BeritaRuang Hidup Dihancurkan, Anak Sekolah Tak Punya Uang Jajan

Ruang Hidup Dihancurkan, Anak Sekolah Tak Punya Uang Jajan

SORONG, SUARAPAPUA.com — Mama-mama Papua korban penggusuran pasar Boswesen yang berkali-kali enggan berjualan di pasar modern Rufei merasa ruang hidupnya telah dihancurkan oleh pemerintah kota (Pemkot) Sorong.

Tanpa ada solusi buat mama-mama janda dan lansia lanjutkan aktivitas jual hasil bumi, Pemkot Sorong tetap melakukan penggusuran pasar Boswesen. Hingga tindakan pembongkaran paksa kembali dilakukan Jumat (27/1/2023).

Lepina Dwith, koordinator umum mama-mama Papua yang bertahan di pasar Boswesen, menyayangkan kebijakan pemerintah daerah yang tetap melarang aktivitas jual beli di pasar bersejarah itu. Menurutnya, hal itu bagian dari upaya negara melalui pemerinyah merampas hak hidup mama-mama janda dan lansia.

Mama Lepina menilai Pemkot Sorong hanya melakukan penggusuran paksa tanpa memberikan solusi bagi para pedagang. Sebab, mama-mama pedagang dari pasar Boswesen yang dipaksa untuk pindah ke pasar modern Rufei sudah tak ada tempat lagi karena setiap lapak jualan telah diklaim ditempati pedagang lain.

Mama-mama janda dan lansia sedang berjualan di pinggir jalan raya Surya, kampung Baru, kota Sorong, Sabtu (11/2/2023). (Maria Baru – SP)

Kendati kondisinya demikian, semua tempat jual sudah penuh, pemerintah tetap pada kebijakannya. Mama-mama dari pasar Boswesen bahkan akan ditempatkan di belakang dengan konsekwensi pembeli pasti sepi karena jauh dari mata pengunjung pasar modern Rufei. Sementara, mama-mama janda dan lansia membutuhkan uang cepat dan mau hasil jualannya cepat laku.

Karena itu, kata Lepina, mama-mama Papua memilih bertahan beberapa kali mau kembali berjualan di pasar Boswesen. Sayangnya, barang-barang jualan diangkut Satuan Polisi Pamong Praja. Mereka diusir hingga dilarang berjualan lagi di pasar Boswesen.

Hendak berjualan dari pasar modern, mama-mama tak mendapat tempat layak. Terpaksa, mereka memilih berjualan di pinggir jalan dan trotoar. Ada yang berjualan di pinggir jalan raya hingga di samping got sebelum pasar Rufei. Juga para pedagang dari komplek Rafidin kampung Baru berjualan di ruas jalan raya Surya.

“Pemerintah tra punya hati. Kami yang bertahan jualan di sini ini janda dan lansia. Kami jual hasil kebun. Kalau ada pisang, sayur, pinang, salak, baru kami turun jual. Mau kami barang laku cepat. Cepat dapat uang dan pulang. Kenapa paksa kami harus ke tempat yang jauh sekali. Mobil juga trada yang sampai di sana. Uang habis di transportasi. Pembeli di pasar modern itu kurang karena tempatnya kurang strategis. Susah orang mau transaksi jual beli,” tutur mama Lepina saat dijumpai suarapapua.com, Jumat (10/2/2023).

Baca Juga:  Perda Pengakuan dan Perlindungan MHA di PBD Belum Diterapkan

Situasi ini buat mereka kesulitan dengan tanggung jawab besar dalam keluarga. Baik kebutuhan sehari-hari maupun biayai sekolah anak dan cucu-cucu mereka.

“Pasar modern itu butuh tiga sampai lima tahun lagi baru bisa ramai. Sampai sekarang ini kami rugi. Tanggung jawab di rumah banyak. Makan minum. Anak dan cucu butuh uang sekolah, uang jajan. Susah dengan uang jajan untuk anak sekolah. Kita ini warga kota Sorong yang sangat dirugikan. Kami seperti binatang. Kami kesal karena proses pembangunan pasar modern tidak melibatkan kami. Tidak sosialisasikan ke semua pedagang. Musyawarah juga tidak ada. Mantan Walikota bangun baru paksa kita semua bubar dari pasar Boswesen dan paksa masuk di pasar modern, akhirnya kami seperti binatang digusur paksa berkali-kali,” tuturnya.

Mama-mama Papua sedang berjualan di tepi jalan raya setelah pasar Boswesen kembali digusur. (Maria Baru – SP)

Para pedagang pasar Boswesen sudah berkali-kali “turun” aksi di kantor Walikota dan kantor DPRD kota Sorong. Tetapi DPRD sebagai wakil rakyat menurut Lepina selalu diam membisu. Janji DPRD mau adakan pertemuan dengan para pedagang juga sampai pasar dibongkar tidak ada realisasi.

“Kami sudah hancur. Tidak ada wakil rakyat yang peduli sama kami. Terus, Walikota sendiri melalui asisten satu dan asisten dua tidak memberikan ruang negosiasi. Mereka bersikap keras untuk tetap membersihkan pasar Boswesen dengan alasan pasar sudah kumuh dan mau menjadikan RTH (Ruang Tata Hijau),” ujarnya.

