BeritaMasyarakat Adat di Sorsel Tidak Ingin Hutan jadi Kebun Sawit

Masyarakat Adat di Sorsel Tidak Ingin Hutan jadi Kebun Sawit

JAYAPURA, SUARAPAPUA.com — “Kami tolak! Kami tolak sawit! Kami tidak mau ada perusahaan sawit di kami punya tanah Tehit ini,” teriak Orpa Konjol.

Dengan tangan mengepal dan ikat kepala kain merah, perempuan adat suku Tehit Mlaqya itu berorasi penuh semangat.

Orpa tidak sendirian. Siang itu, usai ibadah Minggu, 9 Oktober lalu, bersama Marthen Konjol dan puluhan warga kampung Wersar dan Tapiri, distrik Teminabuan, kabupaten Sorong Selatan, Papua Barat, menggelar aksi damai di pertigaan jalan kampung.

Bergantian orasi dengan Marthen, suara mama Papua yang berusia lebih setengah abad itu terdengar lantang meski sedikit parau.

Sejak 2013, masyarakat suku Tehit di distrik Konda dan Teminabuan menggelar aksi penolakan perusahaan sawit.

Dalam beberapa kali aksi massa ini bersama dengan masyarakat suku Tehit Nakna, Tehit Gemna, Tehit Yaben, dan Tehit Afsya. Suku Tehit, satu suku besar pemilik ulayat di kabupaten Sorong Selatan (Sorsel).

Selain itu, ada suku Imekko (Inanwatan/Bira, Metemani, Kais, dan Kokoda/Emeyode). Komunitas Tehit jadi tuan tanah atas wilayah adat di distrik Teminabuan dan Konda.

Sebagai distrik tertua, Teminabuan dengan luas wilayah mencapai 388,98 km², populasi penduduk 20.846 jiwa (2021), punya dua kelurahan: Kaibus dan Kohoin dan 14 kampung.

Sedangkan distrik Konda, dengan cakupan wilayah 612,70 km², memiliki lima kampung: Bariat, Konda, Manelek, Nakna, dan Wamargege. Sebagai ibukota distrik, Konda adalah wilayah adat Tehit Gemna, Tehit Yaben, Tehit Nakna, dan Tehit Afsya. Tehit Gemna yang menghuni kampung Manelek dengan nama marga Gemnafle, Gemnase, Wasfle, Sawor, dan Kedemes.

Dalam aksinya, persekutuan masyarakat Tehit menegaskan penolakan terhadap PT Anugerah Sakti Internusa (ASI), perusahaan sawit yang akan merambah hutan adat mereka.

Aksi terakhir, 9 Oktober lalu, juga menyuarakan dukungan terhadap bupati Sorong Selatan yang tengah berupaya hukum di pengadilan.

Perkebunan kelapa sawit PT PPM di kabupaten Sorong Selatan, provinsi Papua Barat. (Maria Baru – SP)

ASI dan PT Persada Utama Agromulia (PUA) menggugat bupati Sorong Selatan menyusul pencabutan izin lokasi dan izin usaha perkebunan (IUP) itu Mei 2021. Satu lagi, izin lokasi dan IUP yang juga dicabut adalah PT Internusa Jaya Sejahtera (PJS). Perusahaan terakhir tidak melakukan gugatan.

Tiga perusahaan perkebunan sawit ini dimiliki Indonusa Agromulia Group, berlokasi di distrik Sawiat, Seremuk, Teminabuan, Kais, Konda, Wayer, dan Moswaren di kabupaten Sorong Selatan. Indonusa sebagai perusahaan patungan, beralamat di Gedung Permata Kuningan Lantai 19, Jalan Kuningan Mulia Kavling 9C, kelurahan Guntur, kecamatan Setiabudi, Jakarta Selatan.

Iwan Kurniawan Niode, kuasa hukum ASI dan PUA menyebut, terpaksa melayangkan gugatan setelah permohonan klarifikasi dan surat keberatan administratif ke bupati Sorong Selatan, tak membuahkan hasil.

Dalam permohonan klarifikasi dan keberatan administratif atas keputusan bupati Samsudin mencabut izin lokasi dan IUP, kata Iwan, alasan mengapa perusahaan tak segera melakukan kegiatan penanaman.

Selama 10 hari sejak surat terakhir dikirim Oktober 2022 tidak ada jawaban, Iwan mengklaim bupati Sorong Selatan setuju dengan keberatan ASI dan PUA.

