BeritaPenegasan Koalisi LSM HAM Terkait Putusan Pengadilan HAM Kasus Paniai

Penegasan Koalisi LSM HAM Terkait Putusan Pengadilan HAM Kasus Paniai

JAYAPURA, SUARAPAPUA.com — Sedikitnya empat poin tuntutan disampaikan Koalisi LSM HAM Papua dan Solidaritas Individu untuk Advokasi Kasus HAM Paniai 2014 saat konferensi pers di Kota Jayapura, Jumat (25/11/2022) sore.

Rekomendasi dibacakan Mersi Fera Waromi dari Perkumpulan Advokat Hak Asasi Manusia (PAHAM) Papua dalam konferensi pers menyikapi putusan pengadilan HAM yang telah disidangkan selama 14 kali di PN Makassar, Sulawesi Selatan.

“Pertama, pada sidang putusan tanggal 5 Desember 2022, Majelis Hakim diharapkan memberikan putusan maksimal terhadap terdakwa serta menggunakan hukum yang progresif dalam hal memutuskan adanya pihak lain yang seharusnya diminta pertanggungjawaban dengan memerintahkan Kejaksaan Agung RI untuk melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan terhadap pelaku dengan kategori komando pembuat kebijakan, komando efektif di lapangan, pelaku lapangan, dan pelaku pembiaran.”

Dalam kaitan itu, diminta mempertimbangkan asas kepastian hukum dan memperhatikan nilai-nilai keadilan yang terdapat di masyarakat secara khusus memberikan keadilan bagi korban dan mencegah terjadinya impunitas terhadap pelaku lainnya yang belum dimintai pertanggungjawabannya.

Kedua, pemerintah harus memiliki komitmen yang kuat dan konkrit dalam memenuhi hak korban dan mencegah impunitas melalui penyelesaian berbagai kasus dugaan pelanggaran HAM berat di Papua melalui mekanisme yudisial terutama pada kasus Wasior 2001 dan Wamena 2003 yang sudah pada tahap proses penyelidikan di Komnas HAM RI,” kata Mersi membacakan rekomendasi.

Poin ketiga, berbagai gerakan masyarakat sipil secara kelembagaan dan individu memperkuat advokasi dan bersolidaritas untuk mendesak pemerintahan menyelesaikan kasus pelanggaran HAM di Papua.

Keempat, kepada Majelis Hakim Pemeriksa Perkara Nomor 01/Pid.Sus-HAM/2022/PN MKS. Bahwa Majelis Pemeriksa Perkara juga harus memperhatikan hak dari para korban tentang restitusi, kompensasi dan rehabilitasi sebagaimana amanat Pasal 35 ayat 3 Undang-undang nomor 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM dan juga ditegaskan dalam Peraturan Pelaksana nomor 3 tahun 2002 tentang Kompensasi, Restitusi, dan Rehabilitasi Terhadap Korban Pelanggaran HAM Berat.”

Baca Juga:  Pencaker Palang Kantor Gubernur Papua Barat Daya

Ragukan Komitmen Negara

Dalam konferensi pers, Emanuel Gobay, direktur LBH Papua, meragukan komitmen negara dalam proses penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM, termasuk kasus Paniai 2014.

“Kami meragukan komitmen negara,” ujarnya.

Keraguan itu lantaran adanya kebijakan presiden Joko Widodo yakni Keppres nomor 17 tahun 2022 tentang penyelesaian non yudisial, padahal dalam Undang-undang nomor 21 tahun 2001 diatur kewenangan bagi pemerintah untuk membentuk Pengadilan HAM serta Komisi Keadilan dan Rekonsiliasi (KKR).

Menjawab pertanyaan wartawan, apakah ada kemungkinan pelaku lain diseret ke ranah hukum? Emanuel menyatakan, dugaan ada pelaku lain yang belum diadili masih dimungkinkan.

“Kalau kita lihat dari hasil penyelidikan Komnas HAM RI, disebutkan bahwa ada banyak subjek pelaku bahkan di dalam surat dakwaan yang dibuat oleh tim Jaksa Penuntut Umum (JPU) juga menyebutkan beberapa subjek yang kalau dianalisis dari unsur-unsur kejahatan terhadap kemanusiaan mereka masuk sebagai pelaku juga,” bebernya.

Gobay menyebut peluang kasus pelanggaran HAM meski sudah memasuki tahap final, dibuka kembali sangat tergantung kemauan negara dalam hal ini Kejaksaan Agung Republik Indonesia.

“Berdasarkan yurisprudensi kasus-kasus HAM lain, yang dalam konteks hukum acara pidana, dalam peradilan HAM juga mengadopsi prinsip-prinsip dalam hukum acara pidana. Ketika masih ada subjek lain yang belum dilakukan penegakan hukum, itu masih sangat terbuka kewenangan untuk Jaksa Agung mengembangkan lagi dan menetapkan tersangka. Sekarang masalahnya, apakah Jaksa Agung mau mengungkap para pelaku lainnya?”

Buka Subjek Lain

Dalam kasus pelanggaran HAM, ujar Gobay, penetapan satu tersangka hingga statusnya jadi terdakwa dan diproses di persidangan, agak rancu dengan fakta lapangan dan keterangan para saksi di ruang sidang.

