Kisah Perjuangan Perempuan Papua Demi Pertahankan Martabat Papua

Untuk mengenang kepergian Leonie Tanggahma, Perempuan Papua Pejuang Hak Politik Orang Papua

0
1554

Oleh: Emanuel Gobay)*
)* Penulis adalah Direktur LBH Papua 

Perjuangan perempuan Papua untuk mempertahankan harkat dan martabat Orang Asli Papua sudah lama dilakukan sejak manusia Papua ada di muka bumi Papua yang ditandai dengan kisah perempuan Papua mengembangkan budaya pertanian tradisional, membuat anyaman serta pakaian tradisional, mempertahankan ekonomi kerakyatan tradisional Papua menciptakan Orang Asli Papua yang menjadi pewaris Tanah Air Adat Papua dari dahulu kala hingga saat ini.

Pada prakteknya perjuangan perempuan Papua di kancah politik untuk mempertahankan harkat dan martabat Orang Asli Papua tercatat sejak Angganita Manufandu memimpin warga tiga kampung melawan Jepang yang sedang menguasai Pulau Byak pada tahun 1940-an (Masa Perang Dunia Kedua). 

Peran perempuan Papua dalam kancah politik Papua terus berkembang ke arah yang lebih modern, dimana pada tahun 1950-an hingga tahun 1961 ketika Belanda memberikan ruang politik yang seluas-luasnya kepada Orang Asli Papua terlihat dalam barisan anggota Nieuw Guinea Raad (Dewan Perwakilan Rakyat di masa pemerintahan Belanda atas wilayah Papua) ada seorang perempuan Papua atas nama Hanasby Tokoro yang menjadi Anggota New Guinea Raad. Pada perkembangannya beliau juga terlibat sebagai salah satu Anggota Komite Nasional Papua yang turut membahas tentang perangkat kenegaraan Negara West Papua yang dilegalkan menggunakan Peraturan Pemerintah pada masa pemerintahan Belanda atas Papua yang selanjutnya disebutkan sebagai Negara Boneka Buatan Kolonial Belanda oleh Presiden Republik Indonesia pada point Pertama isi Trikora yang dicetuskan pada tanggal 19 Desember 1961 di Alun-alun Utara Yogyakarta.

Baca Juga:  Kura-Kura Digital

Selanjutnya pada tahun 1980-an terlihat melalui nyanyian-nyanyian ratapan dan bala kemanusiaan Oksilia Monim (Doktoranda Pertama di Bidang Antropologi) dan kawan-kawan bersama Grup Musik Mambesak pimpinan Arnold C Ap. Selain itu, Mama Yosepa Alomang yang awalnya menjadi korban kekejaman militeristik berdiri menjadi pejuang politik Papua hingga akhirnya mendapatkan Nobel Lingkungan Hidup atas perjuangannya melawan PT Freeport McMoRan Copper And Gold Inc atau PT Freeport Indonesia yang telah menghancurkan alam bumi Amungsa hingga meluluhlantakkan rumah para leluhur Amungsa di Nemangkawi.

ads

Pada akhir tahun 1990-an bersamaan dengan Gerakan Reformasi di Indonesia, banyak perempuan Papua yang terlibat dalam Gerakan Perjuangan HAM Orang Asli Papua, seperti yang dilakukan oleh beberapa kaka perempuan Papua yang tidak dapat saya sebutkan nama-namanya satu persatu baik di Pulau Jawa dan juga di Papua melalui organisasi Aliansi Mahasiswa Papua dan juga Parlemen Jalanan di Papua.

Terlepas dari itu, ada Mama Tineke Rumkabu dan Insar-Insar di Byak berdiri bersama para pejuang HAM di Menara Air memperjuangkan hak politik Orang Asli Papua, namun mendapatkan tindakan yang tidak manusiawi dan sangat biadab dari oknum Anggota Keamanan yang kini dikenang sebagai Tragedi Byak Berdarah tahun 1998 yang terus diperjuangkan oleh Mama Tineke Rumkabu dan kawan-kawan hingga menggelar Pengadilan Rakyat Internasional di Australia. 

Baca Juga:  Musnahnya Pemilik Negeri Dari Kedatangan Bangsa Asing

Pada tahun 2000-an keatas terlihat Gerakan Mama Papua di pasar tradisional Papua yang tergabung dalam SOLPAP memperjuangkan Pasar Khusus bagi Mama Papua yang kini telah terbangun megah di Jalan Percetakan Jayapura.

Tahun 2000-an ke atas juga mulai terlihat adanya perempuan Papua yang menjadi Advokat dan mulai memperjuangkan bantuan hukum bagi Orang Asli Papua korban pelanggaran hukum dan HAM di Tanah Papua seperti yang dilakukan oleh kaka ibu Olga Hamadi, seorang Advokat Perempuan Papua yang selalu berdiri paling depan dalam memberikan bantuan hukum cuma-cuma kepada masyarakat miskin, marginal dan buta hukum di Papua.

Pada tahun 2010-an mulai terdengar suara perempuan Papua pejuang hak politik orang Papua di kancah internasional. Dialah kaka ibu Leoni Tanggahma, anak kandung dari Ben Tanggahma, seorang Diplomat Ulung Orang Asli Papua di kancah internasional yang berhasil membangun kantor di Senegal. Kiprah kaka ibu Leoni Tanggahma sebagai perempuan Papua pejuang hak politik Orang Asli Papua terlihat pada saat beliau ikut terlibat aktif dalam pembentukan wadah Persatuan Papua di tingkat internasional untuk memperjuangkan hak politik Orang Asli Papua.

Baca Juga:  Vox Populi Vox Dei

Pada tahun 2015-an sampai saat ini mulai terdengar suara perempuan Papua di kursi lembaga kultur (MRP) melalui pernyataan-pernyataan dan sikap politik yang dikeluarkan oleh beberapa perempuan Papua Anggota MRP seperti kaka ibu Ciska Abugau yang terus-terus mendesak penarikan militer dari wilayah adat orang Migani (Intan Jaya) dan lain sebagainya.

Di awal tahun 2020-an mulai terlihat nama Organisasi Perempuan Adat (ORPA) di wilayah adat Namblong yang berdiri memperjuangkan hak adat masyarakat Namblong dari ancaman perampasan tanah adat Papua yang dilakukan oleh PT PNM atas pemberian izin HGU yang diberikan oleh pemerintah tanpa sepengetahuan masyarakat adat Namblong. 

Sepenggal kisah perjuangan perempuan Papua memperjuangkan hak Orang Asli Papua di atas secara langsung menunjukan kualitas politik perempuan Papua yang luar biasa yang telah berjalan dari tahun 1940-an sampai dengan tahun 2022 ini.

Dengan kepergian kaka ibu Leoni Tanggahma ke Rumah Allah Bangsa Papua, semoga menjadi penyubur perjuangan perempuan Papua dalam memperjuangkan hak sipil, politik, ekonomi, sosial dan budaya Orang Asli Papua di muka bumi ini. 

Selamat jalan kaka ibu Leoni Tanggahma.
Selamat jalan perempuan Papua pejuang hak politik orang Papua. 

Perjuanganmu akan menjadi penyubur gerakan perempuan Papua dalam memperjuangkan hak politik Orang Asli Papua di bumi manusia. 

Artikel sebelumnyaDPRD Yahukimo Lakukan Audiensi Dengan Tim Adekaya Terkait SK Desa
Artikel berikutnyaSetelah Puluhan Orang Bersaksi di PN Makassar, Begini Pendapat PH Terdakwa