“Kami sedang melengkapi dokumen izin lain, namun dalam perjalanan datang pandemi Covid-19. Saat semua proses itu terhenti, tiba-tiba bupati Sorong Selatan mencabut izin lokasi dan IUP yang sudah kami miliki. Ini yang cacat prosedur. Kami butuh klarifikasinya,” kata Iwan menjawab Mongabay, 4 Desember lalu.

Sebelum izin dicabut, konsesi ASI seluas 37.000 hektar di distrik Konda dan Teminabuan. Perusahaan ini mendapatkan izin lokasi melalui surat keputusan bupati Sorong Selatan nomor 522/184/BSS/XII/2013 tertanggal 16 Desember 2013. PUA pegang konsesi 25.000 hektar di distrik Wayer dan Kais dengan izin lokasi tertanggal sama. Setahun kemudian, terbit IUP dari bupati Sorsel.

Masing-masing izin dari bupati Sorong Selatan era Otto Ihalauw, dengan masa berlaku selama tiga tahun dan harus diperpanjang.

“Seingat saya, waktu itu pak bupati juga komunikasi dengan masyarakat adat sebelum mengambil keputusan. Tidak ada aksi-aksi penolakan, sampai akhirnya izin lokasi terbit,” kata Suroso, saat proses penerbitan izin menjabat sebagai sekretaris Bappeda kabupaten Sorsel.

Baca Juga:  Freeport Indonesia Dukung Asosiasi Wartawan Papua Gelar Pelatihan Pengelolaan Media

Keterangan ini juga dibenarkan Iwan Kurniawan Niode. Iwan mengaku masih menyimpan bukti-bukti penyerahan sejumlah ‘uang kompensasi’ sebagai bentuk kesepakatan atas kehadiran perusahaan sawit, kepada tokoh suku dan marga. Bukti ini telah dibuka dalam ruang persidangan.

“Tapi ini bukan uang ganti rugi lahan, karena proses itu memang belum kami lakukan. Hanya uang komitmen atas hadirnya perusahaan. Kami tidak bisa buka bukti itu ke masyarakat agar tidak terjadi perpecahan di masyarakat. Jangan sampai ada konflik, itu yang kita jaga,” kata Iwan.

Kesaksian ini kontra dengan pengakuan Andarias Mabruaru, kepala kampung Konda.

Sa (saya) minta tunjukkan siapa saja masyarakat yang dulu menyetujui ada perkebunan sawit di sini? Tolong sebut. Kami ingin tahu,” ujarnya, dalam perbincangan dengan Mongabay, Oktober lalu.

Masyarakat adat, kata Andarias, sebagai pemilik ulayat, belum pernah diminta persetujuan pemerintah daerah maupun perusahaan terkait rencana usaha dan izin perusahaan.

“Kami tidak setuju. Kami justru menolak rencana perusahaan,” kata Andrianus Kemerai, kepala kampung Bariat.

Andrianus maupun Andarias, satu suara dengan Korinus Seranik, tokoh pemuda suku Tehit. Masyarakat baru tahu akan ada perusahaan sawit yang sudah mengantongi izin setelah mengikuti sosialisasi.

Infografis distrik Konda, kabupaten Sorong Selatan, Papua Barat. (Mongabay.co.id)

Pada 2013, ASI melakukan pertemuan dengan tokoh masyarakat adat di distrik Konda, untuk sosialisasi terkait rencana perusahaan mengembangkan usaha perkebunan sawit di daerah itu.

Korinus bilang, saat itu masyarakat tidak menyetujui. Masyarakat menolak rencana perusahaan karena alasan hutan itu tempat mereka mencari penghidupan.

“Kami tidak mau kehilangan mata pencaharian,” kata Korinus.

Penolakan itu kembali disampaikan masyarakat pada Agustus 2015, saat ASI dan PUA sosialisasi dan konsultasi publik analisis dampak lingkungan (Andal) di gedung Wanita, Sorong Selatan.

Warga Teminabuan dan Konda yang mengikuti pertemuan memberikan kesaksian kalau masyarakat menolak rencana perusahaan.

Kedaulatan masyarakat pemilik ulayat, jadi penentu langkah selanjutnya. Menurut Suroso, keputusan bupati menerbitkan izin lokasi dan IUP bukanlah kebijakan final yang tidak bisa dibatalkan.

“Alur prosesnya dinamis, bisa sosialisasi ke masyarakat dulu baru terbit izin, atau sebaliknya. Jadi, meski izin sudah terbit, namun setelah sosialisasi ada penolakan, ya bisa dibatalkan surat itu. Masalah di Sorsel ini sama persis dengan kejadian di kabupaten Sorong,” kata Suroso yang kini menjabat Asisten II Setda kabupaten Sorong.

