JAYAPURA, SUARAPAPUA.com— Hanya ada enam keluarga penerus marga Abrauw yang memiliki tanah ulayat untuk pembangunan bandara antariksa di Biak, Papua.
“Kami orang Biak, tanah adat sudah dibagi-bagi menjadi petak-petak berdasarkan marga. Klan ini tidak bisa pindah ke tempat lain, ini adalah satu-satunya tanahnya. Jika bandara ini dibangun, otomatis mereka akan kehilangan tanah ulayatnya,” kata Ketua Organisasi Bersatu untuk Kebenaran (BUK) Papua, Tinike Rumkabu saat ditemui suarapapua.com di Padangbulan, Kota Jayapura, Papua, Jumat (11/11/2022).
Tinike mengatakan, tidak ada tempat lain selain tanah warisan leluhur bagi klan Abrauw untuk bertahan hidup dengan bercocok tanam.
“Mereka ini rata-rata petani dan nelayan. Tidak ada tempat lain lagi – kecuali di tempat ini [saja] sudah,” ujar Tineke.
Katanya, berbagai upaya telah dilakukan namun Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah Biak Numfor tidak mendengarkan.
Menurutnya, saat ini enam kepala keluarga yang tergabung dalam marga Abrauw yang telah berjuang untuk mempertahankan wilayah tersebut, yang didampingi Dewan Adat Papua Wilayah Sarireri dan simpatisan, yang bersama-sama menolak peluncuran roket di wilayah tersebut. Namun pemerintah tidak mengindahkan permintaan tersebut.
“Saat ini mereka terus menolak tapi pemerintah tidak peduli, tapi kami terus berjuang,” katanya.
Ia juga mengakui bahwa adanya campur tangan pemerintah secara sewenang-wenang untuk menggantikan pimpinan DAP yang dipimpin oleh Apolos Sroyer yang masa jabatannya belum berakhir. Hal ini katanya, akan berpotensi menyurutkan semangat upaya-upaya yang dilakukan pihak keluarga.
Lokasi proyek pembangunan pusat peluncuran roket atau pelabuhan antariksa di Biak oleh pemerintah melalui Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) seluas 100 hektar di Desa Saukobye, Warbon, Distrik Biak Utara, Kabupaten Biak, Papua.
Kepala Biro Kerja Sama Hubungan Masyarakat dan Umum, LAPAN, Chris Dewanto mengatakan tanah tersebut telah dimiliki secara legal oleh Lapan sejak tahun 1980. Hal itu sesuai amanat Undang-Undang No. 21 tahun 2013 tentang Keantariksaan dan akan dibangun pada tahun 2023.
Namun demikian, sejuah ini warga masyarakat pemilik hak ulayat tetap ngotot bahwa tanah lokasi pembangunan penerbangan pesawat luar angkasa tersebut diambil alih secara sepihak dibawa tekanan pada tahun 1980-an tanpa penjelasan detail. Penandatanganan juga dilakukan oleh pihak luar klan dengan paksaan di bawa kendali militer.
Oleh sebab itu, warga pemilik hak ulayat tetap tidak mengijinkan pembangunan tersebut dilakukan.
Pewarta : Charles Maniani
Editor: Elisa Sekenyap