Respons Komnas HAM Terkait Video Penyiksaan di Puncak Papua

Khawatirnya, kesaksian dari saksi dan korban yang akan dihadirkan dalam persidangan diduga akan diwarnai dengan sandiwara dan kebohongan semata karena selama proses penyidikan bergulir, saksi-saksi yang diperiksa oleh Jaksa Agung tidak berasal dari saksi-korban.

Penilaian itu juga diperkuat dengan memori buruk berdasarkan pengalaman proses Pengadilan HAM untuk perkara Timor-Timur 1999, Tanjung Priok 1984, dan Abepura 2000. Setiap pelaku yang didakwa nyatanya memperoleh vonis bebas, baik sejak Tingkat Pertama hingga Kasasi maupun Peninjauan Kembali (PK), yang kemudian mendorong keluarga korban memilih untuk tidak terlibat dan mundur dari proses persidangan yang diduga akan jauh dari kata keadilan.

Karena itulah, menurut Koalisi, bisa jadi, terdakwa Isak Sattu hanya dijadikan “kambing hitam” dan Pengadilan HAM atas Peristiwa Paniai hanya gimmick sebagai bahan pencitraan pemerintahan presiden Joko Widodo yang belum melaksanakan janji dan tanggungjawabnya menuntaskan pelanggaran HAM berat di Indonesia.

“Lantas, berdasarkan pada buruknya modalitas dari proses penyidikan kemudian membuat publik, juga para penyintas dan keluarga korban bertanya-tanya bahwa mampukah pengadilan memberikan rasa keadilan sesuai dengan irah-irah ‘demi keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa’?” demikian Koalisi.

Keluarga korban empat anak yang tewas dan 21 korban luka-luka dalam pernyataan sikapnya menyatakan menolak terlibat dalam setiap proses persidangan di PN Makassar. Hal itu lebih pada kekhawatiran dan posisi atas proses hukum ini merupakan akumulasi dari buruknya penanganan situasi dan kondisi mereka yang telah proaktif menyampaikan alat bukti yang ditemukan beserta kesaksian yang seharusnya dianggap penting untuk ditindaklanjuti demi penegakan hukum yang baru digulirkan setelah hampir delapan tahun jeda.

Terlebih perkara ini diadili pada Pengadilan HAM di PN Makassar, menurut Koalisi, bukti keengganan negara membentuk Pengadilan HAM di Papua yang kian terang menunjukan ketidakseriusan dalam penyelesaian kasus pelanggaran HAM yang terus terjadi di Tanah Papua.

Masih berharap dengan melalui Pengadilan HAM dapat menjamin terpenuhinya keadilan dan hak lainnya secara utuh bagi para korban dan publik secara umum. Hanya, jangan sampai kehadiran Pengadilan HAM Paniai justru berpotensi menghadirkan fiktif trail dan menjadi preseden atau bahkan legitimasi sebagai ajang pencucian dosa bagi terduga pelaku pelanggar HAM yang terus melanggengkan praktik impunitas di Indonesia.

Baca Juga:  Soal Satu WNA di Enarotali, Begini Kata Pakum Satgas dan Kapolres Paniai

“Berangkat dari pelbagai keresahan tersebut, nasib keluarga korban yang telah terkatung-katung selama hampir genap delapan tahun tanpa kepastian hukum, kini akan ditentukan pada proses persidangan dalam Pengadilan HAM Berat Paniai yang kemudian dimanifestasikan dalam kerja-kerja hakim yang seyogyanya harus menjunjung tinggi nilai keadilan dan Ketuhanan Yang Maha Esa dengan memperhatikan hukum dan keadilan secara substantif, jujur, transparan dan bersih dari kepentingan-kepentingan tertentu,” tegas Koalisi.

Koalisi terus memantau proses pengadilan yang akan digelar selama beberapa waktu ini akan menjadi barometer keseriusan negara untuk dapat menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat lainnya di Indonesia, khususnya di Tanah Papua.

“Mengingat pelanggaran HAM berat yang terjadi di Indonesia, paling banyak terjadi di Papua. Mulai peristiwa Abepura, Wamena, Wasior hingga Paniai, yang diakibatkan dari dampak operasi militer ilegal yang masih diberlakukan hingga sekarang.”

Karena itu, pengawasan dalam persidangan HAM Berat Paniai menurut Koalisi, semestinya tidak hanya menjadi atensi keluarga korban dan publik secara umum, tetapi juga perlu atensi serius dari stakeholder terkait seperti Mahkamah Agung (MA) maupun Komisi Yudisial (KY) dengan tujuan agar menjaga independensi hakim dalam mengadili maupun memutus perkara supaya melalui pengadilan ini dapat menghadirkan rasa keadilan.

Pengawasan dan pemantauan dalam persidangan menjadi kewenangan KY. Pemantauan persidangan ditujukan untuk menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim sebagaimana termaktub dalam Pasal 20 ayat (1) huruf a Undang-undang nomor 18 tahun 2011. Tak hanya sebatas pemantauan secara kode etik, KY juga perlu melakukan pemantauan secara substantif guna mendorong pengadilan HAM Berat untuk mampu mengungkap kebenaran dan keadilan dari tahapan penyidikan Kejaksaan Agung yang mengecewakan.

Mendesak pemerintah menuntaskan kasus pelanggaran HAM di Papua, Koalisi mengingatkan agar Hakim dapat berperan sebagai corong keadilan bagi keluarga korban dan memastikan pengadilan dapat menjadi saluran untuk menghentikan impunitas pelanggaran HAM Berat dan memperhatikan instrumen hukum dan HAM diterapkan secara efektif.

Setelah empat kali sidang, kembali dilanjutkan pada hari ini, Senin (10/10/2022), dengan agenda mendengarkan keterangan saksi.

REDAKSI

Terkini

Populer Minggu Ini:

ULMWP Himbau Rakyat Papua Peringati 1 Mei Dengan Aksi Serentak

0
“ULMWP sebagai wadah koordinatif gerakan rakyat, siap bertanggung jawab penuh atas semua rangkaian aksi yang dilakukan dalam bentuk apa pun di hadapkan kolonialisme Indonesia dan dunia Internasional.”

Fortnightly updates in English about Papua and West Papua from the editors and friends of the banned 'Suara Papua' newspaper.