BeritaPangdam dan Wakapolri Bersaksi di Sidang Pengadilan HAM Berat Paniai

Pangdam dan Wakapolri Bersaksi di Sidang Pengadilan HAM Berat Paniai

JAYAPURA, SUARAPAPUA.com — Mendengarkan keterangan dari saksi-saksi dalam sidang lanjutan kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) Berat Paniai masih berlangsung di Pengadilan Negeri Makassar, Sulawesi Selatan. Pada sidang Kamis (13/10/2022), Jaksa Penuntut Umum (JPU) menghadirkan mantan Wakapolri, Komjen (Purn) Ari Dono Sukmanto, dan mantan Pangdam XVII/Cenderawasih, Mayjen TNI (Purn) Fransen G Siahaan.

Empat saksi dari aparat keamanan juga dihadirkan di sidang keenam itu. Antara lain para perwira Kodam XVII yakni Kolonel Frans Yohanes Purba, Letkol CPM Wiryadi, Imam Wibowo, serta dari Polri Kombes John Carles Edison Nababan.

John Carles Edison Nababan merupakan Pemeriksa Utama Roprovos Divpropam Mabes Polri, juga anggota Tim Investigasi Pencari Fakta Kasus Paniai. Sementara, Wiryadi sebagai anggota Tim Investigasi.

Sidang dipimpin ketua Majelis Sutisna Sawati, didampingi hakim anggota Abdul Rahman Karim, Siti Noor Laila, Robert Pasaribu, dan Sofi Rahma Dewi. Tim JPU Erryl P. Putera Agoes, Sudardi, Melly S. Ginting, N. Rahmat, S. Yunior Ayatullah, Dody W. L. Silalahi, dan Reinhart Marbun.

Komjen (Purn) Ari Dono Sukmanto dihadirkan dalam kapasitasnya sebagai Ketua Tim Investigasi Tahap II Kasus Paniai berdasarkan surat Menteri Koordinator Hukum, Politik, dan Keamanan.

Saat itu (tahun 2014) ia menjabat sebagai Kepala Badan Reserse Kriminal (Kabareskrim) Polri.

Tim Investigasi Tahap II, kata Ari, terdiri dari 32 orang.

“Karena kita terdiri dari beberapa kesatuan, sebelum kita berangkat kita mempelajari Paniai, baru membagi tugas. (Tim berisi) Unsur TNI, penyidik Polri, dan Puspom, dan Polda Papua membantu untuk mencari dan menghadirkan saksi-saksi,” tuturnya saat sidang di Ruang Bagir Manan PN Makassar.

Kata Ari, Tim Investigasi selanjutnya turun melakukan pemeriksaan sejumlah saksi. Sedikitnya 59 orang diperiksa.

“Yang saat itu diperiksa oleh tim ada 59 orang. Sembilan dari Polri, kemudian 11 dari Koramil, tujuh dari Yonif 753/AVT, 14 dari Paskhas TNI AU,” rincinya.

Tim Investigasi Tahap II juga memeriksa 11 orang saksi (warga sipil) berdasarkan dari rekomendasi Komnas HAM.

Selain itu, Tim memeriksa 7 orang yang merupakan hasil dari pengembangan pemeriksaan Tim Investigasi Tahap I.

“Tim investigasi ini bertujuan mencari tahu apakah ada unsur pidana dan mencari tahu pelaku penembakan,” kata Ari.

Dari hasil pemeriksaan itu, pihaknya keluarkan rekomendasi agar dilakukan penyelidikan lebih mendalam.

“Dan dilakukan uji balistik juga,” katanya.

Saat melakukan investigasi, Ari Dono menemukan dua keterangan berbeda terkait penembakan pada tanggal 8 Desember 2014. Kata dia, ada saksi yang menyebut terdakwa Mayor Inf (Purn) Isak Sattu sebagai Perwira Penghubung Koramil Enarotali meminta anak buahnya tidak menembak.

Baca Juga:  ULMWP Mengutuk Tindakan TNI Tak Berperikemanusiaan di Puncak Papua

“Kebetulan ada salah satu anggota polisi yang menjadi sopir (pejabat) Pemda sementara memarkirkan kendaraan di samping koramil. Dia mendengar dari Pabung (Isak Sattu) meminta kepada massa untuk stop melempar dan menanyakan ada apa melempar. Jadi Pabung mengatakan, jangan ada yang menembak, tunggu dulu. Tapi keterangan lain, ada yang mendengar (perintah terdakwa) berikan tembakan ke atas (peringatan),” ungkapnya.

Menurut Ari Dono, pihkanya sempat memeriksa salah satu pegawai distrik yang mengaku terkena peluru hingga luka di bagian tangan kanan. Bahkan, kata Ari, timnya melakukan prarekonstruksi.

