SORONG, SUARAPAPUA.com — Penetapan lokasi pembangunan kantor gubernur provinsi Papua Pegunungan belum tuntas. Suara pro dan kontra masih terdengar, bahkan sejumlah kalangan bersikap tak rela serahkan tanah adatnya selama belum ada kesepakatan bersama.
Mahasiswa Jayawijaya khususnya yang tergabung dalam Ikatan Pelajar Mahasiswa wilayah Welesi, Walaik, Napua dan Pelebaga (IPM Wewanap) kota studi Jayapura mendukung sikap masyarakat adat selaku pemilik ulayat terutama di wilayah Welesi.
Dalam pernyataan sikapnya, IPM Wewanap menyatakan dengan tegas menolak wacana pembangunan kantor gubernur provinsi Papua Pegunungan di wilayah adat Welesi.
Yafet Yelipele, ketua IPM Wewanap, kepada suarapapua.com dari Jayapura, Minggu (15/1/2023), mengatakan, wilayah adat Welesi mau dijadikan lokasi pembangunan kantor gubernur provinsi Papua Pegunungan diperjuangkan oleh kelompok tertentu dengan mengatasnamakan tokoh adat setempat.
Menurutnya, penetapan lokasi pembangunan perkantoran tersebut perlu disosialisasikan ke semua lapisan masyarakat untuk menghindari kemungkinan terjadinya konflik antara masyarakat dengan pemerintah.
“Ada sekelompok orang yang mengatasnamakan masyarakat adat lalu melakukan pendekatan dengan penjabat gubernur untuk bahas lokasi pembangunan kantor gubernur. Tetapi hasil dari itu mereka malah tidak pernah adakan diskusi dengan melibatkan semua pihak,” jelas Yafet.
“Rencana pembangunan kantor gubernur di wilayah kami Welesi itu diperjuangkan oleh segelintir orang. Tidak pernah ada pertemuan. Jadi, kami mahasiswa bersama berbagai pihak di Welesi belum sepakat untuk berikan tanah adat itu kepada pemerintah,” tegasnya.
Selain luas wilayah Welesi sangat kecil dan tak layak untuk bangun fasilitas pemerintah setara provinsi, kata Yafet, masyarakat di sana selalu menggantungkan hidupnya pada kemurahan alam.
“Kami mahasiswa tetap menolak wacana itu. Wilayah Welesi kecil sekali, tidak layak untuk mendirikan fasilitas pemerintah setingkat provinsi. Kalau tanah itu diserahkan untuk bangun kantor gubernur Papua Pegunungan, bagaimana kehidupan masyarakat nantinya? Ini yang menjadi dasar penolakan kami,” ujar Yelipele.
Terkait hal itu, Erwin Kuban, intelektual muda asal Welesi menyatakan sangat mendukung sikap dari IPM Wewanap. Kata dia, sesuai pengalaman selama ini, pengambilan keputusan tanpa adanya mufakat bersama kerapkali mengakibatkan konflik.
“Musyawarah bersama itu sangat penting untuk menghindari konflik horizontal yang mungkin saja bisa terjadi di kemudian hari,” ujar Erwin.
Pewarta: Reiner Brabar
Editor: Markus You