Sejatinya, tanpa harus mencabut izin lokasi maupun IUP, perusahaan tidak bisa melanjutkan niat membongkar hutan ketika bupati tidak memperpanjang izin yang punya umur tiga tahun itu.

Suroso bilang, bisa saja bupati berdalih menolak memperpanjang izin karena masyarakat menolak kehadiran perusahaan sawit.

Faktanya, pada 2020, bupati Sorong Selatan menerbitkan SK nomor 401/292/BSS/IX/2020 tertanggal 10 September 2020 tentang perpanjangan izin lokasi untuk ASI. Hanya, luas lokasi dari 37.000 hektar jadi 14.667,26 hektar.

Perpanjangan izin lokasi pada tanggal sama juga diberikan bupati Sorong Selatan untuk PUA, dengan nomor 402/292/BSS/IX/Tahun/2020. Luas izin PUA pun menyusut dari 25.000 hektar jadi 12.100,78 hektar.

***

Sebelum perpanjangan izin pun masyarakat di Teminabuan dan Konda sudah gencar menolak perusahaan sawit. Setelah perpanjangan, penolakan makin kuat.

Franky Samperante, direktur eksekutif Yayasan Pusaka Bentala Rakyat, mengatakan, pergerakan massa kembali masif sejak Maret 2020. Yayasan Pusaka, salah satu organisasi masyarakat sipil yang aktif mendampingi warga.

Pada 10 Maret 2020, misal, warga di distrik Konda bermusyawarah dan sepakat menolak ASI dengan tiga alasan.

Pertama, wilayah adat makin terdesak.

Kedua, hutan tempat mencari makan dan minum masyarakat.

Ketiga, banyak tempat keramat bersejarah di dalam hutan adat itu.

Pada 18 Agustus 2020, Aliansi Masyarakat Sagu (AMASA) Papua Barat mendesak Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menghentikan proses pelepasan kawasan hutan untuk ASI.

AMASA juga mendesak DPRD dan bupati Sorsel tak menyetujui perpanjangan izin ASI di distrik Konda dan Teminabuan, serta operasi PUA di distrik Wayer dan Kais.

Baca Juga:  Polda Papua Diminta Evaluasi Penanganan Aksi Demo di Nabire

“Alasan masyarakat untuk melindungi hutan tersisa dan tempat masyarakat mencari nafkah,” kata Angky, sapaan Franky Samperante.

Lanjut pada 8 September 2020, masyarakat dari distrik Konda dan Teminabuan aksi protes ke pemerintah dan perusahaan saat sosialisasi. Pada sosialisasi itu, mereka meminta persetujuan masyarakat di kampung Bariat, distrik Konda.

Aksi massa ini terus berlanjut pada 20 Mei 2021. Ratusan warga adat dari berbagai kampung di Sorong Selatan yang terancam perkebunan sawit aksi di kantor bupati Sorong Selatan.

Rangkaian aksi penolakan atas perusahaan sawit oleh masyarakat Teminabuan dan Konda, membuahkah hasil dengan pencabutan dua izin prinsip perusahaan sawit oleh bupati Sorsel. Pada 3 Mei 2021, bupati Samsudin Anggiluli menerbitkan surat keputusan pencabutan izin lokasi dan IUP untuk tiga perusahaan sawit.

Aksi protes mendukung bupati Sorong Selatan mencabut izin perusahaan sawit. (Dok. Yayasan Pusaka)

Bupati Menyerah?

Keputusan bupati Sorong Selatan mencabut izin lokasi dan IUP perusahaan sawit itu, berbuntut pada proses hukum. Pada 29 Desember 2021, dua dari tiga perusahaan Indonusa Agromulia Group yang dicabut izinnya, menggugat bupati ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) di Jayapura.

Dalam perjalanan sidang, pada 23 Mei 2022, majelis hakim PTUN Jayapura memutuskan “menolak permohonan penundaan yang diajukan penggugat dan menyatakan gugatan penggugat tidak diterima.”

Tak terima dengan putusan itu, ASI dan PUA mengajukan banding ke PTTUN Makassar. Memori banding disampaikan pada 20 Juni 2022, menyebutkan, majelis hakim PTTUN Makassar mengabulkan permohonan penundaan pelaksanaan obyek sengketa sampai ada putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap.

Selain itu, putusan PTTUN juga mengabulkan gugatan penggugat atau pembanding untuk seluruhnya. Juga, menyatakan batal keputusan tata usaha negara yang dikeluarkan bupati Sorsel.