“Luka, bagian tangan. Katanya kena peluru. Itu kami prarekonstruksi. Masuk pas keluar, masih pinggir jalan itu ada suara letusan kemudian tangannya kena,” katanya.

Dalam investigasi di Paniai, Ari mengaku mendapatkan laporan ada anggota Polri yang menusuk warga pakai sangkur. Hanya, dia sulit membuktikan hal tersebut siapa yang menjadi korbannya.

“Ada juga yang melihat anggota tentara menebas (warga), tetapi tidak ada tahu siapa korbannya,” kata Ari.

Saat turun investigasi, Ari mengetahui ada korban meninggal setelah kejadian dengan jumlah korban meninggal empat orang warga meninggal dan 11 lainnya luka-luka.

“Yang meninggal ada empat, semua laki-laki. Kemudian luka ada 11,” imbuh Ari.

Tetapi, Ari mengaku kesulitan mengungkap penyebab kematian para korban. Karena keluarga korban menolak untuk dilakukan autopsi ataupun visum.

“Jika kita ingin membuktikan pidana, meninggalnya harus jelas. Misal karena peluru, harus jelas pelurunya masuk di mana itu yang tidak bisa kita dapatkan. Sehingga siapa yang melakukan penembakan kita tidak temukan,” tuturnya.

Masih Ari, sempat juga meminta keterangan seorang yang terkena tembakan. Bahkan di luka terdapat butiran logam.

“Tapi terlalu kecil, sehingga saat uji balistik tidak bisa menilai ini enggak ada alur. Hanya bekas luka,” lanjut Ari.

Menurut Ari, sempitnya waktu untuk melakukan investigasi juga menjadi kendala karena surat perintah Menko Polhukam berlaku dari 26 Mei hingga 13 Juni 2014. Karena itu, tim tidak sempat memeriksa personel Brimob, padahal berdasarkan kesaksian, ada personel Brimob di lokasi kejadian.

Hakim Heran

Di sidang itu, Ari Dono dicecar majelis hakim soal fungsi Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) yang turun ke Paniai, usai kasus penembakan berujung tewasnya warga sipil pada 8 Desember 2014.

Baca Juga:  ULMWP Kutuk Penembakan Dua Anak di Intan Jaya

“Apakah tim investigasi terpadu yang ke Paniai hanya pemanis saja atau memang tim yang gagal memahami tugasnya?” tanya majelis hakim.

Pertanyaan itu diajukan karena menurut pengakuan saksi, hasil investigasi tidak menemukan pelaku penembakan.

“Karena dari empat poin ini ada selalu penyelidikan dan penyidikan dan seterusnya. Selain poin yang pertama untuk menemukan pelaku penembakan dan pelaku pengrusakan selanjutnya diproses sesuai hukum berlaku, ada selalu kata penyelidikan dan penyidikan, makanya tidak tahu pelakunya,” kata majelis hakim dipimpin hakim ketua Sutisna Sawati.

Hakim mempertanyakan kinerja TGPF yang tidak mengumpulkan fakta lebih lengkap saat menyelidiki kasus Paniai. Jika TGPF hanya diutus Mabes Polri untuk mencari fakta keterlibatan Polri menembak, itu dimaklumi. Tetapi, nyatanya, tim beranggotakan petugas dari instansi lain seperti TNI.

“Kalau ini bentukan Polri, saya maklum karena tidak bisa masuk (memeriksa) TNI. Tapi ini (TGPF), ada gabungan TNI-Polri, mestinya (pengumpulan fakta) ini bisa lebih luas,” ujar hakim.

Hakim menyatakan heran sekaligus bingung dengan hasil penelusuran TGPF. Sebab menurut laporan, tidak diketahui proyektil peluru yang menewaskan korban dari senjata siapa.

Kesaksian Mantan Pangdam

Mantan Pangdam XVII/Cenderawasih, Mayjend (Purn) TNI Fransen G Siahaan mengaku saat kejadian (7- 8 Desember 2014) tidak pernah mendapatkan laporan dari bawahannya. Laporan baru diterima dari Korem setelah kejadian.

“Tidak ada laporan saat itu, jadi nanti setelah kejadian (tanggal 7 dan 8) baru saya dapat laporan dari komandan Korem. (Laporannya) ada demo besar-besaran dari masyarakat ke kantor Polsek dan Koramil. Jadi, terjadi chaos (kacau),” kata Fransen.

“Saat itu saya tanya, dimana Dandim dan dimana Danramil? Apa tindakan mereka ini? Komandan Korem itu bilang, komandan Kodam tidak ada dan komandan Koramil juga tidak di tempat,” lanjutnya.

