BeritaNgopi Bareng FJPI: Stop Kekerasan pada Perempuan!

Ngopi Bareng FJPI: Stop Kekerasan pada Perempuan!

SENTANI, SUARAPAPUA.com — Prihatin dengan tingginya kasus kekerasan terhadap perempuan di Tanah Papua, Forum Jurnalis Perempuan Indonesia (FJPI) Papua menggelar Ngopi (Ngobrol Pintar) bertema “Perempuan Tanpa Kekerasan”.

Acara Ngopi bareng FJPI Papua yang diadakan di cafe Kultur Sentani, kabupaten Jayapura, Selasa (7/2/2023), dihadiri tiga narasumber. Masing-masing Hana Salomina Hikoyabi, sekretaris daerah (Sekda) kabupaten Jayapura, Nuraida (Nona) Duwila, direktur LBH Apik Jayapura, dan Aipd Fransiska Paiki, kepala unit Pelayanan Perempuan dan Anak (PPA) Polres Jayapura.

Menurut Cornelia Mudumi, ketua FJPI Papua, kegiatan ini diadakan mengingat kian meningkatnya kasus kekerasan terhadap perempuan di Papua, salah satunya di kabupaten Jayapura.

“FJPI berharap kolaborasi bersama antar semua pihak dapat menekan angka kekerasan di Papua, termasuk di kabupaten Jayapura,” kata Mudumi dalam rilisnya, Rabu (8/2/2023).

Baca Juga:  Pertamina Pastikan Stok Avtur Tersedia Selama Arus Balik Lebaran 2024

Selama tahun 2022, kata Aipda Fransiska Paiki, Polres Jayapura menerima 50 kasus kekerasan dan 30 kasus diantaranya dengan korbannya adalah perempuan. Tiga kasus menyangut KDRT.

“Kebanyakan kekerasan ataupun penganiayaan yang dialami perempuan dilatarbelakangi tidak memiliki hubungan status pernikahan yang sah, misalnya ‘kumpul kebo’ yang berimbas perempuan sebagai korban tidak dinafkahi hingga mengakibatkan penganiayaan,” kata Fransiska.

Kekerasan yang dialami perempuan dalam rumah tangga juga dilatarbelakangi masalah pendidikan yang minim, ekonomi hingga terjadi penganiayaan kepada perempuan.

“Kasus KDRT di kabupaten Jayapura ada yang sudah masuk ke meja hijau (pengadilan). Pelakunya laki-laki yang memiliki wanita idaman lain (WIL), terus sang istri tidak dinafkahi. Pelaku memiliki jabatan di kantor,” kata Paiki.

Baca Juga:  Akomodir Aspirasi OAP Melalui John NR Gobai, Jokowi Revisi PP 96/2021

Sementara itu, Nona Duwila menyatakan, perempuan dan laki-laki hanya dibedakan dari jenis kelamin. Sedangkan peranan dalam kehidupan sehari-hari sama. Tetapi trend saat ini justru dilihat dari sisi budaya, perempuan tak boleh melebihi laki-laki dan selalu dianggap rendah.

“Budaya patriarki ini selalu menimbulkan kekerasan karena masih minimnya pemahaman gender. Ketika perempuan tidak berdaya, tidak memiliki pekerjaan dan hal lainnya, dilihat sebagai makhluk lemah. Sehingga, perempuan harus lebih berdaya,” tutur Duwila.

Hana Salomin Hikoyabi justru melihat trend kekerasan saat ini ada juga yang pelakunya dari perempuan.

Baca Juga:  Asosiasi Wartawan Papua Taruh Fondasi di Pra Raker Pertama

Untuk meminimalisir kasus kekerasan perempuan, Hikoyabi berharap agar ada sosialisasi yang digencarkan di berbagai tempat.

Bila perlu, kata Sekda kabupaten Jayapura, sosialisasi diadakan di rumah ibadah, seperti masjid dan gereja.

“Perlu sosialisasikan secara terus menerus agar tidak boleh ada kekerasan dalam rumah tangga, termasuk kepada perempuan dan anak,” ujarnya.

Selain sosialisasi mengenai stop kekerasan terhadap perempuan dan anak, upaya lain yang bisa dilakukan menurutnya, diajarkan di sekolah melalui muatan lokal (Mulok).

“Sebagai bagian dari upaya memiminalisir kekerasan, baik juga jika diberikan pendidikan melalui kurikulum Mulok di sekolah-sekolah. Termasuk menciptakan sekolah ramah anak,” kata Hana.

Pewarta: Yance Wenda
Editor: Markus You

Terkini

Populer Minggu Ini:

Non OAP Kuasai Kursi DPRD Hingga Jual Pinang di Kota Sorong

0
SORONG, SUARAPAPUA.com --- Ronald Kinho, aktivis muda Sorong, menyebut masyarakat nusantara atau non Papua seperti parasit untuk monopoli sumber rezeki warga pribumi atau orang...

Fortnightly updates in English about Papua and West Papua from the editors and friends of the banned 'Suara Papua' newspaper.