Atas kekalahan di meja banding, awalnya bupati Sorong Selatan menyampaikan permohonan Kasasi ke Mahkamah Agung (MA), dengan mendaftarkan perkara 31 Agustus 2022. Belakangan keputusan itu dianulir.

“Saya diperintahkan pak bupati untuk mencabut pendaftaran kasasinya. Pak bupati tidak mau kasasi,” kata Theodorus H. Thesia, kepala bagian Hukum Setda kabupaten Sorong Selatan, Oktober lalu.

Bupati Samsudin Anggiluli saat dimintai konfirmasi, mendelegasikan kepada Nimrod Nauw, kepala Dinas Komunikasi, Informasi, Persandian dan Statistik. Kepada media ini, Nimrod menyebut, tidak ada alasan istimewa dari keputusan bupati Sorong Selatan.

“Karena pertimbangan kesibukan beliau saja. Karena kalau ini diteruskan (Kasasi), pastinya proses akan lama, butuh waktu yang dan biaya lagi,” kata Nimrod.

Opsi yang akan bupati tempuh, katanya, mempertemukan perusahaan dengan masyarakat untuk musyawarah. Mediasi ini disebut sebagai langkah yang sama-sama menguntungkan kedua belah pihak guna mencari solusi.

Banyak pihak yang menyayangkan keputusan bupati menganulir langkah kasasi di MA.

Bagi Angky, persoalan hukum yang bergulir di meja persidangan dengan mediasi perusahaan dan masyarakat adat merupakan dua hal berbeda. Yang berseteru di pengadilan adalah pemerintah dan perusahaan.

“Bukan perusahaan dengan masyarakat. Jadi, kalau tidak melanjutkan kasasi dengan dalih akan menempuh jalur mediasi ini agak kurang nyambung. Mestinya bupati gunakan kesempatan hukum untuk mempertahankan putusan,” ujarnya.

Iwan menyambut baik upaya bupati mencabut upaya kasasi di MA, dan akan mempertemukan perusahaan dengan masyarakat. Perusahaan siap karena dia klaim selama ini tak punya catatan konflik dengan masyarakat.

Bahkan pertemuan itu diyakini akan membuka persoalan makin benderang, bagaimana dulu proses sosialisasi ke masyarakat pemilik ulayat hingga izin lokasi dan IUP terbit oleh bupati Otto Ihalauw.

Munculnya penolakan dari masyarakat yang belakang masif, Iwan menuding karena ada provokasi dari sejumlah pihak setelah bupati Samsudin mencabut izin lokasi dan IUP ASI dan PUA.

Imbas menyerah di jalur hukum, bupati kehilangan kepercayaan masyarakat. Apalagi selaku kepala daerah, Samsudin tidak menjelaskan gamblang alasan menganulir langkah kasasi itu.

Kan proses ini juga tidak mengganggu kesibukan bupati. Ada pengacara yang akan mengurusnya, bukan bupati yang turun sendiri,” kata Angky.

Baca Juga:  Festival Angkat Sampah di Lembah Emereuw, Bentuk Kritik Terhadap Pemerintah

Sebagai pendamping masyarakat, Angky menyesali langkah bupati Sorsel. Pasalnya, keputusan bupati mencabut izin lokasi dan IUP hingga menghadapi persidangan di PTUN dan PTTUN, mendapat dukungan dari banyak pihak, termasuk masyarakat adat di Teminabuan dan Konda.

Aksi Masyarakat Adat di kab. Sorong Selatan tolak perusahaan kelapa sawit. (Ist)

Yayasan Pusaka Bentala Rakyat memfasilitasi diskusi akademis-kritis untuk mengkaji dan memeriksa putusan PTTUN Makassar dan kasasi antara bupati Sorong dan Sorong Selatan melawan perusahaan perkebunan sawit, di Jakarta pada 15-16 November 2022.

Pertemuan ini mengundang peserta masyarakat adat terdampak dari Sorong dan Sorong Selatan, perwakilan LMA Malamoi, AMAN Sorong Raya, dan Relawan Tolak Sawit Sorong Selatan.

Juga, perwakilan pemerintah daerah kabupaten Sorong dan Sorong Selatan, Koalisi Organisasi Masyarakat Sipil, Pendamping Hukum Bupati Sorong, dan Dr. Aan Eko Widiarto, ahli Hukum Tata Negara dari Universitas Brawijaya (Unibraw) Malang, Jawa Timur.