Pasca kejadian penembakan yang menyebabkan empat warga meninggal, Fransen memerintahkan bawahannya untuk melakukan pemeriksaan agar mengetahui masalah sebenarnya.

Fransen mengungkapkan, laporan dari bawahannya bahwa saat kondisi chaos, personel TNI di Koramil Enarotali tidak melakukan tembakan peringatan.

Jawaban Fransen tersebut membuat hakim Abd Rahman Karim bertanya lebih jauh.

“Apakah benar dalam laporannya tim yang ditugaskan saudara tidak melaporkan adanya tembakan peringatan. Saksi-saksi sebelumnya sudah menyampaikan kalau ada tembakan peringatan,” tanya hakim.

“Tidak ada, Pak Hakim,” timpalnya.

Hakim menyatakan curiga mantan Pangdam Cenderawasih itu mendapatkan laporan palsu dari anggotanya terkait tembakan peringatan.

Baca Juga:  Freeport Indonesia Bangun Jembatan Hubungkan Kampung Banti 2 dan Banti 1

Jaksa juga bertanya posisi Fransen saat kejadian pelanggaran HAM berat di Paniai tanggal 8 Desember 2014? Saat itu Fransen sebagai Pangdam beserta Dandim dan Danrem setempat tidak berada di Papua.

“Saya pada saat kejadian itu sedang ikut apel Dansad (Komandan Satuan Angkatan Darat) bersama Dandim dan juga Danrem. Kegiatan di Semarang itu dipimpin Kasad (Kepala Staf Angkatan Darat) waktu itu pak Gatot Nurmantyo,” jawab Fransen.

Jaksa mempertanyakan Fransen tidak segera ke lokasi usai kejadian Paniai. Padahal daerah itu termasuk daerah teritorialnya sebagai pimpinan Kodam Cenderawasih.

“Kenapa bapak hanya perintahkan Asintel (Asisten Intelijen) ke Paniai, kenapa tidak bapak sendiri saja yang berangkat kesana. Setahu saya, Panglima itu punya helikopter dan punya pesawat khusus,” tanya Jaksa.

Fransen menjawab, “Jadi boleh (pada saat itu) saya ke sana, tapi kan saya harus berpikir, mengkaji dan analisa ini kejadian. Karena kondisi saat itu cuaca juga dan pesawat ke lokasi tidak ada, Asintel saya saja dua hari di Biak baru bisa melanjutkan perjalanan ke daerah Paniai.”

Lanjut Fransen, “Asintel pakai pesawat komersial, memang ada helikopter, Belt dan MA17, tapi kondisi Papua kita tidak bisa perkirakan. Hari ini cerah atau di sini cerah, di balik bukit atau gunung itu ada hujan atau gelap.”

Soal Peluru Tajam

Fransen juga membeberkan soal peluru tajam.

Terkait ketersediaan peluru tajam dalam penanganan kericuhan berujung tragedi kekerasan maut di Paniai pada 2014, Fransen mengatakan, karena daerah itu tergolong rawan. Menurutnya, hanya peluru tajam yang disediakan di kesatuan di Paniai.

“Kenapa itu peluru tajam. Karena keterbatasan peluru memang dalam proyek itu ada peluru tajam, karet dan hampa. Tapi karena keterbatasan anggaran. Peluru karet dan hampa itu tidak diberikan ke koramil itu, karena daerah rawan,” kata Fransen dalam kesaksiannya di hadapan majelis hakim.

Dalam sidang sehari sebelumnya, Rabu (13/10/2022), Letda Wardi Hermawan yang adalah Babinsa selaku penjaga gudang senjata di Koramil 1705-02/Enarotali mengaku tidak ada peluru hampa yang disediakan di sana saat peristiwa Paniai.

Selain Wardi Hermawan, di sidang kelima itu enam saksi dari TNI memberikan kesaksiannya. Yakni Mayor Infanteri Prasenta Emanuel Bangun, Letnan Dua Gatot Wahyu Sugeng Riyanto, Sersan Mayor Sugiantoro, Serka Jusman, Sertu Supriyono, dan Serda Dodi Karlo Takapaha.

 

REDAKSI

 

Terkini

Populer Minggu Ini:

KPK Menang Kasasi MA, Bupati Mimika Divonis 2 Tahun Penjara

0
“Amar Putusan: Kabul. Terbukti Pasal 3 jo Pasal 18 UU PTPK jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP Jo Pasal 64 ayat (1) ke-1 KUHP. Pidana penjara 2 tahun dan denda Rp200 juta subsidair 2 tahun kurungan,” begitu ditulis di laman resmi Mahkamah Agung.

Fortnightly updates in English about Papua and West Papua from the editors and friends of the banned 'Suara Papua' newspaper.