SORONG, SUARAPAPUA.com — 10 marga masyarakat hukum adat Miyah yang mendiami wilayah pemerintahan kabupaten Tambrauw akan selenggarakan pra Musyawarah Adat (Musdat) untuk meluruskan sejarah marga, sejarah keturunan, mengidentifikasi batas wilayah setiap marga, membuat peta tapal batas, dan melihat kembali peraturan marga serta struktur marga.
Frans Hae, salah satu anak muda dari suku Miyah yang dipercayakan sebagai ketua panitia Musdat, menjelaskan, kegiatan tersebut menindaklanjuti Musdat pertama tahun 2021 demi memperjuangkan hak-hak masyarakat hukum adat Miyah agar diakui dan dihormati pemerintah daerah dan pemerintah pusat di Jakarta.
Kata Frans, kegiatan ini rencananya akan diadakan pada pekan ketiga bulan ini.
“Kegiatannya nanti mulai tanggal 20 Februari sampai 2 Maret 2023 di distrik Miyah Selatan, kabupaten Tambrauw,” jelasnya kepada suarapapua.com, Minggu (5/2/2023).
Frans menyebutkan 10 marga yang akan terlibat penuh dalam pra Musdat adalah marga Hae Aranggapo, Hae Tee, Sedik Ayamakot, Hae Ara Meyuo, Sedik Ruuf, Momo Ka, Momo Heyuot, Irun, Sewia, dan Esyah.
“Musyawarah yang akan dilakukan selama satu minggu lebih itu sudah mendapat dukungan dari sembilan kampung di distrik Miyah Selatan, tiga kampung di distrik Miyah, dan satu kampung di distrik Wilhem Roumbouts,” katanya.
Setelah kegiatan pra Musdat dengan semua data lengkap dan terjadi saling pengakuan hingga saling menerima antar marga, imbuh Frans, langkah berikutnya adalah Musdat dan pemetaan partisipatif.
“Pra Musdat selama seminggu lebih bertujuan untuk memastikan kembali sejarah asal usul marga, keturunan, mengidentifikasi batas setiap marga karena selama ini pemerintah mendorong pembangunan, tetapi terjadi konflik antar marga. Harapannya, dalam proses ini semua duduk bicara dengan damai. Saling menerima dan mengakui antar marga, sehingga kedepan diantara marga tidak ada masalah lagi,” jelas Hae.
Selain itu, upaya ini sebagai bagian dari cara masyarakat adat meminta pengakuan dari Pemkab Tambrauw bersama pemerintah provinsi dan pusat.
“Proses sejak pra-Musdat hingga pemetaan partisipatif ini langkah untuk meminta pemerintah mengakui dan menghormati keberadaan kami sebagai masyarakat pemilik hak ulayat yang mendiami wilayah adat Miyah di kabupaten Tambrauw,” tegas Frans.
Dalam proses pra-Musdat nanti, Jan Sedik, salah satu anak muda dari suku Miyah, menegaskan, tak lagi hanya mengangkat satu tua marga saja, tetapi harus lebih karena melihat beberapa kasus di Fef, ibu kota kabupaten Tambrauw, yang hanya satu orang menjadi tua marga hingga sebagai kapitalis individu.
Kata Jan Sedik, satu tua marga menggunakan hak tunggalnya untuk menjual hasil sumber daya alam (SDA) tanpa musyawarah bersama, tanpa melibatkan keluarga lain. Hal ini berpotensi menciptakan konflik antar keluarga dan alam pun rusak.
“Dalam pra Musdat dan Musdat tidak hanya menetapkan satu orang sebagai tua marga. Itu nanti dia bilang, saya tua marga, bukan kita atau bersama, hingga akhirnya muncul kapitalisme individu. Egois dan serakah. SDA dijual sesuka hati tanpa melibatkan marga lainnya. Itu mudah saja keluarga dan keluarga baku marah sampai baku bunuh. Dan alam akan rusak,” tutur Sedik.
Pewarta: Maria Baru
Editor: Markus You