Sorong dan Sorong Selatan adalah dua dari lima kabupaten di provinsi Papua Barat yang terdapat izin operasional perusahaan sawit bermasalah.

Hasil evaluasi pemerintah provinsi Papua Barat bersama Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap izin 30 perusahaan sawit, sedikitnya ada 12 izin perusahaan dicabut masing-masing kepala daerah. Empat izin cabut di Sorong Selatan, empat di Sorong, dua di Teluk Bintuni, dan masing-masing satu di Fakfak dan Teluk Wondama.

Tak Ingin Kehilangan Ruang Hidup

Andrianus Kemerai mengatakan, hutan adat di kampung Bariat bak supermarket bagi mereka. Ia menyediakan segala kebutuhan manusia dan hewan. Di wilayah ulayat marga Afsya ini juga menyimpan banyak tempat keramat yang harus dijaga dari tangan-tangan jahil yang akan merusaknya.

Tetapi, di hutan adat mereka, pemerintah keluarkan izin buat perusahaan sawit, ASI.

Jika ambisi perusahaan itu terwujud, Charles Tawaru, coordinator project Yayasan Konservasi Indonesia (YKI) Sorong menyebut, kesuraman masa depan masyarakat adat sudah menganga di depan mata. Selain menghancurkan biodiversitas hutan, dalam hitungan jangka panjang kebun sawit bukan proyek yang ramah lingkungan.

Konsesi minimal berdurasi selama 30 tahun, katanya, akan dimanfaatkan perusahaan untuk menggenjot produktivitas kebun secara maksimal. Penggunaan bahan kimia sebagai pupuk sawit menjadi kelaziman. Jika sampai terjadi, praktis lahan bekas sawit akan menjadi kawasan tandus yang tak produktif lagi untuk bercocok tanam saat HGU berakhir. Unsur hara dalam tanah menjadi rusak.

“Yang ada lahan itu hanya bisa jadi pemukiman,” kata Tawaru.

Imbas lain yang bakal dirasa masyarakat selama ada tanaman sawit, jelas Charles, sumber air. Sawit merupakan tanaman yang rakus akan air. Satu tanaman dalam sehari menyerap antara 8-16 liter air.

Dua anak sedang pulang mancing dari kali kecil di dalam areal perkebunan kelapa Sawit milik PT Permata Putra Mandiri di wilayah masyarakat adat Iwaro, Metemani, kabupaten Sorong Selatan, Papua Barat. (Maria Baru – SP)

Charles mengkalkulasi, jika dalam satu hektar lahan ditanam minimal 100 tanaman, dari 37.000 hektar lahan di Konda akan terdapat 3.7 juta sawit yang bercokol selama 30 tahun. Air yang diserap sebanyak 59,2 juta liter air perhari.

“Bisa dibayangkan bagaimana kondisi sungai yang ada di wilayah ini. Akan terserap habis oleh sawit dan kering,” ujarnya.

Iming-iming kebun plasma sawit yang lazim ditawarkan perusahaan, Tawaru bilang hanyalah kesejahteraan semu yang menipu. Mengolah kebun sawit perlu ongkos tidak sedikit dan keahlian. Dari 37.000 luas konsesi, alokasi untuk plasma minimal 6.000 hektar (20%).

Ongkos operasional selama tiga tahun sejak ditanam hingga berbuah, mencapai Rp116,4 juta. Biaya ini tak sebanding dengan harga jual tandan buah segar (TBS) di Papua hanya Rp1.000 per kilogram.

Ujung-ujungnya, kata Charles, masyarakat yang tak mampu bertahan akan mengembalikan lahan plasma ini ke perusahaan, dengan kompensasi Rp300.000 per bulan. Apalagi, masyarakat Papua tak biasa berkebun sawit.

Warga adat teguh menolak kehadiran perusahaan sawit.

“Kami tegas menolak perusahaan sawit yang akan menghancurkan hutan adat. Kami tidak mau peninggalan leluhur tempat kami meramu, hancur dan tidak bisa dinikmati anak cucu,” ujar Andrianus. (*)

Sumber: Mongabay

Terkini

Populer Minggu Ini:

Partai Demokrat se-Papua Tengah Jaring Bakal Calon Kepala Daerah Jelang Pilkada...

0
Grace Ludiana Boikawai, kepala Bappiluda Partai Demokrat provinsi Papua Tengah, menambahkan, informasi teknis lainnya akan disampaikan panitia dan pengurus partai Demokrat di sekretariat pendaftaran masing-masing tingkatan.

Fortnightly updates in English about Papua and West Papua from the editors and friends of the banned 'Suara Papua' newspaper.