BeritaKekayaan Alam Melimpah, Kutukan atau Anugerah bagi Papua?

Kekayaan Alam Melimpah, Kutukan atau Anugerah bagi Papua?

JAYAPURA, SUARAPAPUA.com — Kekayaan alam berlimpah belum tentu memiliki dampak positif terhadap kesejahteraan ekonomi. Seringkali yang terjadi adalah sebaliknya, keberlimpahan sumber daya alam memberikan kutukan, sehingga kesejahteraan ekonomi tidak merata.

Greenpeace Indonesia berkolaborasi dengan Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) melakukan penelitian tentang kutukan sumber daya alam di Tanah Papua, yang hasilnya diluncurkan hari ini, Senin (19/12/2022) di Jakarta.

Dalam laporan ini terungkap bahwa kutukan sumber daya alam di Tanah Papua telah membuktikan terbatasnya akses orang asli Papua (OAP) kepada tiga layanan publik utama, yaitu kesehatan, pendidikan serta pendapatan ekonomi.

Selain itu, laporan ini juga mengungkap bagaimana pendapatan ekonomi yang hanya bersumber pada industri ekstraktif justru semakin memperparah kutukan sumber daya alam di Tanah Papua. Eksplorasi dan eksploitasi yang dilakukan tanpa adanya investasi serius bagi pembangunan masyarakat asli Papua telah dan akan memperburuk kondisi sosial ekonomi mereka, serta ekosistem dalam jangka panjang.

“Wilayah Papua dan Papua Barat yang menjadi wilayah fokus pada laporan ini mencatat indeks kutukan sumber daya alam di kedua wilayah tersebut menduduki posisi kedua dan ketiga dari seluruh provinsi yang ada di Indonesia,” kata Berly Martawardaya, direktur INDEF.

Baca Juga:  KKB Minta Komisi Tinggi HAM Investigasi Kasus Penyiksaan OAP

“Papua dan Papua Barat termasuk dua dari tiga daerah dengan pembangunan berkelanjutan yang rendah meski berlimpah secara sumber daya alam,” ujar Berly.

Angka kemiskinan di Papua mencapai 26,5%, sedangkan Papua Barat sebesar 21,6%. Meskipun terjadi penurunan angka kemiskinan sejak 2002-2020, namun angkanya relatif kecil. Tren penurunan ini terjadi sejak diberlakukan Otonomi Khusus (Otsus) di Papua. Hasil penelitian tersebut tidak berbeda jauh dengan data yang dirilis Biro Pusat Statistik (BPS) wilayah Papua Barat, yaitu persentase penduduk miskin Papua Barat pada September 2021 sebesar 21,82 persen, menurun 0,02 persen poin terhadap Maret 2021.

Banyak pengamat yang beranggapan bahwa adanya Otsus tidak benar-benar efektif dalam mengatasi kesejahteraan di Papua. Masih banyak masyarakat Papua terutama OAP yang memiliki tingkat kesejahteraan rendah baik dilihat dari kesejahteraan ekonomi (tingkat pendapatan atau kemampuan daya beli) maupun kesejahteraan sosial (pendidikan, kesehatan dan gizi, dan lain-lain). Pernyataan tersebut didukung oleh studi Torobi (2020) yang menyatakan bahwa sebagian OAP masih memiliki pendapatan yang rendah, tidak memiliki pendidikan yang memadai, serta derajat kesehatan dan gizi rendah.

Baca Juga:  PWI Pusat Awali Pra UKW, 30 Wartawan di Papua Tengah Siap Mengikuti UKW

Masalah geografis Tanah Papua yang sebagian besar pegunungan bukan menjadi satu-satunya faktor mengapa pemerataan pembangunan sangat lambat, dan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) di Papua sangat rendah.

Terdapat beberapa faktor lain yang menyebabkan hal tersebut terjadi, antara lain ketidakseimbangan antara hasil pengelolaan sumber daya alam yang tidak kembali lagi untuk kesejahteraan masyarakat, pengelolaan dana Otsus yang tidak transparan oleh elit lokal, serta tidak bersinerginya hubungan struktural antara pemerintah daerah dengan pemerintah pusat.

Berdasarkan analisis Greenpeace Indonesia, lebih dari 20% daratan Tanah Papua telah dibebani oleh perizinan industri ekstraktif berbasis lahan, seperti pertambangan, hutan tanaman industri (HTI), hak pengusahaan hutan (HPH), maupun perkebunan kelapa sawit.

“Bahkan, lebih dari 7,5 juta hektare hutan tersebut terancam terdeforestasi karena berada dalam konsesi kelapa sawit, hutan tanaman industri maupun pertambangan,” kata Nico Wamafma, pengkampanye Hutan Greenpeace Indonesia.

“Eksploitasi sumber daya alam, dalam hal ini hutan telah meminggirkan hak-hak orang asli Papua termasuk masyarakat adat,” ujar mama Rosita Tecuari, perwakilan masyarakat adat dari Namblong.

Baca Juga:  Hilangnya Keadilan di PTTUN, Suku Awyu Kasasi ke MA

“Kami telah mengalami sendiri bagaimana hutan kami diambil paksa oleh perusahaan, sementara kami yang memiliki tanah adat tidak mendapatkan kesejahteraan apapun,” lanjutnya.

“Kebijakan pemerintah pusat yang terkait dengan pembangunan masyarakat dan wilayah Papua, apapun itu, intinya harus melibatkan masyarakat Papua,” ujar Filep Wamafma, anggota DPD RI.

“Kebijakan Otonomi Khusus nyatanya tidak secara signifikan meningkatkan kesejahteraan masyarakat Papua, kemudian ada lagi kebijakan baru yaitu pemekaran provinsi yang belum tentu akan efektif mengatasi masalah-masalah yang ada di Tanah Papua, bahkan mungkin hanya akan menimbulkan masalah baru,” ujar Filep.

Terdapat sejumlah rekomendasi yang tertuang dalam laporan ini, diantaranya:

Pertama, perbaikan sistem tata kelola yang memastikan akuntabilitas program Otsus.

Kedua, pelaksanaan tata kelola Otsus dapat dilakukan melalui implementasi specific grant, atau bantuan spesifik yang bertujuan langsung untuk peningkatan kesejahteraan Orang Asli Papua.

Ketiga, pelibatan Orang Asli Papua dalam merumuskan desain pembangunan Papua.

REDAKSI

Terkini

Populer Minggu Ini:

Parpol Harus Terbuka Tahapan Penjaringan Bakal Calon Bupati Tambrauw

0
SORONG, SUARAPAPUA.com --- Forum Komunikasi Lintas Suku Asli Tambrauw mengingatkan pengurus partai politik di kabupaten Tambrauw, Papua Barat Daya, untuk transparan dalam tahapan pendaftaran...

Fortnightly updates in English about Papua and West Papua from the editors and friends of the banned 'Suara Papua' newspaper.