Tanah PapuaAnim HaPara Imam Desak Penyelesaian Berbagai Kasus Kekerasan di Papua

Para Imam Desak Penyelesaian Berbagai Kasus Kekerasan di Papua

AGATS, SUARAPAPUA.com — Lebih dari 100 imam diosesan di Tanah Papua menandatangani sebuah pernyataan yang menuntut pengadilan terhadap kasus-kasus kekerasan, termasuk pembunuhan dan mutilasi di Timika, sebagai cara untuk membangun perdamaian di wilayah pelayanannya.

Pernyataan berisi lima poin dikeluarkan setelah Temu Unio Regio Papua ke-6, yang dihadiri 106 imam diosesan dari lima keuskupan di Tanah Papua. Pertemuan diadakan di Agats, kabupaten Asmat, Papua, pada 4-9 Oktober 2022.

Dilansir UCA News, para imam mencontohkan pembunuhan dan mutilasi empat warga Papua pada 22 Agustus lalu di kabupaten Mimika, yang diduga pelakunya enam oknum TNI. Para korban dituduh memiliki hubungan dengan kelompok Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat Organisasi Papua Merdeka (TPNPB OPM).

Pejabat TNI menyatakan para prajurit yang terlibat dalam kasus itu akan diadili di pengadilan militer.

Empat warga sipil juga telah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus tersebut.

Para imam regio Papua dalam penyataannya mengatakan, “mendukung berbagai macam proses hukum yang sedang dilakukan untuk mengungkap kasus-kasus intimidasi, kekerasan, pembunuhan, dan pembantaian di kota Timika serta di kabupaten Nduga, kabupaten Maybrat, dan daerah lain di Papua.”

Baca Juga:  Panglima TNI dan Negara Diminta Bertanggung Jawab Atas Penembakan Dua Anak di Intan Jaya

Ditegaskan dalam pernyataan itu, para imam dari lima keuskupan menolak intervensi dari berbagai pihak yang mencoba menghalangi proses hukum terhadap kasus pembunuhan dan mutilasi serta kasus-kasus lainnya.

Di lain sisi, kelompok berseberangan (TPNPB OPM) maupun TNI/Polri diminta mencari cara-cara damai yang lebih bermartabat agar mencapai upaya penyelesaian konflik di seluruh Tanah Papua.

“Kami mengecam keras berbagai macam tindakan rasis, intimidasi, kekerasan, dan pembunuhan dan bahkan pembantaian terhadap orang asli Papua maupun pendatang di berbagai tempat di Tanah Papua yang dilakukan dengan cara-cara yang tidak berperikemanusiaan,” kata para imam dalam seruannya.

“Kami menyerukan kepada pemerintah pusat – presiden dan DPR RI, DPRD provinsi dan kabupaten – dan TNI/Polri serta berbagai kelompok masyarakat untuk mengatasi setiap masalah di Tanah Papua dengan hati dan pikiran yang dingin dan selesaikan melalui dialog damai dan bermartabat,” lanjut deklarasi itu.

Pastor Dominikus Dulione Hodo, Pr, ketua Unio Regio Papua, mengatakan, seruan itu disampaikan karena para imam meyakini hampir semua proses hukum di Papua cenderung berjalan lambat dan tidak transparan.

Baca Juga:  Vince Tebay, Perempuan Mee Pertama Raih Gelar Profesor

“Misalnya, persidangan terkait kasus Paniai berdarah tahun 2014 yang sekarang sedang digelar di Makassar. Tampaknya ada intervensi dan menghalang-halangi pengadilan,” kata Hodo.

Pengadilan Hak Asasi Manusia (HAM) di Pengadilan Negeri Makassar, Sulawesi Selatan, memulai persidangan kasus dugaan pelanggaran HAM di Paniai itu pada Rabu 21 September 2022. Sidang digelar setelah hampir delapan tahun setelah empat siswa berusia 17-18 tahun tewas di ujung bedil dalam sebuah aksi protes di lapangan Karel Gobay Enarotali pada 8 Desember 2014.

Kejaksaan Agung (Kejagung) menetapkan Mayor Infanteri (Purn) Isak Sattu, pensiunan TNI yang saat kejadian menjabat sebagai Perwira Penghubung (Pabung) Kodim 1705/Paniai di Koramil 1705-02/Enarotali, sebagai tersangka dalam kasus itu setelah Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menyelidiki dan mengungkapkan bahwa insiden berdarah tersebut masuk katergori pelanggaran HAM berat.

“Dengan mengeluarkan rekomendasi itu, kami ingin menggemakan suara kami,” kata Pastor Domin.

Pastor Albertho John Bunai, Pr, seorang imam diosesan dari Keuskupan Jayapura yang juga mantan koordinator Jaringan Damai Papua (JDP), mengatakan, kasus pembunuhan yang belum terselesaikan adalah hambatan bagi perdamaian di Tanah Papua.

Baca Juga:  Soal Satu WNA di Enarotali, Begini Kata Pakum Satgas dan Kapolres Paniai

“Dengan rekomendasi tersebut, kami mendorong untuk menciptakan perdamaian di Papua bersama rakyatnya. Kita semua sama di depan hukum,” katanya kepada UCA News.

Salinan rekomendasi tersebut menurut Pastor John, akan dikirim ke pihak terkait, termasuk Mendagri dan Kapolri di Jakarta.

Sebelumnya, Yones Douw, aktivis HAM Papua, sempat menyayangkan itikad negara dalam penyelesaian kasus-kasus kemanusiaan di Papua. Selain proses hukumnya dilakukan secara tertutup, hampir semua kasus pelanggaran HAM di Papua tidak tersentuh sekian lamanya.

“Kasus penembakan Paniai, misalnya. Hanya ada satu tersangka saja. Tetapi, siapa yang memberinya perintah untuk menembak?” tanya Yones.

Papua dianeksasi pada akhir pemerintahan kolonial Belanda tahun 1960-an melalui referendum yang dianggap oleh banyak orang sebagai sebuah tipuan.

Gerakan Papua Merdeka (OPM) dan penindasan militer memicu eskalasi kekerasan yang menewaskan ribuan orang dan pengungsian dalam beberapa dekade terakhir. Baik TNI/Polri maupun OPM diduga melakukan pelanggaran HAM berat. (*)

 

Terkini

Populer Minggu Ini:

Partai Demokrat se-Papua Tengah Jaring Bakal Calon Kepala Daerah Jelang Pilkada...

0
Grace Ludiana Boikawai, kepala Bappiluda Partai Demokrat provinsi Papua Tengah, menambahkan, informasi teknis lainnya akan disampaikan panitia dan pengurus partai Demokrat di sekretariat pendaftaran masing-masing tingkatan.

Fortnightly updates in English about Papua and West Papua from the editors and friends of the banned 'Suara Papua' newspaper.