Baca Juga:  Kemenparekraf Ajak Seluruh Pelaku Usaha Kreatif di Indonesia Ikut AKI 2024

Mama Lepina merasa sangat kecewa dengan sikap pemerintah saat ini yang lebih mengutamakan kepentingan investor daripada kebutuhan dasar hidup warga kota Sorong.

“Pemerintah ada untuk masyarakat atau investor? Air laut dikeringkan. Lokasi pasar dibangun RTH. Seharusnya bangun pasar khusus mama-mama Papua. Atau bangun pasar ikan. Kenapa bawa penjual ikan pergi jual dari pasar yang jauh? Kami punya DPRD juga selalu diam. Orang tahu, ibu ketua DPRD itu istrinya mantan Walikota. Mana mungkin ibu tidak mau selamatkan proyek bapak. Ibu pasti pentingkan bapak daripada rakyat,” kesal Lepina.

Seorang pedagang yang pindah berjualan di pasar modern Rufei menceritakan betapa sulitnya mendapat lapak secara gratis. Mendapat tempat jual di depan harus sewa dengan merogoh kocek.

“Biaya sewa satu juta kalau mau jual pinang. Untuk lainnya juga harus beli tempat jualan seharga lima juta rupiah,” kata pedagang yang tak sudi disebutkan namanya.

Mama-mama janda dan lansia sedang berjualan di pinggir jalan raya Surya, kampung Baru, kota Sorong, Sabtu (11/2/2023). (Maria Baru – SP)

Kebijakan penggusuran pasar Boswesen hingga pemindahan secara paksa para pedagang ke pasar moden Rufei dinilai sepihak tanpa solusi terbaik. Sebab jika pindah, tak ada lapak jualan. Pemkot Sorong terutama kepala pasar tak mampu mengatur pasar modern Rufei. Buktinya, sejumlah oknum anak muda dan lainnya terlibat jual beli tempat jualan dengan semaunya.

“Sudah dua minggu saya lihat langsung aktivitas jual beli di pasar modern Rufei. Memang penjual sayur dan bumbu banyak, tetapi pembeli masih sangat kurang. Banyak yang sewa losmen di dalam gedung, tetapi rugi karena tidak ada pembeli. Termasuk penjual pakaian dan perabotan. Pasar tidak ramai,” tuturnya.

Saat masuk mencari tempat jual di pasar Rufei, ia mengaku dibully para pedagang yang lama berjualan di pasar modern itu. Situasi tersebut bisa berdampak pada mama-mama pedagang dari pasar Boswesen yang akan masuk berjualan, dikhawatirkan akan saling hujat hingga kekerasan fisik pun bisa saja terjadi.

Baca Juga:  Dua Calon Anggota DPD RI Ancam Pidanakan Komisioner KPU Tambrauw

“Kita seperti sampah yang dibuang di pasar modern tanpa dikasih tempat jualan. Sudah dibuang, kita bingung cari tempat. Saya sedang pusing karena tanggungan banyak. Sewa rumah. Uang susu untuk anak. Uang jajan. Belum lagi makan minum dan biaya lampu. Dua minggu bingung. Mau jualan dimana? Tanya dari depan, semua tempat ada yang punya. Untuk dapat tempat, saya harus bayar lima juta. Tidak punya modal pasti jual dari pinggir jalan. Gila, ini pasar milik pemerintah. Pengaturannya tidak baik sekali,” tuturnya lagi.

Pasar modern Rufei Sorong, Papua Barat. (Maria Baru – SP)

Sekalipun saban hari sayur dan bumbu dijual, pembelinya kurang. Di pasar modern tak terlihat transaksi barang dan uang. Selain letak pasar tak strategis, kendala lain akibat akses transportasi umum yang belum terjangkau hingga di pasar Rufei.

“Memang ada banyak penjual sayur dan bumbu. Cuma pembeli kurang. Pengaruh dari letak pasar Rufei tidak di tempat yang strategis. Terus belum ada transportasi umum yang masuk sampai di pasar. Hal lainnya, anak-anak muda sering baku pukul. Dua minggu di sini, saya pusing melihat keributan di pasar modern,” jelas pedagang itu.

Pantauan suarapapua.com selama beberapa minggu terakhir, para pedagang yang menolak berjualan di pasar modern Rufei terpencar ke berbagai tempat. Pedagang ikan rata-rata memilih berjualan di Dom, Lindo, dan belakang pasar dekat pinggir pantai. Sementara, mama-mama Papua berjualan di ruas jalan utama seperti Rufei, lokasi sebelum pasar Boswesen, dan Surya.

Berbeda dengan mereka yang punya tanah sekitar pasar Boswesen. Tiap sore berjualan pinang. Juga ikan goreng, singkong, keladi, dan petatas rebus. Tetapi pendapatannya menurun.

Pewarta: Maria Baru
Editor: Markus You

Terkini

Populer Minggu Ini:

KPK Menang Kasasi MA, Bupati Mimika Divonis 2 Tahun Penjara

0
“Amar Putusan: Kabul. Terbukti Pasal 3 jo Pasal 18 UU PTPK jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP Jo Pasal 64 ayat (1) ke-1 KUHP. Pidana penjara 2 tahun dan denda Rp200 juta subsidair 2 tahun kurungan,” begitu ditulis di laman resmi Mahkamah Agung.

Fortnightly updates in English about Papua and West Papua from the editors and friends of the banned 'Suara Papua' newspaper.