Baca Juga:  Direpresif Aparat Kepolisian, Sejumlah Massa Aksi di Nabire Terluka

“Pertanyaan kita dari awal, kenapa sampai hanya satu tersangka saja? Siapa yang dia lindungi? Nah, di sinilah tantangan bagi Jaksa Agung, mau tidak untuk lakukan ini?” ujar Emanuel.

Masih menurutnya, hal itu juga yang diminta Koalisi dalam dalam pernyataan tegas kepada Hakim yang sedang memeriksa perkara ini untuk memerintahkan Jaksa Agung bisa memproses subjek-subjek lain yang terlibat dalam Kasus Paniai 2014.

“Artinya, kami secara tegas menyatakan bahwa harus segera memproses subjek-subjek lainnya itu agar kemudian tidak melahirkan satu pertanyaan berikut kalau Jaksa Agung RI sedang menyembunyikan institusi atau subjek tertentu,” tegasnya.

Emanuel menambahkan, untuk maksud itu, Komnas HAM harus segera menyurat ke Jaksa Agung untuk memerintahkan Hakim yang mengadili perkara HAM Berat Paniai agar mengungkap fakta lebih lanjut karena ada dugaan masih terdapat pelaku lain yang belum diungkap di ruang persidangan.

Sementara itu, Helmi, advokat dari Aliansi Demokrasi untuk Papua (AlDP), menyinggung kemungkinan berlanjut atau tidaknya kasus HAM Berat Paniai.

“Pada saat kita mengikuti pemantauan persidangan pengadilan HAM di PN Makassar, sempat juga kita ngobrol dengan jaksa yang menangani perkara Paniai. Sempat ditanyakan, ketika fakta persidangan ada pelaku-pelaku lain yang diduga harusnya dimasukan persidangan untuk dihadirkan dan diadili sebagai pelaku lain yang belum dihadirkan dalam persidangan,” kata Helmi.

Apakah pelaku lain bisa diadili dalam persidangan pengadilan HAM setelah fakta sudah ada titik terang, menurut Helmi, “Jaksa yang menangani Kasus Paniai, bilang tidak bisa, tetapi nanti melalui proses hukum pidana. Itu hal yang dimungkinkan. Ini bisa jadi bahan pertimbangan bagi Majelis Hakim untuk memerintahkan Kejaksaan Agung RI untuk melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan terhadap pelaku lain agar dibuka kembali ke pengadilan HAM.”

Baca Juga:  PAHAM Papua Desak Komnas HAM dan Pangdam XVII Investigasi Video Penganiayaan Warga Sipil Papua

Dugaan subjek lain belum tersentuh hukum dalam proses pengadilan HAM di PN Makassar, diungkapkan Latifah Anum Siregar, direktris AlDP.

Anum bahkan mengaku sangat kecewa dengan penetapan satu tersangka saja dalam perkara HAM Paniai.

“Kita sangat kecewa kenapa hanya satu tersangka saja dalam kasus Paniai. Sementara, dalam fakta persidangan, semua saksi-saksi sudah jelas bahwa menyebut siapa yang menikam. Ada lebih dari dua orang saksi yang menyebut siapa yang menikam. Nama juga disebutkan dengan jelas. Begitupun soal penembakan, tidak hanya dari satu arah. Hal ketiga, ada tembakan dari arah bandara. Saksi dari Pakshas TNI AU katakan, di tower mereka tidak ada akses bagi pihak lain. Ini harusnya jadi bahan bagi Hakim untuk digali lebih lanjut,” bebernya.

Siregar juga sepakat, dalam kasus pelanggaran HAM, tidak pernah ada yang namanya hanya satu pelaku saja.

“Disebut pelanggaran HAM, tidak bisa hanya satu tersangka saja. Itu tidak ada. Pelakunya pasti banyak dan lebih dari beberapa institusi. Pelakunya berlapis, ada unsur komando, pelaku lapangan, dan lain-lain. Pada intinya, sistematis dan meluas. Itu bagian dari unsur pelanggaran HAM berat.”

Karena itu, Koalisi mendesak, dalam putusannya Hakim mesti memerintahkan langsung ke Kejaksaan Agung untuk memproses pelaku lain.

“Kita berharap, Majelis Hakim berani menegaskan dan memerintahkan dengan temuan baru dalam fakta persidangan maupun fakta lapangan. Maka, kami mendesak Majelis Hakim untuk memerintahkan Kejaksaan Agung karena adanya pelaku baru,” tandasnya.

Pewarta: Markus You

Terkini

Populer Minggu Ini:

Parpol Harus Terbuka Tahapan Penjaringan Bakal Calon Bupati Tambrauw

0
SORONG, SUARAPAPUA.com --- Forum Komunikasi Lintas Suku Asli Tambrauw mengingatkan pengurus partai politik di kabupaten Tambrauw, Papua Barat Daya, untuk transparan dalam tahapan pendaftaran...

Fortnightly updates in English about Papua and West Papua from the editors and friends of the banned 'Suara Papua' newspaper.